Sisi Gelap Stasiun Gubeng yang Merupakan Jantungnya Perkeretaapian di Jawa Timur

Penumpang di Stasiun Gubeng, Surabaya. MOJOK.CO

ilustrasi - Penumpang yang baru turun di stasiun. (Ega Fasnuri/Mojok.co)

Stasiun Gubeng terkenal sebagai “jantung” perkeretaapian di Surabaya. Namun siapa sangka, stasiun yang menjadi pusat transportasi tersebut menyimpan cerita ironi dari warga di sekitarnya.

***

Fendi (27) menatap ke luar jendela saat Kereta Api Sri Tanjung yang ditumpanginya dari arah Jogja ke Sidoarjo berhenti di Stasiun Gubeng, Surabaya. Matanya menyorot rumah-rumah yang ada di sekitaran rel.

Sejauh mata memandang, ia hanya melihat rumah berdinding triplek dan beratap asbes. Bangunannya pun menyatu dengan sampah, sehingga terkesan kumuh. Kontras dengan desain bangunan Stasiun Gubeng yang bergaya lama tapi eksotis.

Karena penasaran, Fendi nekat turun dari gerbong sembari menunggu pergantian kepala kereta api. Ia pun berkeliling di sekitaran Stasiun Gubeng, Surabaya dan berinteraksi dengan warga.

“Orang-orang sekitar bercerita, banyak permukiman kumuh di sekitaran sini,” ucap Fendi, Rabu (26/3/2025).

Tak hanya lingkungannya, tapi juga perilaku masyarakatnya yang kurang mementingkan kebersihan. Sangking kumuhnya, beberapa kali warga tak sengaja menyaksikan orang yang kencing di WC karena kondisi ruangannya yang memang terbuka.

Potret kemiskinan di sekitar Stasiun Gubeng

Tak hanya Fendi, pengalaman nyata yang menunjukkan kondisi kemiskinan warga di sekitaran Stasiun Gubeng, Surabaya dirasakan langsung oleh Adel (22). Seorang mahasiswa Universitas Airlangga yang pernah ngekos di kawasan Gubeng.

Selama dua setengah tahun tinggal di kos yang nyempil di gang sempit, Adel mengaku terpaksa “betah”. Bagaimana tidak, ia kerap mencium bau tak sedap di kosannya. Selaras dengan biaya bulanan tinggal di kos tersebut: murah. Menurut dia, bau itu berasal dari got-got dan saluran drainase yang bercampur dengan sampah basah.

“Setelah lewat gang-gang sempit, keluar dikit saja baunya langsung kecium. Pokoknya nggak karuan banget,” ucap Adel.

Tak hanya Adel, Iwang (24) yang juga bertempat tinggal di sekitar Gubeng juga mengaku bahwa kawasan tersebut memang padat merayap. Stasiun Gubeng sendiri bersinggungan langsung dengan permukiman penduduk. 

Maka, tidak heran jika Iwang banyak menjumpai aktivitas masyarakat dari kelas menengah hingga ke bawah. Hal itu ditandai dengan adanya pasar tradisional, warung kopi, dan pedagang UMKM.

“Yang menarik perhatianku justru ada tempat pembuangan sampah sementara yang bersebelahan dengan masjid, kadang bau sampahnya kemana-mana,” ucap Iwang.

Jantungnya Kota Surabaya

Baca Halaman Selanjutnya

Stasiun Gubeng “Jantungnya” Surabaya

Stasiun Gubeng merupakan ikon transportasi tertua di Surabaya. Ia punya peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur, sebab punya fungsi utama sebagai titik awal perjalanan maupun pemberhentian penumpang. Sekaligus penghubung utama jalur kereta api di wilayah Gerbangkertosusila atau Surabaya Raya. 

Maka tak heran, stasiun tersebut menjadi pusat transportasi yang sibuk.  Namun, ketimpangan hidup di area sekitarnya membuat ironi. Berdasarkan penelitian berjudul Model Partisipasi Masyarakat dalam Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kelurahan Airlangga Kecamatan Gubeng Kota Surabaya, Kelurahan Gubeng tergolong sebagai kawasan kumuh dari 154 kelurahan di Surabaya.

Seiring berkembangnya waktu, Stasiun Gubeng terbagi menjadi dua area, yakni Gubeng Lama dan Gubeng Baru. Di mana, Gubeng Lama berada di Jalan Stasiun Gubeng, Pacar Keling, Tambaksari. Ia melayani perjalanan kereta api kelas ekonomi, baik dalam kota maupun antar kota.

Sedangkan, Stasiun Gubeng Baru terletak di sisi timur. Dekat dengan PDAM Kota Surabaya. Penumpangnya merupakan orang-orang dari kelas bisnis dan eksekutif. Desain bangunannya terlihat modern ketimbang Gubeng Lama. Dari situ saja, terlihat perbedaan kelasnya.

Cocok sebagai tempat nostalgia

Sampai-sampai, Salsa (22), seorang mahasiswa Unair dan timnya menjadikan Stasiun Gubeng sebagai lokasi syuting proyek film pendek. Meski tak lolos dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional atau FLS2N tahun 2019 lalu, mereka masih menerima penghargaan sebagai penulis skenario terbaik tingkat kota.

Film karya Salsa dan timnya berjudul “Inggih” bercerita tentang seseorang perempuan yang fokus kuliah di Surabaya dan mendapat kerja di Bandung, hingga ia tak sempat pulang ke kampung halamannya di Jogja.

“Sewaktu pulang ke Bandung dan tiba di Stasiun Gubeng, di situlah dia disadarkan,” ujar Salsa.

Menurut Salsa, Stasiun Gubeng memberikan kesan hangat karena di sanalah orang-orang berkumpul untuk melepas perjalanan anggota keluarga, teman, saudara, atau orang-orang terdekat mereka, untuk memberikan dukungan atau menyambut kehadirannya.

“Arsitektur Stasiun Gubeng Lama sangat mendukung suasana nostalgia,” ujar Salsa.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Melihat Betapa Tergesa-gesanya Kehidupan di Surabaya dari Sebuah Warung Es di Gubeng, Gambaran Nyata “Urip Mung Mampir Ngombe” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version