Sulitnya Penyandang Tunanetra Ikut Seleksi CPNS, Akses Dipersulit padahal Punya Kemampuan Lebih

seleksi cpns untuk penyandang tunanetra. MOJOK.CO

ilustrasi - sulitnya penyandang tunanetra ikut seleksi CPNS. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sebagian penyandang disabilitas, khususnya tunanetra masih kesulitan mendaftar seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sistem pendaftaran yang tidak aksesibilitas berpeluang besar menggagalkan mereka saat tes. 

***

Alfian Andhika Yudhistira menjadi salah satu peserta tunanetra yang lolos seleksi CPNS tahun 2021. Usai lulus dari S1 Antropologi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Alfian mempersiapkan diri untuk ikut seleksi hingga akhirnya lolos dan menjadi pegawai di Kementerian Desa (Kemendes).

Namun, tidak mudah bagi Alfian melalui proses seleksi tersebut. Stigma tentang orang berkebutuhan khusus yang tidak bisa apa-apa membuat mereka sering kali diremehkan. Belum lagi, lapangan pekerjaan yang sedikit dan aksesibilitas yang belum terpenuhi juga menghambat mereka mencari pekerjaan. 

Peluang peserta tunanetra lolos CPNS kecil

Sebagai “lulusan Corona”, tidak mudah mencari kerja saat pandemi. Begitu pun Alfian yang, selesai wisuda di Universitas Airlangga (Unair), sulit memperoleh pekerjaan. Pemuda penyandang tunanetra itu tak mau menyiakan-nyiakan peluang untuk mendaftar CPNS tahun 2021. 

“Kalau aku kan prioritasnya pandemi ya, butuh duit. Jadi ya udahlah cari kerja yang pasti-pasti aja dan yang kira-kira peluangnya lebih besar. Waktu itu juga nggak ngerti harus ngapain lagi,” kata Alfian kepada Mojok, Sabtu (16/11/2024).

Sebagai informasi, pemerintah pusat dan daerah menyediakan kuota paling sedikit 2 persen dari keseluruhan formasi CASN bagi penyandang disabilitas pada tahun 2021. Pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas tercantum dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2016.

Bagi Alfian yang merupakan penyandang tunanetra, aturan itu membuat persaingan menjadi ketat. Jika diibaratkan, para penyandang berkebutuhan khusus harus bersaing 1 dibanding 10 dengan peserta seleksi CPNS lainnya.

Karena kan setiap tahun kuoatnya cuman 2 persen dari total rekrutmen dan tidak semua perusahaan juga mau merekrut disabilitas. Sampai sekarang pun masih begitu,” ujarnya. 

Teknologi yang tidak aksesibilitas untuk tunanetra

Selain persaingan yang ketat, Alfian mengungkap banyak penyandang disabilitas khususnya tunanetra kesulitan saat tes, karena sistem atau teknologi yang dipakai oleh pemerintah. Jangkan mereka, orang-orang yang tidak menyandang disabilitas saja kesulitan. 

“Jadi kami nggak bisa baca soalnya. Ada sih jenis aplikasi pembaca layar yang dipasang di situ, tapi ketika itu dinyalakan yang dibaca hanya soal, jawabannya nggak,” ucapnya.

Selama ini Alfian sudah bejar dan berkutat menggunakan teknologi secara otodidak demi membantu segala aktivitasnya, termasuk saat kuliah. Jadi dia paham mana aplikasi yang menurutnya cocok dipakai untuk tunanetra.

Seleksi CPNS sendiri diadakan menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT), di mana seluruh tes dilaksanakan secara online menggunakan komputer. Namun, Alfian menyayangkan aplikasi yang digunakan pemerintah masih belum aksesibilitas. 

Berdebat sengit dengan petugas CPNS

Alfian sempat berdebat dengan petugas jaga agar bisa menggunakan laptop pribadinya saat tes CPNS. Alasannya, karena itu tadi. Alfian merasa tidak nyaman mengerjakan soal lewat komputer yang disediakan dengan aplikasi yang tidak aksesibilitas

Namun, petugas tetap berkelit agar Alfian tetap menggunakan komputer yang disediakan. Barangkali dia takut Alfian bermain “tidak jujur” saat menggunakan laptop pribadinya. Pada akhirnya petugas menawarkan bantuan untuk membacakan soal di layar.

Alfian tetap tak mau kalah berargumen. Dia merasa tidak nyaman jika petugas membacakan soal di ruangan besar. Belum lagi, kata dia, tidak semua orang bisa membaca dengan lugas.

“Kadang-kadang kan orang baca nggak ngerti titik komanya. Nah itu menyulitkan kami. Masalahnya kami dikejar waktu, meskipun penyandang disabilitas punya extra time,” kata dia.

Oleh karena itu, dia tak masalah jika ada 5-10 penjaga yang mengawasi di dekatnya, selama dia diperbolehkan menggunakan laptop pribadinya. Namun, petugas masih tidak mengizinkan. 

Tak patah arang, Alfian akhirnya meminta izin agar aplikasi di laptopnya bisa dipasang di komputer yang disediakan. Dia sampai berbagi salah satu earphone-nya ke telinga petugas agar tidak dicurigai.

Sebetulnya, pemerintah juga sudah memberi waktu khusus untuk penyandang disabilitas sensori netra. Mereka diberi waktu pengerjaan soal selama 130 menit. Sementara, untuk peserta CPNS lain, hanya boleh mengerjakan selama 1 jam lebih 40 menit atau setara dengan 100 menit dengan jumlah soal 110 butir.

Namun, tetap saja Alfian merasa penambahan waktu tersebut tak cukup membantu, sebab soal-soal yang diberikan untuk teman-teman disabilitas lebih banyak deskriptif. Meskipun peserta lain lebih banyak mengerjakan soal numerik.

Kalau dihitung-hitung sebetulnya sama aja. Toh jumlah soalnya juga sama,” kata Alfian.

Merasa dipersulit saat mendaftar CPNS

Selain itu, selama mendampingi teman-temannya yang juga penyandang disabilitas, Alfian sering mendapat keluhan mengenai kebingungan mereka menyiapkan syarat administrasi. Salah satunya adalah surat keterangan disabilitas, meski tidak semua kementerian atau lembaga meminta surat keterangan tersebut.

Saat meminta surat keterangan tersebut, rupanya masih banyak rumah sakit, puskesmas, ataupun klinik yang tidak paham. Petugas rumah sakit justru menanyakan, bagaimana bentuk surat tersebut? Sementara, teman-teman disabilitas juga bingung.

Setelah mencari tempat periksa yang paham, teman-teman disabilitas diperiksa untuk tingkat derajat disabilitasnya. Merujuk pada surat keterangan disabilitas milik Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Bali, terdapat derajat 1 sampai 6.

Mulai dari mampu melaksanakan aktivitas atau mempertahankan sikap dengan kesulitan, hingga tidak mampu penuh melaksanakan kegiatan sehari-hari meskipun dibantu penuh orang lain. Namun, Alfian sendiri ragu dengan penilaian tersebut. 

“Istriku saja, mandirinya sama kayak aku, teknologinya pintar, intinya bisa mandiri dan segala macam lah, tapi masih dikasih derajat 3 sama dokter,” ujar Alfian.

Gagal memahami teman-teman tunanetra

Selain surat keterangan disabilitas, peserta juga harus mengirimkan video kegiatan sehari-hari mereka sebagai pertimbangan penyeleksi. Ketika ada peserta yang derajat disabilitasnya rendah, penyeleksi bisa menyocokkannya dengan video tersebut.

Video, kata Alfian, seharusnya bisa lebih membuktikan kelayakan penyandang disabilitas untuk bekerja di bidang apapun termasuk CPNS. Sayangnya, dia merasa pengumpulan video itu sia-sia, sebab stigma bagi penyandang disabilitas sudah mengakar.

“950 orang dari seribu orang saya rasa nggak paham tentang disabilitas dan masih punya stigma negatif,” ucapnya.

“Tidak bisa dimungkiri bahwa yang banyak dikenalkan masyarakat di media itu kan disabilitas yang harus dikasihani, padahal ada juga yang punya kemampuan lebih dan berpendidikan tinggi,” lanjutnya.

Hingga saat ini, Alfian merasa belum ada perubahan soal hak-hak penyandang disabilitas untuk bekerja, terutama saat mendaftar CPNS. Padahal, dia sudah memberikan kritiknya melalui kotak saran.

“Dalam hal ini aku berani mengatakan pemerintah salah, penerapan untuk aksesibilitas itu gagal. Aku nggak takut ngomong kayak begini, karena memang faktanya salah dan harus diperbaiki,” ucapnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Saya Ikut CPNS 2021 sampai Tahap Akhir agar Tahu Sesulit Apa Jadi PNS

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version