Mencintai Anak dengan Cara Childfree adalah Pilihan Logis bagi Gen Z Jogja yang Bergaji di Bawah UMR

Ilustrasi Mencintai Anak dengan Cara Childfree adalah Pilihan Logis bagi Gen Z Jogja yang Bergaji di Bawah UMR (Mojok)

Buat banyak orang, anak adalah anugerah. Tak sedikit juga yang beranggapan kalau banyak anak sama dengan banyak rezeki. Devi (21), seorang Gen Z asal Kota Jogja, sebenarnya juga beranggapan demikian. Ia begitu menyukai tingkah polah anak kecil dengan segala kelucuannya. Bahkan, ia akan dengan senang hati momong anak tetangga yang sedang ditinggal ibu mereka bekerja. Namun, karena rasa cintanya pada anak-anak itu, Devi justru memilih untuk childfree.

Bagaimana bisa?

Devi, gen Z yang harus mengubur mimpi

Devi, sudah dua tahun bekerja sebagai penjaga butik di salah satu mal Kota Jogja. Sejak lulus SMA “jalur corona” pada 2021 lalu, ia memutuskan untuk tidak lanjut kuliah karena masalah biaya.

Ayahnya meninggal karena virus corona. Sementara ibunya tak sebugar dulu lagi buat bekerja. Adiknya pun ada dua, satu baru masuk SMA dan satu lagi masih berusia 4 tahun. Alhasil, sebagai anak sulung, ia punya kewajiban buat memikul beban menghidupi keluarganya. 

Selama pandemi, Devi yang saat itu nganggur masih bisa menggantungkan hidupnya dari tabungan orang tua dan bantuan sosial alias bansos. Namun, uang simpanannya tak bisa bertambah dengan sendirinya. Mau tidak mau, ia harus bekerja buat menyambung hidup.

Pada awal 2022 lalu, di usia yang masih 18 tahun, ia menerima tawaran bekerja di salah satu butik di mal ternama Kota Jogja. Di saat kawan-kawan sebayanya menikmati masa muda mereka dengan kuliah, nongkrong, dan healing, Devi sudah harus banting tulang menghidupi keluarga.

“Maaf ya, Mas, telat. Soalnya tadi motor dipakai adik keluar,” sapa perempuan asli Jogoyudan itu, Senin (4/3/2024) malam. Sebelumnya, kami memang sudah janjian buat ketemu di salah satu warkop di Kotabaru.

Seperti biasanya, Devi datang dengan tote bag gambar kucing andalannya, yang berisi beberapa buah buku. Penampilannya itu tak berubah sejak kami pertama bertemu dalam sebuah diskusi di kampus yang membahas soal gender equality pertengahan 2023 lalu.

Kala itu, di depan forum, Devi mengaku ingin childfree–atas beberapa alasan yang dulu belum bisa dia terangkan. Topik childfree inilah yang ingin saya perjelas dalam pertemuan kami malam itu.

“Bawa buku apa kamu?,” tanya saya, yang dengan seketika Devi mengeluarkan buku bersampul ungu karya Bu Ester Lianawati.

Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan,” ujarnya.

Memilih childfree karena alasan finansial

Fenomena childfree, sudah beberapa kali meramaikan timeline saya di media sosial. Banyak netizen yang saling melempar pendapat. Banyak yang pro, tapi tak sedikit juga yang kontra.

Fenomena ini juga bukan lah hal baru, meski di Indonesia keramaiannya baru terjadi dalam beberapa tahun ke belakang. Kalau menengok ke negara-negara Barat, misalnya, keputusan buat childfree sudah jadi pembahasan serius sejak era 1900-an. Alasannya beragam, mulai dari faktor finansial hingga trauma masa kecil.

Sementara di Indonesia, childfree malah mendapat pandangan yang sinis. Konsep tak ingin punya anak dianggap tidak lumrah dan melanggar aturan budaya maupun agama. Salah satu perempuan yang sempat dirujak netizen gara-gara ingin childfree adalah influencer Gita Savitri alias Gitasav.

Kala itu, Gitasav mengaku ingin childfree karena merasa tidak siap menjadi ibu. Bagi dia, menjadi seorang ibu adalah pekerjaan mulia sekaligus punya beban berat. Ia pun mengaku belum siap buat menanggung beban-beban tersebut.

Mencintai Anak dengan Cara Childfree adalah Pilihan Logis bagi Gen Z Jogja yang Bergaji di Bawah UMR.mojok.co
Banyak orang memuruskan childfree karena banyak alasan. Salah satunya belum siap menjadi orang tua (dok. Unair.ac.id)

Alasan serupa juga disampaikan Devi. Bedanya, ia tidak siap punya anak karena memang secara finansial, semuanya belum memungkinkan. Beban di keluarganya banyak, ia harus menghidupi ibu dan dua orang adiknya sendirian. Sementara gajinya, buat urusan pribadi saja masih mengkis-mengkis.

Bergaji kecil, tapi sering “dipandang” berkecukupan karena akamsi Jogja

Dua tahun bekerja di butik, Devi baru dua kali mengalami kenaikan upah. Yang pertama, dari Rp1,2 juta ke Rp1,5 di enam bulan pertamanya kerja. Bosnya bilang itu adalah “gaji penyesuaian”. Katanya, gaji akan naik secara berkala kalau kondisi pasca pandemi makin membaik.

Kenaikan kedua terjadi pada awal 2023 lalu, dari Rp1,5 juta ke Rp1,8 juta. Naik tiga ratus ribu. Sementara yang terakhir, Devi dapat awal tahun 2024 ini. Naik Rp250 ribu menjadi Rp2,05 juta.

“Masih kurang beberapa ratus lagi buat setara UMR Jogja,” ujarnya sambil geleng-geleng. Fyi, per 2024 pemerintah daerah menetapkan UMR Jogja sebesar Rp2,4 juta. “Udah UMR kecil, upahku di bawahnya pula,” sambungnya, masih dengan gestur terheran-heran.

Upah yang ia dapat pun tak mendarat utuh di kantongnya. Ia masih harus dipotong buat membeli kebutuhan dapur, uang saku adiknya, uang transport dan uang makannya, dan tetek bengek lain. “Sebulan ngantongin tiga ratus ribu buat aku jajan itu udah untung banget sih. Seringnya dah kering di tengah bulan.”

Sayangnya, beberapa teman kerja Devi malah kerap meremehkan kehidupan Devi yang serba pas-pasang. Mereka selalu “memandang” Devi pasti hidup berkecukupan mentang-mentang akamsi Jogja. 

“Misalnya kalau aku ngeluh enggak ada duit, pasti pada sinis, ‘Lah, duitmu kan utuh, makan tinggal pulang’,” ujarnya, mengingat kata-kata teman kerjanya. “Aku biarin aja, sih. Enggak tahu aja mereka gimana capeknya hidupku.”

Menyukai anak kecil, tapi memutuskan buat childfree?

Dengan kondisi finansialnya yang masih amburadul, Devi mengaku belum punya angan-angan buat masa depannya. Ia belum berani bercita-cita. Jangankan membayangkan untuk menikah, membeli rumah sendiri, dan punya anak, buat bayar tagihan paylatter-nya saja masih sulit.

“Mau makan apa anak-anakku nanti, Mie Gacoan dari hasil paylatter?,” kelakarnya sambil tertawa.

Devi punya pacar, yang kata dia, sebentar lagi akan lulus dari salah satu kampus swasta di Jogja. Hubungan mereka sudah terjalin sejak masih SMA. Namun, membayangkan untuk lanjut ke tahapan serius, sama sekali belum terlintas di kepala Devi. “Jalani dulu aja, saling mematangkan finansial. Jangan sampai kalau sudah jalan malah bubar gara-gara urusan perut,” tegasnya.

Soal keputusannya yang mantap untuk childfree, sebenanrnya ia mengaku amat menyukai anak kecil. Hampir tiap sore sampai malam–bahkan pagi, tetangganya menitipkan anak mereka ke Devi karena ditinggal kerja shift malam. Tentu, dengan senang hati Devi memomong anak tersebut.

Ia merawatnya juga penuh totalitas. Diajak jalan-jalan cari angin, jajan, hingga dikeloni. “Beda lho momong anak orang lain dan menghidupi anak sendiri tuh. Aku sekadar senang momongnya aja. Kalau suruh punya anak sendiri, enggak dulu. Takut!”

Baca halaman selanjutnya…

Jangan egois! Kalian boleh ngebet punya anak, tapi pikirkan juga cara menghidupinya

Jangan egois! Ngebet punya anak, tapi tak mampu menghidupinya

Alasan ekonomi, jelas menjadi faktor pendorong mengapa Devi belum berani menikah–dan jika menikah pun ingin childfree saja. Selain itu, ia juga punya prinsip bahwa dia tidak ingin menjadi orang tua yang egois dengan memaksa punya anak padahal belum siap.

“Bukan berarti punya anak itu enggak baik. Bukan! Anak tetaplah anugerah titipan Tuhan,” katanya. “Tapi kita juga jangan egois. Kalau kita enggak siap punya anak tapi ngebet pengen punya, memangnya kita bisa menghidupi mereka? Itu yang aku bilang egois,” sambungnya.

Bagi Devi, memiliki anak itu adalah tanggung jawab besar. Sebab, ada “nyawa rentan seorang anak yang sedang dipertaruhkan”. Makanya, bagi Devi, mempersiapkan segala hal secara masak-masak, termasuk finansial hingga mental sebelum berumah tangga harus jadi yang utama. Itu pula yang bikin dia sampai sekarang masih rutin datang ke psikolog konsultasi perihal pranikah.

“Mungkin aku bakal menikah, suatu saat kalau hidupku udah tertata. Tapi untuk punya anak, sepertinya enggak dulu,” terangnya. Berkali-kali Devi mengatakan, dia cinta anak kecil. Namun, karena rasa cinta itu, ia tak ingin menyia-nyiakan hidup seorang anak hanya karena egonya. “Aku takut enggak bisa bahagiain anak-anakku nanti gara-gara hidup susah.”

Saya pun mengajak Devi berandai-andai. Jika suatu saat hidupnya sudah tertata; secara finansial dia dan suaminya (kelak) sudah sangat mapan, apakah dia tetap berpikir buat childfree?

Jawaban Devi: “Belum bisa membayangkan semua itu! Tapi kalau pun kejadian [dia matang secara finansial], toh anak-anak di masa depan hanya mereka mewarisi bumi yang udah rusak.”

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mendengar Penyesalan Gen Z yang Nikah Muda: Jangan Buru-Buru Kawin Kalau Gajimu Masih Setara UMR Jogja

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version