Puthut EA, Hilmar Faird, dan Sabrang saling bertukar pikiran, bagaimana teknologi harusnya menjadi instrumen untuk membawa kebudayaan menjadi lebih berdaya saing di level dunia.
***
Teknologi adalah kunci utama yang dapat membawa kebudayaan Indonesia hidup dengan baik di masyarakatnya, sebuah bekal untuk tahap lebih lanjut: berkompetisi.
Kurang lebih begitulah yang Sabrang ungkapkan ketika ditanyai Puthut EA ihwal apa yang sebenarnya menjadi problem absennya kebudayaan Indonesia dalam kompetisi internasional, tak semeriah Korea (misalnya)?
Sabrang berangkat dari definisi budaya menurut kacamatanya. Untuk menjelaskan definisi yang ia miliki atas budaya, Sabrang menerangkan beberapa analogi dari suatu fenomena.
“Ketika kita melihat film yang menayangkan (adegan) orang jatuh dari tangga tetapi tidak sampai mati, itu yang membuat kita tertawa, terkejut, atau tersedih (bereaksi) bukan pada kejadiannya, tapi pada background musiknya,” tutur Sabrang dalam Putcast Live On Stage, Rabu (18/9/2024) di Pendapa Dalem Jayadipuran.
“Atau contoh lain, ketika ada (adegan) pahlawan akan masuk, pasti setting musik yang mereka tampilkan sedemikian rupa lebih dulu membuat kita bereaksi (musik-musik patriotis yang membikin kagum),” jelas Sabrang di hadapan 400-an lebih peserta yang menyimak.
Bertumpu dari definisi tersebut, Sabrang menyatakan bahwa ia melihat budaya sebagai suatu fenomena yang memiliki dua layer: konteks setting dan makna dari apa yang ditampilkan. Ia menggarisbawahi bahwa konteks setting merupakan komponen yang sangat penting. Sebab ia menentukan makna dari apa yang ditampilkan.
“Budaya adalah konteks di mana para manusianya bisa berekspresi. Oleh karena ini, dalam suatu kumpulan masyarakat, budaya adalah sesuatu yang emergence (niscaya/ muncul dengan sendirinya),” kata Sabrang dalam Putcast Live On Stage bertajuk “Tabur Rasa Jalan Kebudayaan” tersebut.
Indonesia perlu belajar pada Korea
Ekspresi budaya muncul dari setting yang lahir dari interaksi manusianya. Budaya dan komunal manusia memiliki keterikatan hubungan yang saling memengaruhi: manusia menghasilkan budaya, budaya menghasilkan setting untuk manusianya.
“Islam sulit sekali masuk Jawa—memerlukan waktu 800 tahun—sebab ia (Jawa) sudah punya setting-nya sendiri dan tak bisa disodori setting baru (kebudayaan islam),” papar Sabrang mencontohkan.
“Akhirnya, Islam berhasil masuk ketika pembawaanya menyesuaikan setting yang ada. Orang Jawa suka nembang, pertunjukkan, makanan. Islam masuk melalui setting yang sama, dengan makna yang berbeda,” terangnya.
Proses ini menghasilkan pergeseran budaya sekaligus embrio dari pembentukkan setting baru. Kata Sabrang, hal ini lah yang saat ini sedang dilakukan Korea.
Korea memanfaatkan teknologi yang mampu menjadi media distribusi budaya semaksimal mungkin. Mereka berupaya membangun setting melalui penyebaran data yang amat besar dan dilakukan lintas negara.
“Sekarang kalau kita lihat ada orang-orang joget sedikit dengan karakter tertentu gitu, kita langsung otomatis ngerti ini Korea (budaya K-Pop), karena mereka telah berhasil membangun setting,” ucap Sabrang.
Atas kesuksesannya memanfaatkan teknologi, hari ini Korea seolah ada di mana-mana. Korea jadi gelombang budaya yang menjangkiti banyak negara lain, yang bahkan mampu keluar dari lingkup asia: Amerika, Eropa, pun Australia. Begitu masif, serupa bom amat besar yang jangkauan ledakannya begitu luas.
Ketika Indonesia absen dalam memanfaatkan teknologinya, maka tak ayal ruang kosong itu akan dengan mudah diambil oleh orang-orang yang mendominasinya (budaya asing, dalam hal ini kebudayaan Korea).
“Karena ini, masuk akal kalau generasi muda sekarang di-setting dengan budaya luar, karena kita sendiri nggak bisa menyuguhkan banyak sumber di hal-hal yang dicari oleh mereka,” tegas Sabrang.
Peran teknologi dalam pembentukan setting
Setting tidak lahir dari ekspresi budaya, tapi dari emergence, atau yang juga Sabrang sebut sebagai rasan-rasan. Dari obrolan ke obrolan, lamunan ke lamunan: proses pencarian ide sebelum penciptaan suatu karya.
Maka dari itu, kunci dari memaksimalkan setting adalah memaksimalkan akses informasi. Pemaksimalan akses informasi menjembatani kebudayaan untuk dapat tumbuh subur.
“Misalkan orang lagi nonton wayang lalu bertanya, Prabu Dewanata itu siapa sih? Maka dia akan melakukan riset—melihat Google,” terang Sabrang.
“Fakta psikologi sekarang mengatakan, atensi span kita hanyalah 8 detik. Tapi, problem kita adalah informasi tidak tersedia just in time,” imbuhnya.
Pola-pola seperti ini, di mana pertanyaan-pertanyaan kecil tak mampu terjawab dalam waktu yang singkat, merupakan bentuk “lost opportunity” dari usaha penciptaan setting. Sebab, pertanyaan awal mengundang pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Pertanyaan lanjutan menciptakan suatu setting yang menjadi akar pembentukan suatu karya.
Kegagalan menjawab pertanyaan awal mengakibatkan orang tak lagi mau mengajukan pertanyaan lanjutan. Emergence itu tersendat, bahkan mandek.
“Karya hanya akan muncul ketika setting itu sudah jadi. Ketika terjadi banyak obrolan dan diskusi maka akan muncul karya, muncul gagasan, dan seterusnya,” tegas vokalis band Letto itu.
Database kebudayaan jadi PR Indonesia
Sederhananya, PR Indonesia adalah menyediakan ruang-ruang obrolan itu muncul, dan satu-satunya cara adalah dengan menyediakan kemudahan akses informasi tadi. Ketika ada masyarakat yang bertanya, informasi tersedia secara langsung, secepat mungkin!
Untuk menjawabnya, Sabrang mengharapkan peran pemerintah agar dapat hadir dengan menyuguhkan database kebudayaan sebanyak-banyaknya kepada publik.
“Hal-hal seperti ini nggak bisa diserahkan kepada masyarakat, tetapi pemerintah. Bukan saya memaksa pemerintah, tapi memang pemerintah lah yang punya sumber daya atas itu, yang punya power untuk menghimpun data kebudayaan dari seluruh wilayah Indonesia,” tekan putra budayawan kondang Emha Ainun Nadjib tersebut.
Problem pendataan dalam aspek kebudayaan
Problem kebudayaan yang dilempar Sabrang tersebut, hari itu juga langsung sampai di telingan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Hilmar Farid, yang juga tergabung dalam forum.
“Setuju sekali, ya, bahwa ini merupakan Pekerjaan Rumah yang sangat besar direktorat kebudayaan. Dalam amanat Undang-Undang, ini disebut sebagai sistem pendataan kebudayaan terpadu, yang seharusnya menjadi repository dari semua catatan atas berbagai aspek kebudayaan; pemikiran, praktik, dan seterusnya,” sambut Dirjen Kebudayaan Indonesia yang menjabat sejak 2015 itu.
Hilmar menjelaskan bahwa saat ini, data-data itu sebenarnya telah terkumpulkan dalam data pokok kebudayaan, di mana akumulasi informasi dari berbagai data terhimpun.
“Tapi yang menjadi problem adalah, ini merupakan himpunan data yang bisa dibilang belum aksesibel,” ucapnya.
Ia sendiri mengakui bahwa database informasi belum bisa langsung disuguhkan kepada masyarakat yang bertanya, sebagaimana apa yang disinggung Sabrang tadi.
Hilmar mengungkap, salah satu persoalannya adalah tidak semua yang melakukan praktik pengumpulan data lapangan adalah orang-orang yang berhubungan dengan publik. Sehingga, mereka tak merasa punya kewajiban untuk mengomunikasikan atau mempublikasikan hasil temuannya itu.
“Orang-orang yang mengomunikasikan bekerja dalam unit yang berbeda dari orang-orang yang mengumpulkan, sehingga nggak ketemu,” kata Hilmar.
Digitalisasi warisan budaya yang jauh dari lengkap
Hilmar menyetujui teknologi punya peran vital dalam penerusan informasi budaya dan sejarah dalam berbagai tingkat. Seperti dalam pengkomunikasian himpunan naskah kuno—dalam berbagai bahasa kuno—yang ada di Indonesia, misalnya.
Naskah kuno adalah sumber data yang dapat jadi acuan penting dalam melihat budaya dan sejarah. Mengingat, ia adalah himpunan pengetahuan yang terakumulasi sejak tulisan dan kertas mulai muncul.
Digitalisasi naskah kuno ini semakin urgent untuk dilakukan. Sebab, pegiat Filologi—ilmu pengkaji naskah kuno—semakin jarang dijumpai peminatnya.
“Sayangnya, ini adalah hal yang belum kita mulai sekarang. Padahal misalnya ini digunakan, percepatan akumulasi pengetahuan baru juga akan luar biasa,” ucapnya.
Indonesia berbeda dengan Belanda. Kata Hilmar, investasi atas digitalisasi di Belanda telah jauh lebih mapan.
“Jujur, investasi ke arah sini (digitalisasi) masih sangat kecil di Indonesia. Di Belanda, mereka telah memulai digitalisasi koran-koran lamanya, mulai sekitar abad 18 sampai saat ini,” cerita Hilmar.
Namun, Hilmar juga mengungkap bahwa digitalisasi bukannya sama sekali belum dilakukan oleh Indonesia. Kita punya, tapi jauh dari lengkap. Di Borobudur misalnya, saat ini ada proyek bernama “Borobudurpedia” yang memfasilitasi akses informasi atas Borobudur.
“Inisiatif seperti ini, (digitalisasi seperti Borobudurpedia), saya setuju banget harusnya dibuat jauh lebih sistematis dan jauh lebih besar,” tutur Hilmar.
“Makanya, seyogianya investasi untuk membuka akses himpunan data budaya yang sangat banyak ini jadi hal yang harus diprioritaskan sebagai PR besar kita,” imbuhnya.
Terakhir, Hilmar berharap bisa menjalin kolaborasi antara orang-orang yang ahli dalam bidang pendayagunaan teknologi. Sehingga ke depan, dapat ditemukan perangkat-perangkat yang dapat membantu proses percepatan pengumpulan akumulasi pengetahuan.
Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News