Namun, bagi Hesti, itu bukan alasan mengapa siang itu dia memilih UD Djaya Coffee. Alasan dia sebenarnya simpel:
“Karena waktu aku lihat-lihat, di sini parkirannya yang masih sepi. Aku paling suka datang ke coffee shop pas belum ramai,” terangnya.
Menurut Hesti, inilah enaknya Jalan Slamet Riyadi. Ketika kita datang ke sini, mungkin belum ada gambaran kafe mana yang akan dituju. Kalau pengalaman pribadinya, biasanya dia bakal mencari kafe yang belum ramai. Indikatornya, tempat parkir masih sepi.
“Kalau tukang parkirnya udah penuh gitu, kadang aku udah males. Lebih ke kalau lagi pengen sendiri, berusaha nyari tempat yang sepi aja,” jelasnya.
Karena tiap jengkal Jalan Slamet Riyadi terdapat banyak kafe, tak sulit bagi Hesti buat menemukan tempat nongkrong sesuai kriterianya.
Tapi, dia juga menambahkan, ada kalanya mood sedang baik dan pengen nongkrong rame-rame. Biasanya, dia bakal mengajak teman-temannya buat datang ke kafe yang terkenal “bising” sekalian adu outfit.
“Kalau malem juga, pengen rebel-rebel, nongkrongnya di kafenya cah-cah punk. Haha,” guranya.
Tak cocok bagi yang kesabarannya setipis tisu
Selain Hesti, Adam (22) juga kerap nongkrong di Jalan Slamet Riyadi Solo. Alasannya, sih, sederhana, yakni karena kampusnya berada di jalan tersebut.
Makanya, tiap pagi, siang, sore, atau saat ada jeda kuliah, Adam pasti menyempatkan diri buat berkumpul bersama teman-temannya di jalan tersebut.
“Tapi kan kami-kami ini proletar ya, nggak berduit, jadi nyarinya tempat ngopi murah. Yang 5.000 atau 7.000 udah dapet. Biar napak tanah. Hahaha,” ungkapnya.
Namun, bagi Adam yang sudah tiga tahun kuliah di kota bengawan, Jalan Slamet Riyadi Solo punya plus minusnya. Bagi orang yang suka nongkrong, dia memang jadi surga. Tapi bagi pekerja, mahasiswa yang mau kuliah, atau orang-orang yang sedang buru-buru, dia seperti jalur neraka.
“Kalau pagi, jam berangkat kerja, macet banget. Sorenya kalau pulang kerja, sama macetnya,” kata Adam. “Udah tahu macet, nggak sedikit juga yang ugal-ugalan,” sambungnya.
Maka dari itu, Adam menyebut kalau jalanan itu nggak begitu cocok buat orang-orang yang kesabarannya setipis tisu. Menurutnya, “emosinya bisa meledak-ledak karena kemacetan dan kelakuan pengendara tolol”.
“Tahu kan di video-video India banyak suara klakson? Nah, itu yang tiap sore aku rasain di sini,” pungkasnya, sambil tertawa.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Melihat Betapa Tergesa-gesanya Kehidupan di Surabaya dari Sebuah Warung Es di Gubeng, Gambaran Nyata “Urip Mung Mampir Ngombe” atau liputan Mojok lainnya di rurbik Liputan