Dukuh Pogung, Sinduadi, Sleman, adalah tempat tinggal bagi ribuan mahasiswa UGM. Kawasan indekos berjuluk “labirin” ini menjadi saksi kerasnya kehidupan mahasiswa UGM, yang jarang dibicarakan orang-orang.
Lokasi Pogung sendiri memang sangat strategis. Ia berada dekat dengan UGM, khususnya Fakultas Teknik. Maka tak heran kalau mayoritas mahasiswa UGM memilih ngekos di kawasan ini.
Kendati demikian, Pogung kerap bikin repot para mahasiswa. Penyebabnya, di sana banyak perempatan gang-gang kecil. Sejumlah portal juga kerap tutup di jam yang tak menentu; kadang sore, kadang malam, kadang malah tutup terus.
Maka tak heran kawasan ini dijuluki labirin, karena kerap bikin kecele dan nyasar para penghuninya. Terutama saat malam hari.
Selain bikin banyak orang nyasar, kos Pogung ternyata juga merekam berartnya kehidupan kuliah mahasiswa UGM di perantauan. Salah satunya adalah Tiko (20).
Mahasiswa UGM angkatan 2022 asal Kediri, Jawa Timur, ini mengaku pernah bertahan hidup hanya modal Rp100 sebulan. Ketika ia menceritakan hal tersebut kepada saya tiga bulan lalu, saya kaget. Bagaimana bisa, seorang anak kos cuma mengeluarkan uang Rp100 sebulan, sementara buat bensin dan rokok saja sudah lebih.
Berawal dari transferan macet, jadi terbiasa
Sebenarnya, awal mula Tiko bisa bertahan hidup dengan Rp100 ribu per bulan karena transferan yang macet dari orang tua. Bapak-ibunya, yang dua-duanya bekerja sebagai petani, biasa mengirim uang saku dua minggu sekali. Tiap awal dan pertengahan bulan.
Namun, di saat transferan harusnya sudah ia terima, belum ada uang yang masuk ke rekening Tiko. “Padahal di ATM tinggal 50 ribu uang yang bisa ditarik,” kenang mahasiswa UGM yang masih bertahan di kos berukuran 2×3 meter di Pogung ini, Kamis (8/2/2024) lalu.
Alhasil, duit Rp50 ribu itu harus ia manfaatkan sampai menerima transferan, yang waktunya kapan saja dia belum tahu. Cara ekstrem pun dia trabas agar bisa berhemat.
Saat ngampus, Tiko memilih jalan kaki agar tak perlu beli bensin. Kira-kira, sekitar 15 menit dia jalan kaki dari Pogung ke tempat kuliahnya. Puasa Daud–sehari puasa, sehari enggak–juga dijalani.
Ia yang biasa malas menanak nasi, mau tak mau kudu memanfaatkan rice cookernya. Sayur seharga Rp5.000 yang dia beli burjoan daerah Pogung, dipakai buat makan dua kali.
“Ternyata ya baik-baik aja. Nggak ada masalah. Ngampus perut kosong karena puasa nggak lemes-lemes amat,” ujarnya.
Tak terasa seminggu lebih rutinitas itu ia jalani. Ia pun tak sadar kalau ternyata uang Rp50 ribunya masih sisa. “Aku pikir-pikir, kalau begini terus bisa ngirit banget kan.”
Hidup prihatin demi memenuhi kebutuhan tersier
Merasa mampu bertahan hidup dengan dana minim, Tiko pun berpikir seandainya rutinitas itu dia lanjutkan, toh dia bakal masih hidup.
Apalagi, uang saku yang ngepres dari ortu tak cukup buat memenuhi kebutuhan tambahannya, seperti nongkrong dan nonton konser.
Makanya, ia harus hidup sehemat mungkin agar bisa nabung buat memberi makan ego tongkrongannya.
“Ya akhirnya selama berbulan-bulan lambung udah kuat hidup prihatin. Terbantu juga di kos ada kulkas umum, kami bisa nyetok sayur buat masak, jadi tinggal bikin nasi,” kata Tiko.
“Sebenarnya nggak 100 ribu juga sih, Mas. Itu estimasi pengeluaran buat makan aja, dan memang kadang nggak lebih dari segitu,” sambungnya.
Tiko, yang kisahnya itu pernah Mojok muat dalam liputan berjudul “Cerita Mahasiswa UGM Hidup Prihatin Rp100 Ribu Buat Sebulan”, kembali saya hubungi pada Senin (1/7/2024) sore.
Sampai saat ini ia mengaku masih tinggal di Pogung, di kosan yang sama saat kami terakhir kali bertemu. Namun, ia sudah tak seprihatin dulu. Sambil kuliah, kini dia nyambi kerja part time di sebuah toko sepatu wilayah Sleman.
“Ya nggak mau to, Mas, kalau mau prihatin lagi. Hahaha!,” balasnya, singkat.
Kos Pogung saksi mahasiswa UGM mengjoki Kartu Prakerja buat biaya kuliah
Kisah lain di kos Pogung datang dari Andi* (24). Ia adalah mahasiswa UGM yang pernah bertahan hidup dengan cara menjadi joki Kartu Prakerja. Bedanya, kalau Tiko mengkis-mengkis, Novan justru hidup bergelimang duit. Bagaimana tidak, dengan menjadi joki, mahasiswa asal Jakarta ini setidaknya bakal mengantongi Rp3,6 juta sebulan, dengan effort yang tak terlalu ngoyo.
Kisah Andi sendiri juga pernah Mojok muat dalam liputan berjudul “Jadi Joki Prakerja, Gen Z Broken Home Jakarta Bisa Lulus UGM Tanpa Kiriman Duit Orang Tua” pada 27 Februari 2024.
Mahasiswa UGM tersebut merupakan anak broken home. Uang kuliahnya pun dia dapatkan dari usahanya sendiri. Maka tak heran kalau sejak awal kuliah, Andi sudah pernah mencicipi banyak pekerjaan paruh waktu.
Namun, berkah dari perjuangannya itu malah muncul saat pandemi. Tatkala orang lain kesulitan mencari pekerjaan, Andi malah dipercaya menjadi joki Prakerja oleh para tetangga kosnya di Pogung.
Hidupnya pun berubah. Banyak kebutuhannya terbeli, termasuk laptop dan HP baru. Bahkan, sampai lulus kuliah, UKT-nya dibayar dari uang hasil menjoki.
“Soal duit ini haram atau halal ayo berdebat. Toh, jadi joki juga tetep ada usahanya kan? Paling nggak Prakerja itu lebih berguna dari orang tuaku,” kata dia sambil tertawa, saat terakhir kali kami bertemu.
Pada akhir 2023 lalu Andi lulus dari UGM. Ia pun meninggalkan Pogung, tempatnya “mendapatkan rezeki” dan kembali ke Jakarta untuk meneruskan hidup.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Kos Kutek Depok, Saksi Rusaknya Mahasiswa UI di Perantauan, Bikin Susah Warga dan Orang Tua
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News