Beberapa minggu sebelum mengikuti simposium international di Institut Teknologi Bandung (ITB), Jessica Muthmaina (24), mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), dilarikan ke rumah sakit setelah berusaha mengakhiri hidupnya.
Dokter segera melakukan tindakan medis Electroconvulive Therapy (ECT) atau menyetrum otaknya dengan listrik. Metode itu terpaksa dipakai karena obat anti-depresan yang biasa Jessica konsumsi sudah tidak mempan lagi.
Sebagai penyintas bipolar, Jessica mengalami episode manik yang resisten terhadap obat, sehingga harus melakukan terapi kejut listrik atau ECT. Otaknya direset hingga sebagian ingatannya hilang, tapi akan kembali lagi.
Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud menginspirasi siapapun untuk memiliki rencana mengakhiri hidup. Setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, tapi bunuh diri bukan salah satunya. Selalu ada jalan lain untuk membuat hidup menjadi bermakna. Bagi pembaca yang merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan ke pihak-pihak yang dapat membantu seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Curhat ke teman online
Saat usia 16 tahun, Jessica menyadari ada yang tidak beres dalam dirinya. Rasanya sudah tak ada gairah dalam menjalani hidup, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Ia menggambarkan hidupnya seperti zombie atau mayat hidup. Tidak lagi ‘bernyawa’ dan tanpa tujuan.
Padahal, sejak kecil ia selalu punya minat di bidang scientist. Ia selalu mempertanyakan banyak hal, hingga orang-orang di sekitarnya merasa risih. ‘Kenapa sih kamu nanya terus?’ begitu respon mereka saat Jessica terus bertanya. Bahkan sebelum ia menjadi mahasiswa UGM.
Akhirnya, Jessica yang punya rasa penasaran tinggi justru tak punya teman berdiskusi. Kegiatannya banyak dihabiskan untuk berselancar di dunia maya, hingga ia bertemu dengan sosok teman online-nya.
“Temanku bilang, ‘ketika itu sudah mengganggu diri atau fisikmu sendiri, sampai kamu mengganggu orang lain juga, itu perlu dikonsultasikan,’” ucap teman online-nya kala itu.

Usut punya usut, teman online Jessica juga memiliki kondisi mental yang sama dengannya. Namun, tak lama setelah memberi nasihat tersebut, akunnya tiba-tiba hilang. Hingga kini pun, lulusan UGM itu tak tahu kabarnya.
“Dia orang yang selalu menenangkan aku dan mendengarkanku dengan seksama, apalagi sebelumnya aku tidak tahu apa itu psikiater dan diagnosisnya,” kata Jessica saat dihubungi Mojok, Senin (3/3/2025).
Memberanikan diri ke poliklinik psikiatri
Berkat teman online-nya, Jessica pun memberanikan diri pergi ke puskesmas sendirian. Ia ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya? Apakah betul dirinya memang annoying? Seperti label yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya.
Lebih dari itu, sejujurnya Jessica merasa sudah tidak kuat lagi. Banyak sekali pikiran-pikiran yang membuat otaknya tidak stabil. Makin runyam dan tak terkendali.
“Hormon-hormon di otakku bekerja secara tidak teratur. Sistem di dalamnya naik turun dengan cara yang berbeda dari orang lain,” kata Jessica.
Maka, pergilah Jessica ke poliklinik psikiatri. Ia nekat mengambil kartu BPJS milik ibunya dari lemari, karena ibunya sedang pergi umrah. Sebelumnya, ia sudah berbincang dengan teman online-nya dan melakukan riset kecil-kecilan. Jika ia ingin didengar, maka perginya ke psikolog tapi kalau menyangkut kesehatan, ia perlu ke psikiater.
“Akhirnya, diputuskanlah untuk ke psikiater,” ujar alumnus UGM tersebut.
Lolos di UGM Jurusan Fisika
Tahun 2017, di bangku ruang tunggu obat puskesmas. Jessica hanya bisa menangis setelah dokter mendiagnosisnya mengidap bipolar. Suatu gangguan yang berhubungan dengan perubahan suasana hati, mulai dari posisi terendah yakni depresif atau tertekan ke tertinggi atau manik.
“Rasanya sedih tapi bukan kayak sedih yang ‘oh, aku kena kanker’ atau apa. Malah yang aku rasakan lebih ke ‘oh jadi semua yang aku rasain tuh bisa diperbaiki ya… itu bisa di-treatment,” ujarnya.
Meski sudah mendapat pengobatan, Jessica sadar penyakitnya bisa kambuh sewaktu-waktu. Apalagi, saat ia dinyatakan gagal masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Astronomi di tahun 2018. Mimpinya seakan hancur, tapi ia berusaha untuk bangkit.
Akhirnya, ia memutuskan gapyear dan mengubah targetnya untuk masuk Jurusan Fisika di Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 2019, karena penasaran dengan kuantum. Meski begitu, ia tak membenci astronomi. Justru astronomi-lah yang membuatnya bangkit dari keterpurukan.
Lulus UGM dan dapat beasiswa LPDP
“Aku pingin jadi orang seperti Bu Karlina Supelli, seorang astronom dan filsuf,” kata dia.
Baginya, mimpi punya kekuatan sebesar itu untuk membuatnya bertahan menjalani hidup. Setiap kali ia merasa down, ia akan mengingat alasannya hidup. Hari demi hari ia lalui dengan menghargai proses pemulihan diri.
Meskipun harus masuk bangsal berkali-kali, hampir menyerah dengan hidup, dikejut otaknya dengan listrik sampai lupa namanya sendiri, pada akhirnya Jessica memilih bertarung. Ia mulai mengarungi minat astronominya yang tumbuh sejak kelas 4 SD, dimana ia sempat menghadiri perkemahan Astronomy ASEAN di Thailand di tahun 2016.
Meski sempat gagal masuk Jurusan Astronomi di ITB dan memilih Jurusan Fisika di UGM, Jessica masih mengagumi astronomi. Karena itu, ia sering melakukan riset di bidang astronomi dan mengikuti lomba di bidang serupa. Tahun 2024, Jessica akhirnya lulus dari UGM dan mendapatkan beasiswa LPDP Jurusan Astrofisika.
“Aku ingin bermimpi, aku ingin bersama mimpiku, dan aku ingin jadi seorang Scientist,” katanya kemudian.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Gagal Menembus ITB Berkali-kali hingga Bisa Kuliah UGM Nyambi Kerja Part Time atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.