Difabel Kerap Jadi Alat Penarik Simpati, Tapi Hak-haknya Masih Saja Tak Terpenuhi

Pertemuan di PRYAKKUM: Difabel punya hak yang sama, jangan dibedakan MOJOK.CO

Ilustrasi - Hak-hak teman-teman difabel kerap kali masih dikesampingkan oleh pemangku kebijakan, seperti disampaikan dalam pertemuan di PRYAKKUM. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Teman-teman difabel, sampai hari ini, masih merasa menjadi bagian yang hak-haknya dikesampingkan oleh para pemangku kebijakan. Baik di tingkat daerah maupun nasional. Mereka yang akhirnya tergabung dalam Formasi Disabilitas Indonesia, PRYAKKUM, dan Sigab Indonesia tak mau tinggal diam.

***

Rabu (20/11/2024) sekitar pukul 09.30 WIB menjadi pagi yang menyenangkan karena mempertemukan saya dengan Nur Syarif Ramadhan (31). Dia adalah Eksekutif Nasional untuk sebuah organisasi disabilitas bernama Forum Masyarakat Pemantau Indonesia (Formasi) Disabilitas Indonesia. (Saya akan sajikan profil khusus Syarif dalam tulisan berbeda).

Sejak dua hari sebelumnya, Syarif terbang dari Makassar ke Jogja. Ada agenda penting terkait pengawalan isu-isu difabel bersama Pusat Rehabilitasi YAKKUM (PRY) Jogja dan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) Indonesia.

Kami bertemu di PRYAKKUM. Sembari menunggu rekan-rekan lain datang mengikuti rapat, kami pun berbincang agak panjang soal keresahan-keresahan yang dirasakan oleh teman-teman difabel di Indonesia.

Pusat Rehabilitasi YAKKUM Jogja. (Aly Reza/Mojok.co)

“Jadi Formasi itu forum yang mewadahi indiviu atau organisasi disabilitas. Fokusnya adalah pada bidang pemantauan tentang isu-isu disabilitas,” tutur Syarif menjelaskan apa itu Formasi (sebutan pendek untuk Formasi Disabilitas Indonesia).

Berdiri 2021, hingga saat ini Formasi memiliki 204 anggota yang tersebar di 30 provinsi di Indonesia.

Tak terlalu dilibatkan dalam Pemilu

Dalam satu tahun terakhir, Syarif dan teman-teman dari Formasi, Sigab Indonesia, serta PRYAKKUM tengah malakukan Survei Persepsi Pemilih Difabel. Mengingat, ada dua agenda politik besar di tahun 2024: Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Daerah (Pilkada).

Tujuannya untuk mengetahui, seberapa besar para kandidat atau kontestan Pemilu melibatkan teman-teman difabel.

Temuan dari survei tersebut, ternyata di Pemilu 2024 pelibatan teman-teman difabel nyaris tidak terdengar, baik secara nasional maupun daerah.

Nur Syarif Ramadhan (31), Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas Nasional. Foto diambil atas persetujuan Syarif. (Aly Reza/Mojok.co)

“Bandingkan dengan Pemilu 2014 atau 2019 misalnya. Ada sosialisasi peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh KPU yang memberikan ruang pada kami untuk terlibat, misalnya jadi relawan demokrasi atau juga ada ruang-ruang dialog dengan organisasi difabel,” papar Syarif.

Implikasi tidak dilibatkannya mereka dalam proses Pemilu, tentu saja yang paling kentara adalah pada aspek teknis pencoblosan. Misalnya tidak ada fasilitas yang tersedia untuk teman-teman difabel.

Selain itu, petugas KPPS dan TPS tidak memperoleh pengetahuan atau bimbingan teknis (bimtek) terkait bagaimana berinteraksi dan mengakomodasi teman difabel. Alhasil, proses pencoblosan bagi mereka pun menemui beberapa kendala.

Diperlakukan sebagai pemilih biasa

Penyebab tidak tersedianya fasilitas bagi teman-teman difabel adalah karena kerap kali mereka yang berwenang–KPU dalam hal ini–memperlakukan mereka sebagai pemilih biasa.

Merujuk data survei dari Formasi, PRYAKKUM, dan Sigab Indonesia, angka pemilih difabel memang terbilang rendah, yakni 35,7%. Mereka paling banyak justru terdaftar sebagai pemilih biasa: 44,9%. Sementara sisanya, ada 14,4% yang menyatakan tidak tahu dan 3,5% sisanya malah tidak terdaftar.

Tangkapan layar data survei Formasi, PRYAKKUM, dan Sigab Indonesia tentang teman-teman difabel yang dianggap sebagai pemilih biasa.

Difabel hanya jadi alat kampanye

Survei yang dilakukan Formasi, PRYAKKUM, dan Sigab Indonesia juga memotret bagaimana keberpihakan kandidat atau kontestan Pemilu: ada nggak rencana atau program mereka yang support pada teman-teman difabel? Di samping itu juga seberapa jauh mereka melibatkan teman-teman difabel untuk memberi masukan?

“Mereka yang terpilih (menjadi pemimpin) ini nantinya kan yang akan menyuarakan suara rakyat, termasuk kami yang difabel. Nah, jika dalam proses awal saja (menyusun program) kami luput dari pelibatan, bisa jadi suara kami nggak akan signifikan lagi selama lima tahun ke depan,” ujar Syarif.

Temuan dari survei tersebut yakni, 50% teman-teman difabel tidak dimintai masukan. Sangat miris sekali. Sisanya, yang dimintai dan memberi masukan ada 30%, 15% memberi masukan tapi tidak digunakan dalam kampanye, dan 5% sisanya tidak menjawab. (Data lebih lengkap mengenai hasil survei bisa dicek di sini).

Tangkapan layar data survei Formasi, PRYAKKUM, dan Sigab Indonesia tentang pelibatan dalam memberikan masukan terkait materi kampanye.

Maka, wajar saja jika kemudian teman-teman difabel seperti Syarif, merasa bahwa mereka hanya dimanfaatkan sebatas sebagai alat kampanye saja: untuk menarik simpati.

“Tapi tetap saja tidak pada substansi, bagaimana kemudian diintegrasikan dengan rencana-rencana atau program-program ketika mereka terpilih. Kalau kontestan terpilih, ya sudah kami akhirnya diabaikan (lagi),” ungkap Syarif.

Difabel butuh akses yang inklusif

Teman-teman Formasi mulai berdatangan saat obrolan saya dan Syarif sudah beranjak jauh. Artinya, rapat akan segera dimulai. Tapi, Syarif masih berbaik hati memberikan waktunya untuk berbincang dengan saya.

Sebab, apa yang hendak dia sampaikan berikutnya adalah bagian vital terkait persoalan-persoalan yang kerap teman-teman difabel hadapi dan sudah seharusnya dibenahi.

“Kami punya banyak aspirasi, misalnya pemberdayaan, pendidikan, askes ekonomi inklusif, kesehatan, dan banyak lagi. Nah, kebanyakan apa yang dipahami oleh kontestan (Pemilu) hanya sebatas bansos. Memberi kami santunan, lalu selesai,” tutur Syarif.

“Sementara kalau mau bicara soal isu difabel sebenarnya sangat luas, harusnya diintegrasikan secara luas. Misalnya, saat Covid-19, banyak pekerja difabel yang bekerja di sektor informal kehilangan mata pencarian. Mereka yang bekerja sebagai terapis, tidak mendapat pemasukan. Yang seperti itu belum ada solusi,” sambung pemuda asal Makassar tersebut.

Jika bicara perihal ekonomi inklusif, lanjut Syarif, banyak teman difabel tidak mendapat kemudahan, bahkan cenderung ditutup aksesnya, untuk urusan perbankan. Sebab, mereka dianggap tidak mampu mengelola akunnya sendiri. Beberapa waktu lalu, Mojok juga mendengar keluhan seorang “teman netra” yang dipersulit saat mengikuti seleksi CPNS. 

Kasus lain, ketika ada teman difabel jadi korban pelecahan seksual, Syarif masih belum mendengar ada komitmen dari para pemangku kebijakan untuk menangani hal-hal semacam itu secara serius.

Kenapa hanya boleh sekolah di SLB?

Belum lagi dalam pendidikan. Kerap kali teman-teman difabel dibedakan. Mereka dikotakkan dalam lembaga pendidikan khusus–sebut saja Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal, bagi Syarif, seharusnya mereka juga berhak mengakses pendidikan umum.

“Kami mendorong adik-adik yang memungkinkan, ya sekolah di sekolah umum. Karena itu jauh lebih baik untuk membiasakan mereka berinteraksi dengan non-difabel. Non-difabel juga akan tumbuh kesadaran sehingga pandangannya tidak aneh lagi terhadap kawan difabel,” beber Syarif. Itulah yang namanya pendidikan inklusif.

Di antara dampak pendidikan inklusif nantinya juga berkaitan langsung dengan ekonomi inklusif. Karena jika sejak awal teman-teman difabel berinteraksi dengan non-difabel, di proses selanjutnya nanti akan lebih mudah.

“Misalnya ketika masuk dunia kerja dan memiliki kolega kerja non-difabel, jadi tidak akan canggung lagi,” imbuh pria ramah itu.

Atas situasi-situasi tersebut, Formasi, PRYAKKUM, dan Sigab Indonesia memberi rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:

Rekomendasi (1)

  1. Dalam penyelenggaraan Pemilu periode yang akan datang, KPU, Bawaslu, BPS, Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil perlu secara bersama-sama melakukan review dan/atau sinkronisasi data Pemilih Difabel yang dianggap sebagai ‘Pemilih Biasa’.
  2. Untuk penyelenggaraan Pemilu periode yang akan datang, KPU perlu memperbaiki mekanisme pendaftaran pemilih. Pantarlih perlu dibekali dan dipastikan sedemikian rupa untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.
  3. Pelibatan organisasi difabel hingga ke tingkat terbawah dalam memastikan data pemilih yang lebih akurat pun sangat diperlukan.
  4. Pendataan DPT dilakukan secara langsung ‘door to door’ kepada setiap warga di lokasi tempat tinggalnya untuk memastikan semua difabel terdata;
  5. Setiap KK yang mempunyai anggota keluarga difabel perlu memastikan bahwa anggota keluarga tersebut tercatat dalam DPT sebagai Pemilih Difabel dan menyampaikan informasi tersebut kepada yang bersangkutan untuk menjalankan hak politiknya dalam Pemilu 2024;
  6. Bawaslu agar memperkuat pengawasan dan pemantauan atas inklusifitas penyelenggaraan Pemilu bagi difabel, serta merilis hasil pemantauannya sebagai bukti dan acuan implementasi pasal 29 CRPD dan UU Disabilitas beserta turunannya.
  7. KPU agar memastikan penjangkauan bagi panti/balai rehabilitasi agar difabel dan kelompok rentan lain yang tinggal di panti/balai rehabilitasi tetap dapat menggunakan hak suaranya

Rekomendasi (2)

  1. Bawaslu agar melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemungutan suara di panti/balai rehabilitasi untuk memastikan terpenuhinya hak pilih difabel dan kelompok rentan lainnya yang tinggal di institusi tersebut
  2. Perluasan sosialisasi Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU dan/atau Bawaslu ke berbagai level bahwa semua Kelompok Difabel
  3. KPU, Bawaslu serta partai politik perlu memfasilitasi pendidikan pemilih serta pendidikan politik bagi difabel secara meluas, terutama bagi kelompok difabel dengan tingkat pendidikan rendah dan/atau yang belum menjangkau pendidikan
  4. Partai politik perlu memulai membangun pengkaderan difabel dalam politik praktis secara sistematis. Keterlibatan difabel akan memberikan dampak penguatan yang lebih signifikan dalam memperkuat nilai inklusifitas di ranah politik dan legislasi.
  5. Pengawas dan penyelenggara Pemilu agar mengeluarkan kebijakan afirmasi ke-Pemilu-an agar peserta Pemilu (partai politik, calon legislatif, serta calon kepala daerah maupun calon kepala negara) mempunyai perspektif inklusi dan difabel.
  6. Agar pengawas dan penyelenggara Pemilu mengeluarkan panduan pelaksanaan kampanye yang memastikan pelibatan dan partisipasi aktif difabel dan kelompok rentan lainnya dalam kegiatan kampanye, termasuk untuk mengakses materi dan kegiatan kampanye.
  7. KPU agar mewajibkan untuk dimunculkan status dan jenis disabilitas pada DPS maupun DPT, baik yang tersedia di KPU maupun yang tersedia di TPS dan lokasi pemungutan suara untuk memastikan PPS memahami keberadaan difabel yang akan melakukan pemungutan suara.

Rekomendasi (3)

  1. BAWASLU agar melakukan pengawasan atas hal tersebut, dan memperlakukan ketiadaan informasi status dan jenis disabilitas dalam DPT / DPS sebagai bagian dari pelanggaran.
  2. KPU agar memperbaiki sistem dan proses pendaftaran pemilih, utamanya dengan memperbaiki identifikasi pemilih dengan disabilitas.
  3. KPU agar memastikan substansi aksesibilitas PEMILU, termasuk alat bantu pencoblosan dan manfaat serta keperuntukannya dipahami oleh seluruh petugas pemungutan suara, melalui penyelenggaraan BIMTEK secara menyeluruh dan komprehensif dengan melibatkan organisasi difabel.
  4. BAWASLU agar memperketat pengawasan implementasi aksesibilitas penyelenggaraan Pemilu, termasuk memastikan pemilihan lokasi TPS aksesibel, ketersediaan dan pemanfaatan alat bantu, serta kebebasan bagi pemilih difabel untuk memilih pendamping yang dipercaya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Sulitnya Penyandang Tunanetra Ikut Seleksi CPNS, Akses Dipersulit padahal Punya Kemampuan Lebih

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version