Kota kecil seperti Rembang kerap dianggap tertinggal hanya karena tidak punya outlet Mie Gacoan. Padahal ukuran maju tidak sereceh itu.
***
Mie Gacoan saat ini seolah menjadi indikator kemajuan suatu daerah. Suatu daerah dianggap tertinggal jika di sana tidak ada Mie Gacoan. Setidaknya begitulah cara pandang kasar yang berkembang saat ini.
Ambil contoh di daerah saya di Rembang, Jawa Tengah. Saya kerap diledek oleh teman-teman luar daerah: menyebut Rembang sebagai daerah yang jauh dari peradaban. Sebab, di Rembang tidak ada Mie Gacoan, KFC, McD, Richeese, bioskop, dan hal-hal lain yang diidentikkan dengan modernitas.
Bahkan, saya sempat menemukan akun Instagram tentang Rembang yang isinya adalah keluhan karena Rembang kerap menjadi sasaran ledekan orang-orang luar daerah.
Merasa tertinggal dengan daerah-daerah tetangga
Februari 2024 lalu, saya juga sempat wawancara dengan beberapa anak muda di Rembang. Mereka punya anggapan yang sama: iri dengan daerah tetangga yang mulai dan makin gemerlap.
Misalnya, Tuban dan Kudus sudah jauh lebih dulu menjadi gemerlap. Ada bioskop, Mie Gacoan, dan retail-retail modern lain. Kemudian seiring waktu menyusul Pati dan Blora yang mengumumkan bakal memiliki Mie Gacoan.
Alhasil, anak-anak muda di Rembang itu jika ingin menikmati bioskop atau Mie Gacoan harus rela menempuh waktu satu sampai dua jam ke daerah tetangga.
Situasi itu membuat Kabupaten Rembang akhirnya merasa tidak mau tertinggal. Alhasil, per Desember 2024 lalu mulai dilakukan pembangunan bioskop yang di dalamnya nanti juga akan dilengkapi restoran waralaba dengan nama-nama besar seperti Mie Gacoan.
“Banyak sekali karyawan, anak-anak, teman-teman, yang harus pergi ke Pati-Semarang atau Solo kalau ingin nonton bioskop. Kami ingin agar Rembang tidak peteng (gelap), saya ingin membuat Rembang padhang (cerah),” ujar Siswanto, CEO 515 Grup selaku inisiator proyek ssperti Mojok kutip dari Jawa Pos Radar Kudus.
Harapan Siswanto, hasil proyek tersebut nantinya akan membuat Rembang setara dengan daerah/kota-kota lain. Sehingga tidak selalu dianggap kabupaten tertinggal.
Rembang tidak cocok kemasukan retail modern?
Saat berita itu mencuat, masyarakat Rembang terbagi dua kubu. Ada yang antusias karena akhirnya, selain tidak perlu lagi jauh-jauh untuk makan Mie Gacoan, Rembang tak akan lagi jadi bahah ledekan.
Sisanya adalah orang-orang yang pesimis. Rasa-rasanya kelangsungan bioskop dan Mie Gacoan itu hanya akan bertahan sesaat. Berkaca dari kasus Mixue. Awalnya ramai, lalu kukut.
Karena memang, bagi kubu kedua ini, kondisi sosial-ekonomi mayoritas orang Rembang tidak cocok kemasukan retail-retail modern. Ketika uang Rp10 ribu lebih berharga jika dibelikan telur yang bisa digunakan untuk makan seharian, ketimbang untuk beli mie yang hanya sekali makan saja, kenyang pun belum tentu.
Atau sepanjang masih bisa nonton di TV, ya untuk apa membuang uang Rp40 ribu sampai Rp50 ribu untuk nonton di bioskop?
Dilema keberadaan Mie Gacoan
Kecenderungan orang-orang menjadikan Mie Gacoan sebagai indikator kemajuan daerah cukup mengusik saya. Saya pun menghubungi Yusuf Rendy Manilet, pakar ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) pada Jumat (27/12/2024).
Bagi Yusuf, cara pandang di atas (menjadikan “aspek gemerlap” seperti keberadaan Mie Gacoan sebagai indikator kemajuan daerah) adalah konsekuensi bagaimana modernisasi mengubah sudut pandang masyarakat dalam memandang kemajuan suatu daerah.
“Padahal kita juga harus lihat, modernisasi itu tidak selalu mencerminkan pembangunan yang subtantif dan sustain,” ucap Yusuf.
Kehadiran Mie Gacoan, bioskop, dan sejenisnya mungkin saja memiliki dampak positif. Misalnya dalam bentuk investasi pihak swasta atau terbukanya lapangan kerja baru. Artinya, memang punya potensi mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
“Tapi tetap harus diakui bahwa hal ini juga menimbulkan dilema. Retail modern ini usahanya bisa mengancam kelangsungan UMKM lokal yang sebelumnya telah lama menjadi tulang punggung ekonomi daerah,” beber Yusuf.
Mie Gacoan jadi indikator kemajuan daerah itu nggak relevan
“Indikator kemajuan daerah jika hanya dari adanya Mie Gacoan misalnya, itu nggak relevan dan nggak subtantif. Banyak hal yang seharusnya lebih subtantif untuk dilihat,” tegas Yusuf.
Menurut Yusuf, suatu daerah bisa dikatakan maju itu kalau pondasi dasarnya, seperti kesejahteraan masyarakat, sudah terjamin.
Jadi jangan buru-buru FOMO membangun bioskop atau mengusahakan masuknya Mie Gacoan jika kondisi ekonomi masyarakatnya saja masih belum terjamin.
Misalnya, anak-anak muda yang memang jadi sasaran Mie Gacoan di daerah kecil seperti Rembang cenderung hanya akan makan di sana di masa-masa awal bukanya saja. Untuk membayar rasa penasaran. Selebihnya, setelah rasa penasaran tersebut terbayar, maka Mie Gacoan bisa terancam sepi.
“Ya karena pendapatan orang tua mereka atau pendapatan mereka sendiri tidak meningkat. Buntutnya, Mie Gacoan atau bioskop sepi, tutup, lalu PHK karyawan. Nggak sustain,” ungkap Yusuf.
Hal vital: meningkatkan upah daerah
“Maka, paling dasar adalah menciptakan kesejahteraan. Ukurannya relatif banyak. Kalau bicara konteks jangka pendek, ya bisa diukur dari meningkatnya upah,” tutur Yusuf.
Hal itu, lanjut Yusuf, berkaitan dengan bagaimana pemerintah daerah menciptakan lapangan kerja yang sifatnya bisa meningkatkan kesejahteraan jangka menengah dan panjang. Di saat bersamaan juga bisa menyerap angkatan kerja yang besar.
Masuknya retail modern seperti bioskop atau Mie Gacoan memang bisa membantu menyerap angkatan kerja. Akan tetapi, bagi Yusuf, jumlahnya lebh kecil misalnya ketimbang keberadaan pabrik. Karena pabrik cenderung lebih sustain. Dari sini pula, peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa diupayakan.
“Kalau kesejahteraan masyarakat setempat secara umum sudah meningkat, nanti akan ada efek bola salju. Investor akan masuk kembali. Dan itu lebih sustain,” tekan Yusuf.
Maju tak mesti gemerlap
Cara pandang modernitas membuat orang menganggap bahwa maju itu ya harus gemerlap: penuh teknologi canggih, banyak gedung tinggi, hingga yang paling remeh: ada Mie Gacoannya.
Padahal, bagi Yusuf, tidak mesti begitu. Karena indikator kemajuan itu beragam.
“Saya pernah berkunjung di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Saya melihat Pemkab sangat aktif menggandeng UMKM lokal untuk meningkatkan kapasitas mereka: UMKM lokal dibantu mengaskes alat-alat modern, diberi pelatihan agar bisa sustain,” papar Yusuf.
“Bahkan UMKM yang sudah berhasil dan sustain diminta menggandeng UMKM lain untuk bisa naik kelas,” sambungnya. Itulah kemajuan.
Misalnya lagi, di Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat. Masyarakatnya jauh dari ingar-bingar teknologi. Tapi mereka punya kearifah yang akhirnya bisa memproduksi padi yang dalam sekali panen bisa digunakan untuk ketersediaan pangan selama 100 tahun ke depan. Itu juga termasuk peradaban yang sangat maju sekali.
“Nah, ini juga penting. Jangan karena fokus membuat daerahnya menjadi gemerlap, pemerintah daerah lantas mengenyampingkan aspek fundamental seperti akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga infrastruktur dasar. Karena itu nanti akan berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Yusuf.
Itulah yang, kata Yusuf, harusnya menjadi obsesi pemerintah daerah. Jangan hanya terobsesi alias FOMO pada hal-hal yang sedang hype seperti Mie Gacoan dan sejenisnya saja.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Bagi Orang Rembang Jadi TKI di Malaysia Lebih Terhormat ketimbang Sarjana, Gara-Gara Sarjana Banyak yang Nganggur dan Jadi Beban Orang Tua Padahal Kuliah sampai Jual Sawah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan