Biennale Jogja 2025 tahap II tengah berlangsung di tiga titik lokasi. Dua diantaranya berada di desa. Jika selama ini kita menikmati karya seni di galeri, Biennale kali ini menyuguhkan beragam karya di tengah aktivitas warga.
***
Sebuah pesan masuk di akun Instagram saya pada hari Minggu (2/11/2025) pukul 20.05 WIB. “Mas Ipang pekan ini ada di Jogja terus? Gw rencana mau ke Jogja untuk lihat Biennale”. Pesan ini datang dari Hidayat Adhiningrat. Kolega saya satu angkatan di Majalah GATRA dulu.
Kang Dayat–demikian saya memanggil–sudah beberapa tahun belakangan ini aktif menulis seni rupa dan pertunjukkan untuk berbagai media. Pesan darinya malam itu seperti sebuah kebetulan. Pasalnya, saya sudah menjadwalkan untuk blusukan ke acara tersebut pekan ini. “Gass, Kang. Gw juga mau lihat Biennale,” saya menjawab.
Sebagai informasi, Biennale Yogyakarta edisi ke-18 kali ini sudah masuk babak II. Acaranya berlangsung pada tanggal 5 Oktober-20 November 2025 di tiga lokasi: Kota Yogyakarta, Desa Panggungharjo, dan Desa Bangunjiwo. Saya tertarik untuk mengunjungi karya yang tersaji di Desa Panggungharjo dan Bangunjiwo. Kedua desa tersebut berada di wilayah Bantul.
Alasannya sederhana, saya ingin langsung melihat karya-karya yang konsepnya berfokus pada kerja kolaboratif antara seniman dan komunitas. Seperti yang saya baca dalam catatan pengantar acaranya, kolaborasi ini menelusuri jejak lanskap dan tradisi lokal sebagai bentuk kesadaran bersama terhadap perubahan zaman.
Biennale kali ini masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menempatkan kerja transnasional dan translokal sebagai cara untuk membangun imajinasi kolektif baru. Event ini melibatkan seniman-seniman lintas disiplin yang ada di Indonesia dan negara-negara pasifik. Setelah membaca detail acara di media sosialnya, saya lantas menyusun rute: Balai Budaya Karangkitri-Gubuk Putih-Joglo Pak Newu-Plataran Djoko Pekik.
Karya di Tengah Desa
Rabu (5/11/2025) siang pukul 11.00 langit perlahan mulai berwarna kelabu di wilayah Yogyakarta. Kota ini hampir setiap hari diguyur hujan. Terutama di sore hari. Saya sudah mengatur janji untuk menjemput Kang Dayat pukul 13.00 di sekitaran Alun-alun Selatan. Setelah itu, bersama-sama akan tur Biennale. Cuaca di wilayah Bantul mendung.
Sampai di Bantul, destinasi pertama kami adalah Balai Budaya Karangkitri. Balai ini berada di Desa Panggungharjo, di tengah pemukiman warga, di antara tanah perkebunan. Rumah Joglo bercat putih ini berfungsi sebagai balai pusat kegiatan warga. Sembari jalan-jalan saya berbincang dengan Kang Dayat. Ia memberikan pandangannya soal konsep Biennale ini. Menurutnya ada yang menarik, karya-karya yang dipamerkan membaur dengan kehidupan masyarakat desa dan memberi perspektif baru dan menarik tentang pameran seni rupa.
“Tempat-tempat ini bukan tempat yang lazim untuk berpameran. Aktivasi ruang baru yang dilakukan di Biennale Jogja seakan ingin mendesentralisasi ruang pameran dan menciptakan pusat-pusat baru. Suatu hal yang tak biasa dalam pameran seni rupa yang lazimnya terpusat di satu tempat,” ujarnya.

Biennale Babak II secara umum mengambil tema Kawruh: Tanah Lelaku. Sebetulnya ini merupakan tidak lanjut dari Biennale Tahun 2023 yang dulu bertajuk Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah. “Sejak Tahun 2023 kami mencoba format baru untuk memasuki desa sebagai wilayah kerja, juga ikhtiar untuk mendefinisikan kembali makna seni hari-hari ini,” kata Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale, di Guide Book Biennale Jogja 18.
“Bekerja dari desa, kami melihat bagaimana pengetahuan-pengetahuan yang hidup dalam keseharian warga adalah modal untuk terus bernegosiasi dengan arus-arus besar pusaran dan politik ekonomi dunia,” imbuhnya
Dan benar seperti itulah yang saya lihat saat memasuki Balai Budaya Karangkitri. Karya Vina Puspitawati menarik perhatian saya. Vina adalah praktisi dan peneliti seni yang bekerja di ranah seni, pendidikan, dan komunitas. Praktiknya lintas disiplin, menekankan kolaborasi antara seniman dan non-seniman, serta perhatiannya pada suara anak-anak dan kaum muda yang kerap terpinggirkan.
Vina menampilkan karya bertajuk Tuwuhing Boro (Tumbuhnya Boro) dalam bentuk mural, video, teks, dan instalasi dahan kayu. Karya ini merupakan hasil kolaborasi dan partisipasi anak-anak, remaja, dan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Boro, Kulonprogo. Karya Mural yang dipresentasikan Vina bergambar Pohon Kepuh.
Kenapa Kepuh? karena pohon tersebut merupakan pohon tertua di Boro yang menjadi punden, kosmologi pusat desa. Pada pohon tersebut tergambar tiga tema hasil refleksi anak-anak dan remaja Boro. Pertama, kedekatan dengan keluarga sekaligus rasa syukur, dan mimpi-mimpinya. Kedua, hubungan dengan alam dan hasil bumi sebagai sumber penghidupan. Dan ketiga, hubungan dengan masyarakat yang rukun dan saling mendukung.
Bangunan yang Serba Putih
Setelah melihat karya yang terpajang di Balai Budaya Karangkitri, perjalanan kami lanjutkan ke Gubug Putih. Lokasinya sekitar 500 meter ke arah utara dari tempat kami berdiri saat itu. Saya dan Kang dayat memutuskan untuk berjalan kaki. Melewati rumah dan kebun warga.
15 menit kami berjalan kaki, tiba lah di Gubug Putih. Saat itu hanya kami satu-satunya tamu yang ada di sana. Sesuai namanya, bangunannya serba putih, ada kolam di kanan dan kiri jalan saat mau masuk menuju teras. Saya sempat bertanya-tanya ini sebetulnya ini bangunan apa, karena jika melihat bentuk fisiknya ini bukan rumah tempat tinggal bukan pula gedung pertemuan.
Namun, di luar pertanyaan itu, satu hal yang menarik perhatian adalah kemunculan instalasi cerobong audio di kedua kolam tersebut. Cerobong itu mengeluarkan suara noise yang membentuk struktur bebunyian tertentu. Instalasi cerobong ini merupakan karya dari Fioretti Vera dengan judul Spektralieri.
Karya instalasi tersebut merupakan penerjemahan sang seniman atas aktivitas memasak ibu-ibu KWT Sawit, Desa Panggungharjo. Suara-suara aktivitas memasak ini—seperti suara wajan, irisan sayur, dan perbincangan antar ibu-ibu— ia ingat dan rekam lalu mempresentasikannya dalam karya Spektralieri.
Karya Fioretti tak berdiri sendiri, tepat di lokasi yang sama ada juga karya instalasi BIYA Project. BIYA adalah kolektif asal Bandung yang mempunyai inisiatif kreatif fokus pada pengolahan sampah kantong plastik sekali pakai. BIYA senantiasa melibatkan masyarakat dalam proses produksinya yang menghadirkan pendekatan etis sekaligus edukatif terhadap pengelolaan sampah. Saya dan Kang Dayat rehat sejenak di Gubug Putih sembari melihat detail dua karya yang terpajang.
“Kelebihan dari konsep Biennale seperti ini, karya yang ditampilkan bisa lebih luwes untuk dikaitkan dengan karakteristik sosial yang ada di lokasi pameran. Seperti yang ada di Gubug Putih, Spektralieri (Fioretti Vera) dan BIYA Project, yang terinspirasi dari obrolan warga dan bertumbuh secara interaktif bersama aktivitas warga di sekitar tempat pameran,” kata Kang Dayat.
Manuskrip di Tepi Kali Bedog
Perjalanan kami lanjutkan menuju Joglo Pak Newu dan Plataran Djoko Pekik. Joglo Pak Newu berada di sebelah selatan Gubug Putih. Kurang lebih 15 menit menuju lokasi dari Balai Budaya Karangkitri tempat kami memarkir kendaraan. Karya dengan judul Omah Samin menyambut kami sesampainya di Joglo sederhana tersebut. Karya ini merupakan hasil dari proses kreatif Kolektif Arungkala.
Kolektif Arungkala aktif bergiat dalam produksi pengetahuan alternatif lintas disiplin. Pada karyanya yang berjudul Omah Samin Arungkala menampilkan kendi, tanah liat, tikar, pengeras suara, dan juga peta keberadaan Komunitas Samin. Lewat karya ini kita diajak untuk melihat kembali eksistensi dan sejarah komunitas Samin di Jawa Tengah.
Tak lama kami berada di Joglo Pak Newu, kami lanjutkan perjalanan ke Plataran Djoko Pekik. Seperti yang kita ketahui, lokasi Plataran Djoko Pekik yang berada di daerah Sembungan Bantul seperti membawa kami ke dimensi yang lain. Rimbunnya pepohonan dan heningnya suasana di tepi Sungai Bedog membawa nuansa yang magis sekaligus mistis.
Kami langsung masuk ke studio Djoko Pekik, Biennale menghadirkan ringkasan perjalanan penting sang maestro. Saya berdecak kagum melihat lukisan-lukisan realis karya Djoko Pekik yang berukuran besar. Bergeser ke ruang sebelah studio kami langsung disuguhi karya dari Faisal Kamandobat.
Faisal yang berasal dari Cilacap populer sebagai penulis, penyair, dan perupa. Ia mendirikan Sanggar Matur Nuwun di kampungnya. Sebuah madrasah dan studio inklusif yang menaruh perhatian pada kreativitas dan literasi anak muda. Karya Faisal di Biennale Jogja tahun ini berupa manuskrip visual berjudul Kitab Surga yang memadukan sastra dan seni rupa. Ini menarik.
Kitab Surga bersumber dari eksplorasi etnografi di wilayah pegunungan Dayeuh Luhur, Cilacap, manuskrip ini menceritakan tentang Kiai Jembar Manah, seorang guru sufi, yang mengutus muridnya untuk belajar kepada Ki Girang Tampian, seorang pemuka adat Sunda. Namun, alih-alih memberikan pelajaran, Ki Girang justru menyampaikan sebuah ramalan tentang datangnya hari kiamat, yang ditandai oleh keterpisahan manusia dari alam.
Plataran Djoko Pekik menjadi destinasi terakhir kami hari itu. Sekitar 30 menit kami berada di tepian Sungai Bedog. Ada kesan tersendiri menikmati Biennale Jogja di desa-desa seperti ini. Saya dan Kang Dayat berbincang tentang hal ini. Menurutnya, karya-karya yang bercampur dengan banyak properti warga sebetulnya bisa membuat pengunjung kesulitan memahami bahasa visual yang dibawa seniman. Tapi, mungkin sensasi inilah yang sedang ditawarkan oleh Biennale Jogja yang bertujuan menggali praktik seni dari pengalaman sehari-hari.
Penulis: Purnawan Setyo Adi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Biennale Jogja 2025: Membuka Keterasingan Padukuhan Boro yang Diapit Jalan Daendels dan JJLS dan tulisan menarik lainnya di Liputan