Ketika masih bersekolah, setidaknya saya sudah empat kali mengikuti perjalanan wisata sekolah alias study tour. Masing-masing satu kali saat masih SD dan SMP, serta dua kali ketika SMA.
Destinasinya juga beda-beda. Ketika SD, saya dan rombongan melawat ke Jogja dan sekitarnya untuk menyambangi Malioboro dan Candi Prambanan. Ketika SMP, Bandung adalah daerah tujuan study tour kami. Sementara saat SMA, kami kembali berwisata ke Bandung dan Bali.
Meskipun kami bepergian ke lokasi yang berbeda-beda, tapi saya menemukan satu kesamaan dari perjalanan ini: makanan tidak enak. Konsumsi yang disediakan biro perjalanan di rumah-rumah makan, rasanya tak jauh-jauh dari kesan hambar.
Tipikal menu study tour: sayur tidak asin, sambal cuma “menang panas”
Awalnya, saya berpikir kalau kesan tersebut cuma saya yang merasakan. Namun, setelah saya membagikan keresahan kecil itu kepada beberapa kawan, ternyata mereka merasakan hal serupa.
Dayat (26), misalnya, mengaku relate dengan cerita makanan hambar di study tour tersebut. Sama seperti saya, ketika SD, SMP, dan SMA, lelaki asal Jawa Barat ini kerap melakukan perjalanan wisata sekolah. Dan, kesan yang dia dapatkan selalu sama: makanan yang disediakan biro tak pernah enak.
Dia, terutama sekali, mengeluh soal menu makanan yang terkesan itu-itu saja.
“Dari SD, SMP, SMA, itu-itu aja menunya. Nasi, ayam, tempe, sayur satu jenis, sama sambel. Gitu terus sampai hafal. Haha,” ucapnya sambil tertawa, saat Mojok temui, Senin (6/1/2025) malam.
Sementara Paskal (26), yang juga merasakan hal serupa, mengaku kalau makanan saat study tour itu terkesan tasteless. Terutama sekali ketika makan di kawasan rest area.
“Sayur itu asin aja enggak. Sementara sambel, bukan gurih pedas gitu, tapi lebih ke panas. Nggak ada rasa, tapi panas dimulut,” ungkap Paskal.
Juru masak di resto rest area sulit koreksi rasa
Awalnya, saya merasa pangkal masalah ini terletak pada biro perjalanannya. Namun, asumsi itu mentah setelah beberapa kali kami study tour pakai biro perjalanan lain, rasa makanan tetap sama.
Dugaan kedua saya mengarah pada resto yang memasak makanan. Sebab, mau tak mau mereka lah orang yang paham terkait proses produksi makanan sebelum sampai di piring wisatawan.
Akhirnya, dalam perjalanan saya ke Bali pada Senin (16/12/2024) silam, saya berniat menguji asumsi saya tadi. Kebetulan pada malam hari, bus yang membawa saya dan rombongan berhenti di salah satu rest area kawasan Caruban, Jawa Timur.
Di sana, kami dipersilakan untuk makan secara prasmanan. Tak lama setelah menghabiskan seporsi ayam, sayur, dan teh panas, saya pun mendatangi penjaga stand makanan yang sedang mengatur menu-menu di meja.
Perempuan berusia 20-an tahun, yang tak mau disebutkan namanya tersebut, memvalidasi asumsi saya.
“Dalam sehari ada puluhan pesanan partai besar, Mas. Bisa puluhan rombongan. Datangnya pun kadang berdekatan,” jelasnya.
“Buat efisiensi waktu, jadi masak serba cepat. Kalau sudah begitu, wajar semisal juru masak kesulitan koreksi rasa,” imbuhnya.
Yang penting ada garam dan micin
Wati (47), lebih dari dua puluh tahun bekerja sebagai juru masak resto yang kerap jadi jujugan wisatawan. Khususnya saat musim study tour. Perempuan asal Gunungkidul ini mengaku, bikin rasa masakan cocok ketika masak dalam porsi besar adalah masalah tersendiri.
“Begini aja, misalnya kita masak untuk 100 orang. Jelas mereka itu punya karakter dan selera yang beda-beda. Istilahnya beda orang, beda lidah,” jelasnya saat Mojok hubungi Minggu (5/1/2025).
“Makanya, bikin semua orang cocok sama masakan itu susah. Mungkin ada satu dua yang cocok, tapi ya banyak juga yang akhirnya kurang pas di lidah.”
Karena masalah waktu juga, yang mana dia kudu masak banyak dalam waktu yang cepat, mau tak mau cara instan diambil. Biasanya Wati dan timnya “menggarami” dan menambah micin banyak-banyak. Tak mau berjudi dengan percobaan bumbu dapur yang macam-macam, terutama rempah.
“Jadi paling standar masakan itu yang penting kerasa asinnya aja. Buat gurih tinggal banyakin penyedap. Karena itu paling aman juga buat wisatawan. Dan jangan salah, hampir semua resto kayak begini.”
Biro study tour paham, tapi tak bisa berbuat banyak
Bagi para penyedia jasa perjalanan study tour, masalah ini jelas bukan sesuatu yang baru. Menurut Yudhi (34), yang sudah bertahun-tahun bekerja di biro perjalanan, evaluasi yang kerap mereka terima adalah soal makanan.
“Biasanya kalau hubungannya sama sekolah gitu, panitia pada evaluasi soal makanan. Itu sering banget,” ucapnya kepada Mojok.
Sayangnya, orang-orang sepertinya tak bisa berbuat banyak. Khususnya kalau berhubungan dengan sekolah yang peserta bejibun, tapi dana terbatas.
“Jadi uang sudah ditangan, kami biasanya bagi berapa untuk bus, berapa untuk konsumsi. Kalau study tour sekolah, rata-rata buat sekali konsumsi kami anggarkan Rp12-15 ribu. Itu pun marjinnya udah kecil banget buat biro,” jelas Yudhi.
“Pastikan resto berhitung lagi. Dan ya kami susah berbuat banyak kalau dana yang dikasih pun udah terbatas. Makanya konsumsi sering kurang memuaskan.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sopir Bus Pariwisata Cerita Tantangan Bawa Rombongan Study Tour, Sisi Lain Kehidupan di Jalan yang Berat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan