Peternak Sapi Perah Samben, Menopang Industri Susu Boyolali hingga Kuliahkan Anak di UNS

Peternak sapi boyolali

Ilustrasi sapi perah di Boyolali (Ega Fansuri/Mojok.co)

Peternak sapi samben, mereka yang menjadikan beternak sebagai profesi sampingan ternyata jadi penopang utama industri susu sapi boyolali. Kandang dengan populasi di bawah 10 ekor  mampu menghidupi keluarga dan membiayai anak kuliah di UNS.

***

Sepulang dari tempat penggilingan padi, Sriyadi langsung masuk ke kandang sapi yang terletak di belakang rumahnya. Di sana ada sepuluh ekor sapi yang terdiri dari empat betina produktif, dua pejantan dewasa, dan empat pedhet atau anak sapi.

Empat sapi betina itu sudah menunggu itu diperah susunya. Susu sapi perah umumnya perlu dikeluarkan dari ambingnya dua kali sehari pada pagi dan siang.

“Kalau nggak kami perah nanti sakit sapinya,” ujar Sriyadi sambil melenggang ke dalam kandang.

Tim liputan Mojok berkunjung ke kadang milik keluarga Sriyadi yang terletak di Tambak, Mojosongo, Boyolali pada Selasa (14/11/2023). Ia merupakan salah satu contoh peternak sapi samben. Sehari-hari punya pekerjaan lain sebagai buruh maupun petani, namun punya sapi perah produktif di rumah.

Sebelumnya, saat berbincang Heni Prihatiningsih, Sekretaris Koperasi Unit Desa (KUD) Mojosongo, kami mendapat cerita bahwa peternak samben merupakan penopang industri susu sapi di Boyolali. Ada ribuan peternak sapi samben di beberapa kecamatan utama penghasil susu seperti Mojosongo, Cepogo, dan Musuk.

“Mayoritas memang samben yang sapinya rata-rata 4-5 ekor saja,” kata Heni.

Agar bisa produktif memerah di antara kesibukan pekerjaan lain, istri Sriyadi juga membantu mengelola kandang. Mulai dari membersihkan, memberi pakan, hingga melakukan proses pemerahan.

Sriyadi sudah memelihara sapi sejak 1998. Skalanya tidak terlalu besar namun bisa menghidupi keluarga bahkan untuk menyekolahkan anak pertamanya yang saat ini menempuh studi agribisnis di UNS.

Membagi waktu sebagai peternak samben

Jangan salah, peternak sapi perah punya rutinitas yang padat. Apalagi bagi para peternak samben yang punya pekerjaan harian lain dan tidak memiliki pembantu di kandang.

Sriyadi bercerita, selepas salat subuh, ia dan istrinya langsung masuk ke kandang untuk menyiapkan pemerahan pertama. Pemerahan itu mulai sekitar jam 5.30 pagi. Setelah itu mereka akan menyotor susu perahan ke tempat penampungan sementara di dusun.

Mereka melanjutkan kegiatan dengan memberi pakan dan membersihkan kandang sapi. Pada pukul 7.00 pagi Sriyadi sarapan lalu berankan pergi ke tempat penggilingan padi untuk bekerja sampai siang sekitar jam 12.00.

“Setelah dzuhur itu saya pindah kerja bantu di peternakan tempat Pak Lurah. Pulang dari sana saya cari rumput untuk sapi di rumah,” ujarnya.

Yuni, istri Sriyadi tengah memerah susu di kandangnya

Proses pemerahan siang di kandang miliknya biasanya diserahkan kepada sang istri. Kerja sama dalam keluarga menjadi kunci keberhasilan para peternak samben.

Satu ekor sapi perah rata-rata menghasilkan 10-15 liter susu per hari. Dua bulan setelah melahirkan anak pertamanya, seekor sapi betina mulai masuk masa produktif pemerahan. Biasanya, pemerahan akan berhenti jelang masa sapi melahirkan.

KUD biasanya menetapkan harga susu sapi sekitar Rp7 ribu per liter. Dengan empat sapi perah produktif, asumsinya masing-masing menghasilkan 12 liter per hari maka Sriyadi mengantongi pendapatan kotor sekitar Rp336 ribu per hari.

Beban terbesar ada di biaya pakan. Sriyadi menaksir biaya berupa konsentrat dan ampas tahu memakan biaya sekitar Rp24 ribu per hari. Pakan alternatif itu jadi andalan karena rumput akan sulit mereka dapat di musim kemarau saat kami berkunjung.

“Jadi hasil susu dari 4 sapi itu bisa untuk menutup kebutuhan pakan semua sapi yang ada di kandang. Sisa uang setelah itu merupakan pendapatan bersih kami,” jelas Sriyadi.

Peternak sapi samben selamat berkat bantuan koperasi

Salah satu tantangan berat bagi peternak samben adalah modal awal. Harga sapi dewasa mencapai belasan juta rupiah. Bukan angka yang sedikit bagi orang seperti Sriyadi.

Namun, berkat menjadi anggota KUD, ia bisa mendapatkan pinjaman untuk modal membeli indukan. Bukan hanya sekali ia mengajukan pinjaman puluhan juta kepada KUD. Cicilannya berasal dari pemotongan hasil penjualan susu sapi.

KUD memiliki sistem pencairan dana setiap sepuluh hari sekali. Nantinya, uang hasil penjualan susu milik Sriyadi langsung dipotong sebagian untuk membayar pinjaman.

“Pernah pinjam 50 juta untuk modal beli indukan. Saya juga menyekolahkan anak di UNS dulu pinjam KUD. Lalu yang kecil minta sekolah lagi. Saya pinjam KUD lagi. Jadi sudah jelas nanti bayarnya pakai hasil susu,” jelasnya.

Memang, tantangannya adalah saat ada wabah yang mendera hewan ternak. Pada 2022 lalu, sapi Sriyadi juga terdampak wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Namun, berkat adanya KUD ia bisa mengambil modal untuk bangkit lagi.

Eka Desi Fitriasari (21), anak Sriyadi yang saat ini sedang masa akhir studi di UNS juga punya mimpi untuk mengembangkan usaha bapaknya di bidang peternakan. Meski perempuan, sejak kecil ia tak sungkan untuk turun ke kandang.

“Dari dulu ya ikut merah, bersihin kandang, baru agak jarang sejak kuliah di UNS karena tinggalnya nggak di rumah,” ujarnya saat kami jumpai.

Boyolali butuh peternak skala besar

Mimpi Eka adalah membesarkan skala ternak milik orang tuanya. Perempuan muda ini terbayang untuk memodernisasi sistem ternak miliknya. Baik secara pengelolaan kandang maupun pakan.

“Sebenarnya saat ini sudah banyak contoh peternakan modern. Tantangan sapi ini kan penyakitnya, tapi seiring perkembangan zaman dunia medis hewan juga semakin berkembang. Banyak solusi buat permasalahan-permasalahan yang ada,” paparnya.

Demi bisa mendapat margin keuntungan yang tinggi, peternakan sapi perah memang perlu memiliki populasi yang ideal. Jika populasi sapi perah di kandang berkisar di bawah 10 ekor maka hasilnya belum terlalu terasa.

Gito Sriyono, Ketua KUD Cepogo, membenarkan bahwa populasi ternak menjadi faktor krusial penentu keberlanjutan industri sapi perah. Jika populasi sapi  di kandang kurang dari lima ekor memang hasilnya belum maksimal.

“Keuntungan dari ternak dan sapi ya baru kerasa minimal pelihara 5-6 syukur-syukur sampai 10. Waktu saya menguliahkan dua anak dulu itu pelihara 30 ekor. Kalau cuma satu dua ya jangankan nyekolahkan anak, utk sehari-hari ya sulit,” jelasnya.

Gito menambahkan, konsep peternak sapi samben sangat ideal dan berkesinambungan dengan dunia pertanian. Seorang petani yang nyambi beternak biasanya berangkat ke ladang membawa pupuk dari kotoran sapi dan pulang dengan bekal rumput untuk pakan ternak mereka.

“Inilah konsep yang menarik. Semakin besar semakin bagus. Kalau pelihara hanya satu dua ekor saja ya untuk pupuk saja kotorannya masih kurang. Perlu ada standarisasi soal kepemilikan supaya industri sapi perah Boyolali terus bertahan,” pungkasnya.

Satu hal yang perlu diketahui, sebenarnya memelihara sapi merupakan salah satu cara berinvestasi orang desa. Sapi perah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat lewat susunya. Namun, di sisi lain induk juga menghasilkan anakan. Sapi idealnya bisa melahirkan satu kali setiap tahun. Anakan sapi atau pedhet inilah yang bisa jadi instrumen tabungan bagi para peternak. Harga jual pedhet sudah di atas Rp3 juta. Tentu, cukup menjanjikan.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

Tulisan ini merupakan bagian dari Ekspedisi Kota Susu Boyolali

BACA JUGA Traumanya Peternak Sapi Perah di Boyolali Mengancam Julukan Kota Susu Boyolali

Exit mobile version