Kamis (9/1/2025) lalu, Diana (26), seorang perempuan pekerja asal Bandung membagikan keluh kesahnya pada Mojok. Satu tahun sudah Diana bekerja di sebuah startup. Selama satu tahun itu pula dia makin sadar bahwa bos pemilik startup tersebut sangat obsesif dan manipulatif.
Oleh karena itu, Diana sebenarnya sudah mempunyai plan resign. Dia menunggu masa kontraknya habis per Februari 2025 ini. Cerita awal Diana selengkapnya bisa dibaca di sini.
Namun, belum juga masuk Februari 2025, Diana malah mendapat pesan mengejutkan dari si bos. Perempuan asal Bandung itu dipecat, persis h-2 gajian.
Jangan harap gaji, apalagi pesangon
“Di tempat kerjaku ini, kalau dipecatnya sebelum gajian, ya otomatis nggak dapat gaji. Walaupun udah kerja sebulan,” ungkap pekerja Bandung itu saat kembali menghubungi Mojok lewat direct message Instagram, Kamis (23/1/2025). Gaji saja nggak dapat, apalagi pesangon.
Diana bercerita, sejak Zoom Meeting terakhir, saat si bos menyuruhnya ke Psikiater hanya gara-gara tanya gaji yang lama molor, si bos kemudian mengabari akan ada meeting lanjutan. Perkiraannya awal Januari 2025
Sebagai karyawan, Diana tentu saja menunggu. Namun, hingga tanggal 20-an ke atas, belum ada tanda-tanda bakal ada meeting dengan si bos,
Diana sendiri menahan diri untuk tidak menghubungi si bos, sekadar untuk mengingatkan. Pasalnya, selama satu tahun kerja di perusahaan startup asal Sumatera itu, si bos adalah tipikal orang yang tidak pernah lupa kalau sudah membuat jadwal meeting.
Kalau suka molor-molorin gaji, memang. Tapi kalau menunda meeting, seingat Diana kok tidak pernah.
“Terus tanggal 22 (Januari) aku ngecek ponselku. Ternyata ada email masuk dari si bos. Ternyata aku dipecat. Nggak ada angin nggak ada hujan,” ujar pekerja Bandung itu dengan tawa getir. Padahal, tanggal 24-nya, kalau tidak molor, harusnya tanggal gajian.
Tidak balas chat obsesif, si pekerja Bandung dicap tak komunikatif
Diana lalu mengirimkan penggalan lembar pemecetan yang dia terima kepada Mojok. Ada beberapa alasan kenapa si bos memecat Diana, antara lain:
- Tidak responsif dalam komunikasi
- Tidak memiliki inisiatif untuk berkolaborasi
- Performa pekerjaan turun
- Kurang inisiatif guna mencapai hasil kerja.
“Padahal November dan Desember 2024 si bos memberi penilaian bagus pada performaku,” kata Diana.
Makanya, Diana merasa ganjil, kok tiba-tiba banyak banget catatan yang dia terima. Apalagi di h-2 gajian pula pemecatannya.
Namun, asumsi liar tentu mengarah pada proses komunikasi terakhir antara pekerja Bandung tersebut dengan si bos. Di mana si bos terkesan sangat obsesif sehingga membuat Diana tidak nyaman.
Tak rela Diana punya pekerjaan lain
Seperti disinggung di tulisan keluh kesah Diana yang pertama, Diana mendapat pekerjaan di startup asal Sumatera itu dari temannya. Dia tertarik karena perusahaan itu menawarkan sejumlah kemudahan.
Di situ, Diana bekerja sebagai content creator. Kerjanya bisa remote. Artinya, Diana bisa kerja dari mana saja, termasuk misalnya kalau mau kerja dari Bandung saja. Sebulan dia mendapat gaji Rp1,8 juta.
Di bulan-bulan pertamanya pada 2024 itu, Diana merasa nyaman. Selain tempat kerja, jamnya pun fleksibel. Ditambah, dia merasa memiliki bos yang terkesan suportif. Setidaknya, begitu lah kesan awal yang si bos tunjukkan.
Sialnya, lambat laun pekerja asal Bandung itu merasa ada yang tidak beres. Gaji bisa dipastikan selalu molor. Kadang dua sampai tiga hari. Tapi tak jarang pula bisa sampai ganti bulan baru gajian.
Lebih aneh lagi, si bos kalau ngajak meeting Diana pasti hanya berdua. Tidak ada karyawan lain yang dilibatkan.
Sudah gaji cuma Rp1,8 juta, masih molor-molor pula. Maka, Diana berpikir untuk mencari pekerjaan tetap yang lebih layak. Hanya saja, niatnya waktu itu tidak resign dari si perusahaan startup karena dia niati sebagai pekerjaan sampingan.
Diana akhirnya mendapat pekerjaan tetap di sebuah instansi pemerintahan. Hal itu justru membuat tingkah si bos makin aneh pada pekerja asal Bandung itu.
Paksaan dan bujukan bos obses pada si pekerja Bandung
Si bos memohon-mohon agar Diana tidak melanjutkan bekerja di tempat barunya. Si bos membujuk agar pekerja asal Bandung itu mau bekerja secara full time di startup milik si bos.
“Dia (si bos) bahkan maksa minta list modal atau uang yang kukeluarkan selama proses seleksi di instansi tempat kerjaku sekarang ini. Mau dia ganti semua asalkan aku mau kerja full time sama dia,” terang Diana.
“Dia juga minta aku nyebutin berapa gaji yang aku inginkan. Ya aku nggak kasih lah. Buat apa?,” sambungnya. Karena Diana memang ingin bekerja full time di tempat kerja barunya.
Lantaran, mungkin, sudah sangat obsesif pada Diana, si bos masih terus memberondong Diana dengan pesan WhatsApp berisi bujukan-bujukan di atas. Sementara Diana memilih bergeming.
Mungkin, dari situ lah si bos kemudian menilai kalau pekerja asal Bandung itu tidak responsif dan tidak inisiatif. Tapi kalau Diana pikir-pikir, lucu juga kalau persoalannya berakar dari bujukan tak masuk akal dari si bos yang Diana abaikan itu.
“Tapi asli, untungnya sudah dapat pekerjaan tetap. Jadi nggak berhubungan sama sekali dengan perusahaan toxic itu sih lebih baik demi menjaga kewarasan,” pungkas Diana menutup ceritanya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pontang-Panting Gen Z Terjebak Budaya “Orang Dalam” di Dunia Kerja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan