Ada anomali cukup mencolok dalam dunia literasi Indonesia. Satu sisi Indonesia disebut darurat literasi karena rendahnya minat baca. Namun, di sisi lain, semakin ke sini justru semakin banyak penulis-penulis baru bermunculan.
Merujuk data UNESCO 2024, indeks minat baca di Indonesia terbilang sangat rendah. Hanya di angka 0,001%. Artinya, dari 1000 orang, ada satu saja yang membaca.
Penulis baru bermunculan
Menariknya, setiap hari ada saja penulis baru bermunculan. Misalnya saja di Terminal Mojok sebagai user generated content (UGC) milik Mojok. Setiap hari selalu menerima kiriman tulisan dari pengguna. Ada penulis lama. Tapi tak jarang pula muncul penulis baru.
Terlepas kualitas tulisannya layak tayang atau tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia menaruh minat besar untuk menulis.
Itu belum di UGC yang media lain miliki. Seperti Kompasiana (milik Kompas). Ada juga Medium. Belum lagi keberadaan Wattpad: tempat banyak penulis baru—kebanyakan muda—menuliskan cerita-cerita pop, yang di antaranya akhirnya diangkat menjadi series di platform-platform OTT.
Data yang sama juga saya temui di Pusat Belajar Masyarakat Akademi Bahagia, Sleman, Jogja.
Selama satu tahun ini saya tinggal di sana. Akademi Bahagia teramat sering mengadakan kelas menulis. Peminatnya pun selalu banyak.
“Apa alasan mereka—para peserta—antusias mengikuti kelas menulis di Akademi Bahagia?”. Jawaban yang hampir selalu saya dapat: ingin menjadi penulis.
Menjadi penulis apakah bisa sejahtera?
Pertanyaan itu sering diajukan oleh mereka—orang-orang yang berangan-angan menjadi penulis. Walaupun ada juga yang percaya, sepenuhnya bisa hidup dari “hanya” menjadi penulis.
Mungkin karena terlalu banyak terpapar film atau series yang sering menggambarkan “indahnya” kehidupan seorang penulis. Kerjaannya: riset untuk bahan tulisan (bepergian), berkutat di hadapan laptop hingga larut malam, mencari inspirasi di kedai kopi, tinggal di sebuah rumah minimalis dengan lingkungan hijau dan sunyi. Kehidupan yang seolah jauh dari bayang-bayang kemelaratan.
Tapi apakah benar seindah itu?
“Beberapa bisa sejahtera dengan hanya menjadi penulis. Tapi banyak juga yang tidak,” ucap Puthut EA, penulis yang berdomisili di Jogja, dalam suatu obrolan bersama reporter Mojok menjelang peringatan 25 tahun berkaryanya tiga bulan lalu.
“Kalau untuk sekadar hidup, bisa. Tapi kalau mau “lebih”, maka harus mau mengerjakan hal lain,” tekan Puthut EA.
Misalnya menjadi penyunting
Hal itu kembali Puthut EA tegaskan baru-baru ini, melalui utas di akun Threads-nya. Bahwa tidak semua penulis profesional, bisa hidup dari royalti buku atau honorarium tulisan dari media massa. Harus mengerjakan hal lain untuk bisa terus menyambung hidup.
Satu di antara yang Puthut EA rekomendasikan adalah, misalnya, menjadi seorang penyunting buku paruh waktu. Baginya, itu adalah pilihan yang ideal. Puthut EA sendiri pernah nyambi menjadi penyunting selama tiga tahun dalam masa-masanya menjadi seorang penulis.
“Honorariumnya lumayan. Menyunting satu buku dengan ketebalan 250 halaman saja cukup lah. Kalau kurang, ya dua buku dalam sebulan. Secara waktu, sangat cukup,” ujar Puthut EA.
Lihat di Threads
Hanya saja, memang harus siap dengan capeknya. Selain juga harus matang dalam logika dan memiliki ketelatenan.
Penyunting adalah pekerjaan menyenangkan
Jika kita adalah penulis dengan nama besar, kata Puthut EA, menjadi penyunting secara ekonomis sangat menguntungkan. Sebab, penyunting dengan latar belakang penulis bernama besar, kadang disamber klien yang mau membayar lima sampai sepuluh kali bayaran dari pihak penerbit.
“Menyunting juga bisa menjadi pekerjaan yang menyenangkan. Tahu jalan pikiran orang. Puas jika naskah yang kita sunting dibaca banyak orang. Selalu ada hal yang bisa dipelajari setiap hari. Berpikir. Berlatih tenang dan sabar,” tutur Puthut EA.
Lalu satu hal yang tak kalah penting: akan lebih baik jika penulis memiliki banyak jaringan ke penerbit.
Penerbit biasanya memang memiliki penyuntingnya sendiri. Namun, kata Puthut EA, percayalah, kalau hasil suntingan kita bagus, penerbit akan dengan senang hati memberi pekerjaan tersebut kepada kita.
Maka, di sinilah pentingnya kompetensi sebagai seorang penyunting. Jangan menjadi penyunting yang hanya fokus pada koreksi salah ketik. Karena itu tidak ada bedanya dengan jenis profesi lain yang juga dimiliki penerbit: pemeriksa kata (proof reader).
“Penyunting harus berani bertindak lebih jauh. Terutama dalam memangkas supaya tulisan tidak bertele-tele dan tidak kehilangan fokus (harus mengerti postur dan komposisi tulisan),” terang Puthut EA.
Sekali lagi, penyunting hanya satu di antaranya saja. Jika ingin menjadi penulis yang hidupnya sejahtera, harus mau mengerjakan banyak hal lain. Karena memang begitulah yang Puthut EA lakukan selama 25 tahun berkarya (menjadi penulis).
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menghitung Penghasilan Seorang Penulis Buku atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan