Blok M ini semacam anomali. Lokasinya dekat dengan Markas Besar Polisi RI (Mabes Polri) di Jakarta Selatan. Namun, premanismenya merajalela. Sampai ada istilah: “zaman berganti, tapi preman Blok M abadi”.
***
Figo, bukan nama sebenarnya, tak akan pernah lupa dengan kejadian yang menimpanya 10 tahun lalu. Lelaki yang bekerja sebagai dosen di Jogja ini bercerita, saat masih mahasiswa, himpunan di jurusannya membuat program dana usaha.
Dia masih ingat, program itu dilakukan dengan cara berjualan makanan di sekitaran Blok M. Nantinya, hasil jualan akan dipakai untuk menambah biaya akomodasi sebuah acara kampus.
“Waktu lagi jualan, belum ada lima menit keliling, dua orang menghampiri. Ditanya, ‘mana uang keamanannya?’,” kata Figo, Minggu (12/1/2025), mengingat kisah tersebut.
Karena merasa ditanya pertanyaan tak masuk akal, Figo menjawabnya dengan ketus. Sayangnya, dia dan seorang temannya kemudian diseret ke pinggir jalan raya. Barang jualannya juga dilempar.
“Dia bilang, ‘kalau mau hidup, jaga ucapan jaga sikap’,” ujarnya.
Yang bikin Figo heran, adegan itu disaksikan banyak orang. Anehnya, tak ada satupun yang bereaksi–seolah tak kejadian apa-apa. Sesampainya di kampus, Figo diberitahu oleh temannya bahwa kemungkinan orang yang memalaknya adalah anggota salah satu kelompok preman yang berkuasa di Blok M.
“Katanya saya masih beruntung karena nggak digebukin,” ujarnya. “Kalau saya ingat-ingat lagi, ngeri juga ya waktu itu.”
Waktu berjalan, tapi premanisme nggak hilang
Tepat satu dekade lalu Figo mengalami kejadian tersebut. Namun yang dia pahami, laku premanisme belum sepenuhnya hilang di Blok M.
“Yang aku amati, mungkin bukan lagi melalui kekerasan. Tapi lihat aja pungutan liar berdalih uang keamanan, parkir sembarangan, masih ada. Kawasannya berbenah, premannya nggak,” ujarnya, sebal.
Blok M sendiri merupakan kawasan bisnis dan perbelanjaan yang lokasinya ada di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sejak 1980-an, kawasan ini sudah masyhur sebagai tempat nongkrong anak muda Jaksel.
Pada 2013, Blok M mulai ditata “kemasannya” agar terlihat lebih rapi. Sebab, pada masa itu, Jakarta sedang menyongsong beberapa program besar. Termasuk Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015, Asian Games 2018, sampai launcing MRT pada 2019.
Pada pandemi Covid-19, geliat di Blok M sempat meredup. Tetapi hari ini, banyak anak muda yang kembali memadati kawasan ini untuk nongkrong.
Acara musik mulai bergeliat, taman-taman mulai dipadati lagi. Kios-kios juga mulai banyak yang berdiri. Mulai dari kafe-kafe estetik, kios yang menjual makanan murah khas Indonesia, sampai kudapan-kudapan khas kuliner Asia yang harganya lumayan tinggi.
Namun, seperti yang dikatakan Figo, tampilan Blok M boleh saja upgrade. Lalu, premanismenya? Sayangnya tidak pergi kemana-mana.
Di X (Twitter), ketika Blok M ramai menjadi bahan perbincangan, tak sedikit yang warganet mengeluhkan soal premanisme–alih-alih meromantisme kawasan ini.
Dua kelompok preman penguasa Blok M
Sejak dulu, Blok M sudah terkenal sebagai kawasan komersial dan hiburan di Jakarta Selatan. Sehingga, tak heran kalau ia menjadi lahan basah buat beberapa kelompok preman.
Dalam sejarahnya, ada dua kelompok preman kondang yang menguasai kawasan ini. Menurut penelitian Kun Sriasih dalam “Premanisme di Jakarta Tahun 1974-1983”, dua kelompok ini adalah Legos dan Geng Surabaya (belakangan disebut “Geng Arek”).
Kawasan-kawasan di Jakarta, pada masa 1980-an, memang dipetakan berdasarkan daerah kekuasaan para bandit. Termasuk Blok M, yang sebagian besar dikuasai oleh Legos. Menariknya, anggota geng ini salah satunya adalah Ali Moertopo, politisi Golkar yang jadi tangan kanan Suharto sepanjang Orde Baru.
Sementara wilayah kekuasaan preman Surabaya di Blok M, sebenarnya tak sebesar Legos. Namun, penelitian Maruli C.C. Simanjuntak dalam “Organisasi Preman di Blok M Jakarta Selatan” menunjukkan, geng ini mampu bertahan menghadapi gempuran zaman dan kemunculan preman yang berlatar belakang etnis lain. Seperti preman Flores, organisasi preman Ambon, organisasi preman Medan, organisasi preman Palembang, dan organisasi preman Bugis-Makassar di Jakarta.
Dinamika terjadi. Perebutan lahan parkir yang berujung bentrok bukan hal yang asing. Tapi pada akhirnya ada upaya damai yang bikin geng-geng ini “rujuk” dengan tetap memperhatikan wilayah kekuasaannya.
Hari ini, pembagian wilayah kekuasaan ini semakin menarik. Selain Logos dan blok Surabaya, organisasi masyarakat (ormas) lain juga mulai menancapkan eksistensinya di Blok M.
Seperti dengan berkibarnya bendera Pemuda Pancasila (PP) di sudut Jalan Melawai IV Blok M. Atau juga Kelompok Serang yang menguasai ruas parkir Bank DKI Melawai (kini sudah tutup).
Dekat Mabes Polri, tapi premanisme tumbuh subur
Bagi Figo, yang sudah kenyang makan asam-garam dipalak preman Blok M, ada satu hal yang mengusik pikirannya. Blok M ini masih berada satu kawasan dengan Markas Besar Polisi RI (Mabes Polri).
Bahkan, kalau diukur, lokasi-lokasi yang banyak premannya tak jauh dari kantor institusi penegak hukum itu.
“Tapi, premanismenya nggak pernah mati. Padahal, polisi kan harusnya gampang ‘menciduk’ preman-preman ini kalau mau,” ungkapnya, heran.
“Atau jangan-jangan…,” imbuhnya ragu-ragu.
Figo meminta saya untuk tak menuliskan kalimat terakhirnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mencoba Bahagia di Bukit Duri Jakarta Selatan dengan Gaji UMR Jakarta Tak Pernah Tersisa Tiap Bulan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan