Orde Baru—rezim Soeharto—memang sudah kelewat bertahun silam. Namun, cara bernegara hingga saat masih sama: Aparat takut dengan buku, masih hobi sweeping buku. Seperti yang terjadi di Jawa Barat belakangan ini. Memang berat jadi WNI.
Diketahui, Polda Jawa Barat menjadikan sejumlah buku sebagai barang bukti di balik kasus kericuhan aksi demonstrasi di Bandung kapan lalu.
Dalam konferensi pers di Mapolda Jawa Barat, Selasa (16/9/2025), polisi menyebut beberapa buku yang disita memuat teori anarkisme. Buku-buku itu diduga menjadi referensi literasi bagi massa aksi melakukan tindakan anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat.
Sweeping buku: langkah konyol aparat di Jawa Barat
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana, menilai praktik sweeping buku oleh aparat di Jawa Barat itu merupakan langkah mundur.
Pasalnya, praktik tersebut adalah tinggalan rezim otoriter Orde Baru yang dikenal sangat anti terhadap buku. Apalagi buku-buku yang diduga kritis terhadap pemerintah. Tapi kok bisa-bisanya masih berlangsung jauh setelah era reformasi.
“Fenomena sweeping buku ini bukan hal baru. Pada masa lalu, militer juga melakukan hal serupa terhadap buku-buku yang dianggap berhaluan kiri dengan dalih mengajarkan Marxisme atau Leninisme,” ujar Satria, Jumat (19/9/2025) lalu.
“Kini, polisi melanjutkan pola itu. Ini langkah yang memalukan, kalau bisa dibilang konyol,” sambungnya dengan gemas.
Sumber ilmu pengetahuan dicekal, masyarakat tak boleh pintar
Buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Rasa-rasanya banyak orang akan bersepakat dengan itu.
Oleh karena itu, bagi Satria, buku apapun isinya—baik kiri, kanan, ekstrem, maupun moderat—tetaplah sumber ilmu pengetahuan. Justru ketika dari waktu ke waktu makin banyak kelimun masyarakat yang gemar membaca dan mendiskusikan buku, itu merupakan tanda bahwa peradaban masyarakat telah tumbuh.
“Mahasiswa, pelajar, atau masyarakat yang membaca buku lalu menjadi kritis hingga berani berdiskusi atau melakukan demonstrasi, itu seharusnya dirayakan sebagai tanda sehatnya demokrasi. Bukan justru ditakuti lalu dipidanakan,” tegas Satria.
Maka, menjadi wajar ketika Satria mempertanyakan dasar hukum aparat di Jawa Barat menjadikan buku sebagai barang bukti pidana. Satria tak segan menyebutnya telah masuk dalam ketagori penyalahgunaan kewenangan. Sebab, sweeping dilakukan tanpa kajian serius dan objektif.
“Apakah aparat (di Jawa Barat itu) betul-betul membaca dan memahami isi buku dari awal hingga akhir? Atau sekadar menjadikan sampul dan judul sebagai simbol untuk menakut-nakuti?,” tanya Satria retoris.
“Kalau seperti itu, ini bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi pengetahuan,” tegasnya.
Lewat kriminalisasi pengetahuan ini, aparat seolah tak ingin masyarakat menjadi pintar-kritis-berpengetahuan. Jika melulu begitu, selamanya sumber daya manusia Indonesia akan tetap tertinggal.
Sweeping buku di Jawa Barat: sikap anti-ilmu pengetahuan yang dinormalkan
Satria tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Selama ini, KIKA selalu mengkhawatirkan kembalinya praktik gaya Orde Baru. Yakni ketika kebebasan akademik dibungkam melalui pelarangan referensi bacaan dan pembatasan diskursus kritis. Karena praktiknya sudah sangat terang-terangan, sebagaimana yang dilakukan oleh aparat di Jawa Barat itu.
“Kebebasan akademik harus dijaga. Buku tidak bisa dijadikan alat bukti untuk memidanakan seseorang hanya karena bacaan mereka membuatnya kritis,” ucap Satria.
“Kalau praktik sweeping ini dibiarkan, kita berisiko mengulang normalisasi gaya lama seperti era NKK/BKK di masa Orde Baru,” sambung Dekan Fakultas Hukum tersebut.
Dulu, di era Orde Baru, NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) menjadi kebijakan yang membatasi dan mensterilkan kegiatan politik mahasiswa di kampus.
Kebijakan ini menghapuskan kebebasan berekspresi mahasiswa, membatasi aktivitas politik, serta mengarahkan mahasiswa untuk fokus pada kegiatan akademik dan ilmiah. Dampaknya, gerakan mahasiswa melemah. Lalu tercipta budaya apolitis di kampus
Khawatir era gelap itu terulang, Satria menekankan, aparat keamanan seharusnya mengembalikan ruang kebebasan akademik. Bukan justru mempersempitnya dengan sikap anti-ilmu pengetahuan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Komik Jadi Bacaan Populer di Indonesia Sejak 50-an, Diruntuhkan karena Cap “Dewasa” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
