Program Guru Penggerak hadir dengan misi mendongkrak kualitas guru Indonesia. Namun, praktik dari kebijakan turunan pada Kurikulum Merdeka ini dianggap menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan.
Guru Penggerak merupakan program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Para peserta akan mengikuti pelatihan daring, lokakarya, konferensi, hingga pendampingan selama sekitar enam bulan.
Selain itu, program ini menjadi sarana menapaki jenjang karier guru untuk menjadi kepala sekolah hingga pengawas. Pada Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021, disebutkan syarat kepala sekolah harus memiliki sertifikat Guru Penggerak.
Namun, praktiknya tidak semua guru punya kesempatan yang sama untuk bisa mengikuti program ini. Terbaru, ada kisah guru dari SMPN Henga, Sikka, NTT yang terpaksa gagal lolos karena kendala teknis internet.
Bagi kebanyakan guru, terutama di Pulau Jawa, kendala semacam ini tidak jadi penghalang. Namun, realita di berbagai daerah terluar dan terpencil berkata lain.
Bahkan, kejadian di Sikka NTT juga menimpa seorang kepala sekolah yang memang punya tuntutan lebih untuk bisa mendapat sertifikat Guru Penggerak. Kepala SMPN Henga, Silvia Sinta bercerita kegagalannya mengikuti seleksi pada 17 Juni-4 Juli 2023 lalu disebabkan kendala jaringan di sekolah.
“Waktu itu ada kesempatan untuk daftar mengikuti seleksi calon guru penggerak tetapi saya gagal tidak ikut karena terkendala jaringan internet,” keluhnya melansir Tribun Flores.
Apalagi, seleksi program ini menuntut guru untuk banyak mengikuti sesi daring di internet. Silvia mengaku harus jauh-jauh ke tempat saudaranya di Maumere untuk mengikuti beberapa tahap seleksi. Meski akhirnya harus gagal.
Kekecewaan Silvia bukan tanpa alasan, pasalnya ia harus ikut menunggu pembukaan batch selanjutnya di tahun mendatang atau tahun 2024 ini.
Potensi diskriminasi yang muncul di Guru Penggerak
Ada banyak kritikan yang muncul terhadap program ini sejak awal meluncur pada 2021 silam. Salah satunya datang dari pemerhati pendidikan, Doni Koesoma yang menganggap program ini membuat ada akses tidak merata bagi para guru.
“Kalau Guru Penggerak hanya nol koma berapa persen dari 5 juta guru kita. Itu yang menjadi guru canggih apa bisa dia transformasi ke empat juta guru kita yang lain. Yang kita butuhkan kita serentak bergerak 5 juta itu menjadi guru penggerak bersama-sama,” tuturnya pada program YouTube Vox Populi Institute Indonesia.
Terbaru, Wakil Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis PB PGRI, Catur Nurrochman Oktavian, mengkritisi aturan penggunaan sertifikat Guru Penggerak sebagai syarat jadi kepala sekolah.
Ia sepakat bahwa lulusan program ini punya bekal keterampilan. Namun, ia menyoroti keterampilan dan pengetahuan belum tentu sejalan dengan pengalaman dalam memimpin instansi.
“Sehingga agak kaku saat melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah atau pengawas,” tulisnya dalam opini Harian Kompas edisi Sabtu (27/1/2024) lalu.
Selain itu, ada potensi terjadi dilema dan kecanggungan saat mereka harus memimpin para guru dengan golongan kepangkatan di atasnya. Pasalnya, program ini hanya untuk guru di bawah usia 50 tahun dengan masa kerja minimal lima tahun.
“Hal itu membuat Guru Penggerak berstatus ASN/PNS relatif memiliki pangkat atau golongan rendah,” terangnya.
Catur menyarankan agar ada tinjauan terhadap Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Ia berharap, pengangkatannya tidak mutlak dari jalur Guru Penggerak. Sebab, baginya semua guru punya kesempatan setara mengenai peningkatan karier sesuai kompetensinya.
Belum lagi jika menilik kasus yang dialami para guru di Sikka, NTT. Mereka gagal mengikuti program ini bukan karena ketidakmampuan melainkan persoalan teknis di daerahnya.
Meski dikritik, sebenarnya banyak manfaat
Di sisi lain, baik Catur maupun banyak guru lainnya mengakui bahwa program ini sejatinya membawa banyak manfaat dan pengetahuan baru bagi para pendidik. Amar Musodik misalnya, lulusan Guru Penggerak Mei-Desember 2022 lalu ini merasakan betul berbagai manfaat pascapelatihan.
Salah satu impak penting yang ia rasakan adalah kemampuan untuk menghadapi dinamika bersama murid di kelas. Program itu membuatnya bisa menerapkan pendekatan baru yang lebih baik.
“Menghadapi anak membuat onar kita jadi lebih siap. Anak berbuat salah kita tidak boleh buru-buru langsung memarahi. Ada tahapnya, pertama menstabilkan identitas, laluvalidasi tindakan, sampai menanyakan terkait keyakinannya,” paparnya yakin.
Ia memaparkan bahwa cara terbaik adalah menanamkan kesadaran dalam diri anak untuk berubah. Jadi, perubahan anak terjadi karena motivasi intrinsik, bukan semata-mata karena takut dengan gurunya.
Selain itu, bagi Amar, proses selama mengikuti pelatihan sebenarnya tidak terlalu berat. Kuncinya ada di kemampuan guru membagi waktu. Ia pun menilai bahwa Guru Penggerak membawa dampak positif bagi lingkungan sekolah. Pasalnya, para lulusannya bisa berbagi pengetahuan ke guru lain yang tidak mengikuti program.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News