Prapatan Rebel jadi ikon fesyen pemberontakan dari Bandung. Ia telah hadir sejak dua dekade yang lalu. Produknya identik dengan kata-kata kritik terhadap situasi sosial dan politik. Bagaimana kisah perjalanan dan eksistensinya saat ini?
***
Pada rentang masa antara tahun 2005-2010-an, setiap berada di jalanan Bandung, kamu tak akan kesulitan mendapati muda-mudi tanggung mengenakan kaos bertuliskan kata-kata pemberontakan. Isinya seperti “HIRUP AING KUMAHA AING – HIRUP SIA KUMAHA NU GELO”, atau “MALING BERDASI TUKANG KORUPSI HARUS DIHABISI”.
Kebanyakan kaos itu berwarna hitam dan berlengan panjang. Ada juga yang berlengan pendek, berwarna merah, putih dan lain-lain. Kata-kata yang terpampang di bagian punggung kaos itu penuh dengan sarkasme, kritik pedas dan bumbu-bumbu kesumat.
Semangat pemberontakan kaum muda yang baru saja berkenalan dengan masa pubertas kala itu sedang membuncah. Luapan gejolak emosi yang terkurung dalam badan diekspresikan dalam pilihan dan cara berpakaian.
Kaos ini banyak dikenakan muda-mudi Bandung yang berlalu lalang di mal, taman-taman kota, terminal, kampus hingga kawasan perkampungan. Tak cuma di Bandung, meledak di kota-kota lainnya di Jawa Barat, bahkan hingga menyeberangi Jawa.
Salah seorang pendiri sekaligus pemilik clothing line Prapatan Rebel, Imam Mulyadi bercerita kepada mojok soal awal mula pendirian Prapatan Rebel ini. Embrio Prapatan Rebel sesungguhnya bermula dari unit komunitas anak jalanan yang sering ber-kongkow dan punya kesamaan hobi bermain musik cadas.
Para pendirinya kala itu memiliki visi yang sama, ingin menularkan semangat pemberontakan lewat musik dan pakaian kepada para muda-mudi di Bandung. Dipilihlah Prapatan Rebel sebagai nama lantaran dianggap mampu merepresentasikan semangat dan akar identitas pemberontakan yang lahir dari sebuah perempatan.
“Dinamakan Prapatan Rebel karena kita hidupnya di prapatan (perempatan jalan), kalau rebel-nya itu karena kita punya semangat pemberontakan,” kata Adi, sapaan Imam Mulyadi kepada mojok belum lama ini.
Bermula dari emperan
Adi mengenang masa-masa awal Prapatan Rebel eksis sebagai komunitas yang kemudian berkembang memiliki unit usaha mandiri dengan semangat D.I.Y alias do it yourself.
Kisah tentang perkembangan Prapatan Rebel dari unit komunitas menjadi unit usaha cukup rumit dan berliku. Tapi, yang pasti, menurut Adi, Prapatan Rebel mulai ada sebagai unit usaha sejak tahun 1997.
“Awal buka lapaknya tahun 1997. Waktu itu kita jualannya emperan di perempatan alun-alun (Kota Bandung),” kenang Adi.
Pada awalnya, Prapatan Rebel merupakan komunitas yang eksponennya didominasi anak-anak jalanan yang menggemari musik cadas. Mereka kemudian membuka usaha jualan kaset-kaset band cadas kala itu, baik hasil rilisan sendiri maupun titipan. Tak berselang lama, mereka kemudian memproduksi kaos-kaos yang turut menancapkan eksistensi Prapatan Rebel sebagai salah satu clothing line underground legendaris dari Bandung.
Keberadaan Prapatan Rebel di emperan jalanan tak berlangsung lama. Di tahun mereka berdiri, Prapatan Rebel sudah mampu pindah ke ruko yang berada Plaza Parahyangan tahun 1997.
Plaza Parahyangan merupakan salah satu episentrum dunia fesyen Bandung. Mal yang terletak di Jalan Dalem Kaum Nomor 54 ini dikenal sebagai pusat distro Kota Kembang. Mal ini terdiri dari lima lantai dan memiliki sekitar 450 outlet yang didominasi oleh kategori distro fesyen.
Di Plaza Parahyangan, pernah bermukim distro-distro clothing line asal Bandung yang pernah ngehits di dekade 2000-2010, seperti Proshop X Wear, Black ID, Skaters hingga Diery.
Selama berjualan di Plaza Parahyangan, nama Prapatan Rebel semakin eksis. Imbasnya, barang-barang jualan distro mereka semakin banyak diminati khususnya oleh kalangan muda-mudi
Dengan ketenaran yang semakin meluas, serta pengaruh yang kian menjangkar, Prapatan Rebel terus melaju. Pada kisaran tahun 2012, mereka akhirnya memilih berhijrah kembali ke daerah Alun-alun Kota Bandung, tempat pertama kali Adi dan kawan-kawan merajut mimpi.
Kali ini mereka tidak lagi menghuni emperan trotoar atau lampu merah, melainkan sebuah toko berukuran sekitar 3 x 15 meter yang dibeli dengan gepokan uang miliaran. Toko itu berada di kawasan Jalan Dewi Sartika, berjarak seratusan meter dari lapangan alun-alun kota.
Distro yang berada di kawasan Jalan Dewi Sartika ini menjadi pusat dari sejumlah cabang Prapatan Rebel di beberapa lokasi Jawa Barat dan luar pulau Jawa. Sejak dibeli pada tahun 2012, distro tak pernah tutup termasuk saat pagebluk mengamuk.
Kata sebagai senjata
Dari semenjak berdiri hingga saat ini, ada satu hal yang tak berubah dan lekat sebagai identitas Prapatan Rebel, yaitu penggunaan kata-kata rebel sebagai senjata utama.
Bila hari-hari ini pengaruh sihir sublim kata-kata dapat dengan mudah ditemui dalam ragam unggahan di media sosial, lain cerita pada dekade 2000-an. Pada masa itu, medium ekspresi kata-kata masih sangat terbatas.
Jamaknya, seni teks penggunaan kata-kata sebagai sarana ekspresi ini hadir dalam rupa coretan di tembok-tembok atau pamflet-pamflet anonim di kawasan-kawasan urban.
Lirik-lirik musik atau puisi bisa saja dipandang sebagai bentuk seni merangkai kata, namun keduanya sangat jarang dituangkan dalam bentuk karya grafis yang tervisualisasi. Lagi pula, baik lirik dan puisi lumrahnya kelewat panjang buat dijadikan sarana ekspresi dan representasi diri.
Kalaupun ada, cuma penggalan-penggalannya saja yang bisa dinukil. Penggalan yang tidak multitafsir dan mudah dipahami.
Prapatan Rebel hadir dengan tawaran alternatif mengisi kekosongan seni otak-atik kata itu. Pemilihan kaos sebagai medium kreasi seni merangkai kata-kata terbilang brilian dan terbukti efektif meraih simpati massa.
Penggunaan kata-kata dalam produk clothing memanglah bukan hal yang sama sekali baru dalam pada itu. Sebelumnya, ada Dagadu dari Jogja dan Joger dari Bali yang sudah tenar di jagat clothing permainan kata-kata.
Prapatan Rebel hadir di koridor usaha yang sama. Bedanya, bila Dagadu dan Joger lebih dikenal lantaran kejenakaan, Prapatan Rebel kentara dengan napas pemberontakan. Kata-kata pemberontakan inilah yang membesarkan dan menjadi trademark Prapatan Rebel.
“Dari sejak awal, Prapatan Rebel memang udah menggunakan kata-kata. Isinya protes, kritik, memberontak,” urai Adi.
Semangat pemberontakan dalam guratan kata-kata yang diramu Prapatan Rebel ini bikin banyak orang Bandung kepincut, terlebih bila melihat konteks zaman menjelang terbitnya fajar reformasi kala itu.
Kelahiran Prapatan Rebel sendiri bisa dibilang turut dipengaruhi gelombang resistensi terhadap eksistensi Orde Baru. Di masa awal pendiriannya, gelombang antipati terhadap rezim ini memang sedang menguat sebelum kemudian bisa menjungkalkan struktur formal Orde Baru pada tahun 1998.
Letupan protes-protes massa yang tidak puas dengan rezim Orde Baru semakin bermekaran. Kata-kata yang tertuang dalam kaos Prapatan Rebel menjadi medium ekspresi tersendiri yang digandrungi para pemberontak.
Para dedengkot Prapatan Rebel tersendiri sedikit banyak ikut terlibat dalam pergolakan melawan rezim Orde Baru, selemah-lemahnya lewat diskusi-diskusi di internal skena maupun dengan propaganda halus kata-kata dalam kaos.
“Waktu itu memang lagi rame-ramenya protes dan demo terhadap Orde Baru. Kita juga cukup sering terlibat dalam perlawanan,” tutur Adi.
Buah manisnya, Prapatan Rebel semakin dikenal luas. Boleh dibilang clothing line ini menjadi semacam ikon pemberontakan via fesyen ala kaum muda di skena underground kala itu.
Soal buah pahitnya, jangan ditanya lagi. Adi mengaku di zaman-zaman itu para eksponen Prapatan Rebel terbilang sering berurusan dengan aparat sipil maupun militer. Ancaman sudah menjadi makanan sehari-hari. Salah satu biangnya, karena kata-kata pedas dan sarkas clothing ini yang dianggap berbahaya.
“Kalau ditanya udah berapa kali diancam, udah gak kehitung. (Diancam) tidur di trotoar selamanya, digule otaknya-lah, tapi karena sejak zaman Soeharto udah bergerak, jadi, ya, jalan terus,” kata dia.
Pergulatan dengan momen-momen jahanam itu melahirkan banyak inspirasi pembuatan kata-kata. Tak cuma kritik terhadap pemerintah, kata-kata yang terpampang di belakang kaos ini juga menyuarakan protes terhadap segala bentuk rezim dan tatanan mapan yang perlu dikritik.
Sejak awal berproduksi hingga lebih dua dekade berdiri, sudah ada ratusan bahkan ribuan kata-kata yang diproduksi dan diedarkan oleh clothing asal Bandung ini.
Siapa sosok yang menjadi kreator kata-kata tersebut?
Penuturan Adi, orang yang paling berperan memproduksi kata-kata ini adalah Ido, sang adik. Selain Ido, kata-kata pada kaos Prapatan Rebel biasanya dibuat oleh ia sendiri atau sang kakak.
“Cuma tiga orang. Enggak ada yang lain. Semua dari awal sampai sekarang yang bikin kata-kata cuma kita bertiga,” kata Adi.
Kenapa hanya tiga orang dan tidak ada orang lain? Adi menjawab supaya kualitas kata-kata itu terjaga.
Prapatan Rebel dan musik bawah tanah
Sebagai entitas yang lahir dari rahim dunia musik cadas, Prapatan Rebel tentu punya andil tersendiri terhadap skena musik underground khususnya di Kota Kembang dan sekitarnya.
Persentuhan Prapatan Rebel dengan dunia musik cadas hadir mengiringi kelahiran dan perkembangan mereka saat ini. Selain para pendirinya punya hobi dan mengawali usaha dengan berjualan kaset musik, Prapatan Rebel juga dikenal sebagai sponsor pada event-event musik dan rekaman album band-band underground.
Ragam rupa merchandise band-band lokal maupun luar juga bisa ditemukan di distro Prapatan Rebel, seperti Kreator, The Sabotage, Pantera, Sepultura, Megadeth, Behemoth, Terror, Dream Theater, The Black Dahlia Murder, Metallica, Sex Pistol, dan lain sebagainya.
Prapatan Rebel juga punya unit usaha label rekaman bernama Prapatan Rebel Label. Sejumlah band lokal bermacam aliran dari mulai punk, hardcore dan metal pernah menelurkan album di label rekaman ini.
Sepanjang kiprahnya yang merentang kurang lebih dari satu dekade sejak 2000-an hingga 2008-an, tercatat ada 22 rilisan kaset album dan kompilasi dari Prapatan Rebel Label. Penuturan Adi, jumlah totalnya antara 47-48 rilisan.
Band-band semacam Disharmony, Explosive, Restless dan Beside pernah mengeluarkan rilisan di bawah naungan Prapatan Rebel Label. Album Against Ourselves yang menjadi debut Beside menjadi salah satu rilisan terakhir label rekaman ini hingga kemudian vakum sampai saat ini.
Di luar rilisan kaset, clothing ini juga terlibat mensponsori beberapa festival musik underground. Salah satu yang paling kentara ialah Rebel Fest. Festival musik yang dihelat di Plaza Parahyangan ini sempat muncul 4 seri sebelum kemudian menghilang tanpa kabar.
Setelah tragedi peluncuran album Beside-Against Ourselves di GOR AACC yang menewaskan 11 orang pada tahun 2008, event-event musik cadas di Bandung jadi kesulitan mendapat perizinan. Rebel Fest ikut tenggelam seiring dengan kondisi itu.
Di luar agenda Rebel Fest, Adi bilang sesungguhnya masih banyak pentas-pentas musik cadas Bandung yang turut serta disponsori Prapatan Rebel. Menurut Adi, itu termasuk hajat musik underground ‘besar’ yang menjadi kawah candradimuka dunia musik bawah tanah Kota Kembang.
“Sampai sekarang (sebelum pandemi) juga masih banyak yang ngajuin proposal ke kita. Sebulan bisa sampai 30-an. Enggak semua kita acc. Kita review dulu, terutama soal izinnya apakah sudah clear atau belum,” papar Adi.
Digeruduk FPI
Pada tahun 2012 silam, Distro Prapatan Rebel yang baru saja dibuka di Jalan Dewi Sartika pernah kedatangan tamu tak diundang. Mereka adalah anggota Front Pembela Islam (FPI), ormas keagamaan yang kini telah dibekukan pemerintah.
Para pentolan ormas ini datang ujug-ujug. Mereka menurunkan paksa sebuah gambar pentagram yang terpampang di distro. Gambar itu dinilai sebagai lambang setan, “berbau kekafiran” dan “label Yahudi”.
Rombongan massa FPI itu pada mulanya hendak menuju Gedung DPRD Kota Bandung. Massa beranggotakan sekitar 30 orang itu hendak berdemonstrasi di depan gedung anggota dewan yang terhormat.
Dalam perjalanan menuju lokasi demo, rombongan kebetulan melintasi Jalan Dewi Sartika dan melihat adanya spanduk milik Prapatan Rebel itu. Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka langsung menurunkan spanduk yang dianggap sebagai lambang setan itu.
Soal peristiwa ini, Adi menganggap kejadian itu sudah selesai. Itu, kata Adi, hanya sebuah “kesalahpahaman” belaka.
Setiap orang, urai Adi berhak punya persepsi masing-masing terhadap simbol-simbol yang digunakan Prapatan Rebel. Yang pasti, Adi mengatakan bahwa itu adalah “karya seni yang netral”.
Di luar itu, Adi menganggap momen tersebut sebagai bagian kecil dari lika-liku perjalanan Prapatan Rebel.
“Kalau dibandingin sama masa Orde Baru, yang ke sini-sini belum ada apa-apanya.”
Riwayatmu kini
Pada bulan keempat 2019 lalu, akun InfoBdg mengunggah sebuah postingan foto Plaza Parahyangan. Pada kolom keterangan unggahan, muncul pertanyaan mengenai eksistensi Prapatan Rebel.
“Wargi Bandung masih ada yang suka belanja kesini? Ai Prapatan Rebel aya keneh?” (Kalau Prapatan Rebel masih ada?)
Pertanyaan itu agaknya cukup mewakili banyak isi kepala warga Kota Kembang, terutama generasi remaja angkatan tahun 2000-an yang kini sudah beranjak dewasa dan sedikit menua.
Jawaban dari pertanyaan itu adalah iya dan tidak. Iya karena Prapatan Rebel masih eksis, tidak karena distro mereka di Plaza Parahyangan sudah lama ditinggalkan.
Pertanyaan macam ini lazim berseliweran pada setiap generasi yang beranjak memasuki fase usia dan kehidupan baru. Mereka yang dulu sangat akrab dengan Prapatan Rebel, kini mulai menjauh. Yang ada dan tersisa, hanya kenangan-kenangan penuh gairah di masa muda.
Di sisi lain, muncul juga pertanyaan, jangan-jangan ini cuma perasaan saja? Siapa tahu, generasi muda zaman kiwari masih menggemari Prapatan Rebel?
Dalam konteks yang lebih lebar, pertanyaannya kira-kira akan menjadi seperti ini: apakah hal-hal yang disukai oleh generasi sebelumnya masih tetap disukai generasi masa kini? Atau justru ada pergeseran selera pada setiap pergantian generasi?
Untuk konteks Prapatan Rebel, jawabannya menjadi tidak pasti. Sebabnya, banyak hal yang mempengaruhi pasang surut eksistensi clothing line underground ini.
Yang pasti, saat ini Prapatan Rebel masih tegak berdiri. Adi tak menjawab pasti kala ditanya soal angka penjualan, namun dia berkata ada tujuh distro yang berada di bawah pengelolaannya saat ini dan semuanya menyumbang angka pemasukan yang relatif tak jauh beda.
Dua tahun ke belakang bahkan Adi membeli sebuah bangunan toko yang berada di Pasar Baru Town Square. Toko berukuran 2×5 meter itu berada di lantai satu Pasar Baru Town Square, ditebus dengan harga 2 miliar.
“Kita juga udah survei dan ada rencana mau buka lima cabang lagi. Lokasinya di lima provinsi berbeda,” tutur Adi. Rencana buka cabang di lima daerah kemungkinan akan dilakukan tahun ini, menurut Adi, “tapi kita tunggu dulu. Lihat dulu situasi Covid-19 ini perkembangannya gimana,” ujar dia.
Sebelum pandemi, Adi menyebut Prapatan Rebel memiliki sekitar 12 distro. Namun kini hanya tersisa tujuh yang beroperasi. Walau jumlah distro menyusut, Adi mengaku tak sedikitpun mengurangi jumlah pekerjanya. Jumlahnya mencapai 200 orang, terdiri dari sekitar 25 orang pegawai toko, dan sisanya adalah pegawai konveksi. Semua orang tetap diberdayakan dengan tanggung jawab di bidang-bidang baru.
Prapatan Rebel urung memanfaatkan medium penjualan daring dengan menjual barang-barang mereka di ragam rupa marketplace. Alasannya, sudah ada pelanggan yang berjualan di sana. Mereka berjualan laiknya reseller. Adi mengaku tak mau mengambil jatah rezeki para pelanggan setia tersebut.
“Kalau kita main di online, Shopee, Lazada, Tokopedia, kasihan pelanggan-pelanggan kita. Pelanggan-pelanggan kita kan banyak yang main di online. Kalau kita jualan, bisa hancur mereka,” katanya.
Soal eksistensi skena musik underground Bandung, Adi berpendapat musik underground di Bandung masih ada dan menggema. Pun dengan eksistensi Prapatan Rebel yang menurutnya tetap dilirik oleh berbagai generasi.
Yang dulu pada masa mudanya gandrung, beberapa ada yang berkunjung kembali di hari-hari belakangan. Ada yang membawa serta anaknya, seraya memperkenalkan clothing line simbol pemberontakan sang Bapak di masa muda. Setidaknya, begitu menurut Adi.
“Skena underground Bandung sekarang ini sama-sama aja, seperti Jakarta dan Jogja. Yang namanya kehidupan pasti ada naik turun. Underground mungkin enggak ada di atas terus, tapi enggak akan mati. Biar waktu yang membuktikan, bukan kata-kata,” kata dia.
Reporter: Hengky Sulaksono
Editor: Purnawan Setyo Adi