Laga baru berjalan satu menit. Namun, pemain tim futsal putri Universitas Negeri Malang (UM) sudah melesatkan shot keras yang melengkung ke pojok kanan bawah gawang Universitas Tidar (Untidar) Magelang.
Sabrina Putri Jovika, sang penjaga gawang, langsung reflek melompat. Tubuhnya terhempas ke lantai dengan keras. Suara debam terdengar lebih keras dari sorak penonton. Bola pun berhasil ditepis ujung jarinya, memantul keluar lapangan.
Belum sempat kembali mengatur napasnya, dua tembakan susulan datang beruntun. Ia menjatuhkan diri lagi, dua kali melakukan double block di depan gawang yang nyaris porak-poranda itu.
Semenit berselang, bola liar kembali datang dari sisi kanan. Seorang pemain tim futsal UM berlari cepat, hanya tinggal berhadapan satu lawan satu. Orin, sapaan akrabnya, maju setengah langkah. Ia merelakan tubuhnya jadi tameng hidup demi menahan bola masuk ke gawangnya.
Brak! Benturan keras terjadi. Bola terpental, lawan terjatuh, dan Orin terbaring sejenak, memegang lututnya yang memang belum pulih. Sorak kecil terdengar dari bangku Untidar. “Bagus, Orin! Aman!”

Ia tersenyum sebentar sebelum berdiri lagi.
Pertandingan matchaday ketiga Campus League 2025 by Polytron antara tim futsal putri Untidar vs UM memang baru berjalan lima menit. Namun, Orin sudah menjadi pemain paling sibuk.
Timnya terus digempur, nyaris tanpa perlawanan. Namun, berulang kali juga, tangan ajaib dan keberaniannya berduel dengan lawan berhasil menggagalkan bola yang mengancam gawangnya.
Selama dua kali 20 menit, ia menjelma menjadi tembok kokoh: 20 kali saves, berkali-kali jatuh, berdiri, lalu jatuh lagi. Salah satu penonton bahkan ada yang nyeletuk: titisan David de Gea lahir di Tidar. Lucu, tapi memang begitu adanya.
Sialnya, di laga tersebut timnya harus mengakui keunggulan lawan dengan skor 0-1. Ironisnya, gol yang membobol gawangnya dihasilkan oleh bunuh diri rekan setimnya.
Namun, sebagai gambaran, itu bukan penampilan apik perdananya. Sehari sebelumnya, saat menghadapi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), ia mencatat 32 saves. Sebuah angka yang membuat namanya disebut-sebut oleh penonton.
Mungkin Untidar memang kalah telak: 0-7 dari UGM, 0-9 dari UNY, dan 0-1 dari UM Malang. Namun, itu tak bisa menutup fakta bahwa Orin tampil solid sepanjang turnamen. Di matchday keempat, alias laga penentuan menghadapi UIN SATU Tulungagung, ia berhasil mencatatkan cleansheet. Timnya menang 3-0 dan berhasil melaju ke semifinal hari Selasa (11/11/2025).
Jadi kiper futsal karena berani duel
Penampilan solid Orin memang unik. Bagaimana tidak, sebab dulunya ia bukanlah seorang kiper. Saat masih SMA di Banyumas, ia bermain futsal sebagai pemain depan. Ia menikmati sensasi mencetak gol, bukan menahannya.
Namun, ketika bergabung dengan tim futsal putri Untidar, pelatih melihat sesuatu yang lain: refleks cepat, keberanian menutup bola, dan kesigapan membaca arah gerak lawan.
“Dulu sempat dicoba. Ternyata terlihat berani duel, berani tabrakan sama lawan. Makanya seterusnya diplot menjadi kiper,” ungkapnya, Minggu (9/11/2025).
Meski demikian, menjadi kiper bukan sekadar pindah posisi. Ia mengaku harus belajar ulang hampir segala aspek. Mulai dari cara menempatkan posisi tubuh, membaca arah bola, mengatur jarak dengan garis gawang, hingga kapan harus maju untuk menutup sudut tembakan.
“Tapi kata coach sudah punya modal berani duel,” imbuhnya.
Alhasil, latihannya tak lagi soal sprint atau shoting drill, melainkan soal jatuh. Berulang kali menjatuhkan diri di lantai, menghalau bola dengan bahu, siku, lutut, bahkan wajah. Tubuhnya penuh tak bisa lepas dari yang namanya.
“Kalau jadi kiper, memang harus siap sakit,” ujarnya, sambil menatap lututnya yang dibalut plester.
Tetap main solid meski dalam keadaan cedera lutut
Lutut kanan itu pernah sobek saat masih SMA. Makanya, ia harus ekstra hati-hati agar cederanya tidak kambuh.
Namun, di turnamen Campus League 2025 by Polytron kali ini, cedera di kedua lututnya memang tak terhindarkan. Lutut kiri cedera saat melawan UGM di matchday pertama, dan kanan saat melawan UNY di matchday kedua.
“Jadi, melawan Malang tadi posisi kedua lutut ini sedang cedera,” katanya, yang dalam kondisi cedera sekalipun masih bisa tampil sebagai man of the match.
Bagi Orin, posisi itu bukan tempat yang nyaman. Setiap kali lawan menembak, waktu seolah berhenti sepersekian detik, dan semua keputusan tergantung pada keberanian.
Ia mengingat satu momen yang paling membekas. Dalam satu laga di UGM dua tahun lalu, ia bahkan sempat bertubrukan dengan pemain asing bertubuh dua kali lebih besar darinya. Tubuh besar itu jatuh tepat di atas Orin.
Penonton terdiam, kawan setim panik. Namun, beberapa detik kemudian, ia berdiri lagi, dan memberi isyarat: “lanjut!”
“Ya itu [tabrakan] sudah risiko kiper. Kalau kiper takut benturan, gawang nggak akan aman.”
Bagi Orin, dalam futsal, kiper bukan hanya penjaga gawang, ia juga penentu tempo permainan. Makanya, setiap kali berhasil menangkap bola, ia akan berdiri cepat, melontarkan umpan panjang ke depan, memberi kesempatan rekan setimnya menyerang balik.
Dari bawah mistar itu, ia tak cuma jadi tembok, tapi sekaligus pengatur ritme. Orin mungkin tidak mencetak gol, tapi ia menciptakan sesuatu yang lebih krusial: menggagalkan gol lawan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: El Capitano dan Sepasang Decker yang Menjaga Irama Permainan Tim Futsal Putri UGM atau liputan Mojok lainnya rubrik Liputan