Seorang lelaki menemukan kampung mati di berbagai daerah di Pulau Jawa. Tempat di mana hanya tersisa satu hingga dua keluarga yang hidup di antara rimbunnya belantara.
***
Pada akhir Juni lalu saya bermalam di rumah Sumiran, satu-satunya keluarga yang tersisa di tengah hutan Desa Sidomulyo, Pengasih, Kulon Progo. Sumiran dan keluarganya menjadi perhatian, setelah kehidupan mereka yang sudah empat tahun tinggal tanpa tetangga di hutan tersebar di media.
Sumiran sudah lebih dari 20 tahun tinggal di sana. Dulunya punya beberapa tetangga yang kini sudah berpindah ke lokasi yang lebih dekat dengan keramaian.
“Saya juga heran bisa-bisanya dia menemukan rumah kami,” kata Sumiran di halaman rumahnya pada Selasa (27/06/2023) sore.
Kabar tentang keberadaan rumah Sumiran, pertama tersiar luas lewat akun YouTube Jejak Bang Ibra milik Ibra Muhammad Ijal. Lelaki kelahiran Halmahera Selatan ini, tiba-tiba saja muncul halaman rumah Sumiran.
Istri Sumiran, Suyati, kaget melihat keberadaan lelaki berperawakan tinggi besar menenteng kamera datang. Lelaki itu menyampaikan maksudnya, namun Suyati tak paham urusan shooting video yang Ibra jelaskan. Ia langsung menghubungi anaknya, Agus, yang sedang bekerja agar datang ke rumah.
Agus yang terbilang muda dan lebih paham tentang kreator konten akhirnya bisa memahami maksud kedatangan Ibra. Keluarga Sumiran, Suyati, dan kedua anaknya memang sangat cocok untuk karaktersitik konten Jejak Bang Ibra yang mencoba mengulik rumah-rumah terisolir di berbagai penjuru Jawa.
“Baru setelah Agus membantu menjelaskan, kami jadi paham,” ujar Sumiran berbahasa Jawa.
Akhirnya, Ibra pun mendokumentasikan gambar dan mengulik kisah keluarga ini. Pada 23 April 2023 video pertama tentang kehidupan Sumiran dan istrinya tayang di kanal YouTube Jejak Bang Ibra. Boom… video itu mendapat respons luar biasa. Sampai saat ini sudah lebih dari 3,8 juta penayangan.
Channel YouTube milik Ibra yang menelusuri kampung mati dan kampung-kampung terpencil di Pulau Jawa.
Pertemuan unik dengan kampung mati di Kulon Progo
Itu bukan kali pertama Ibra mengenalkan sebuah kampung mati. Namun, kisah di Kulonprogo menjadi salah satu yang paling menarik perhatian. Berbondong-bondong konten kreator hingga wartawan menyusul datang.
Saat saya berkunjung ke sana, Sumiran bercerita kalau Ibra sedang melawat ke Banten. Mengunjungi sebuah kampung mati lain untuk video berikutnya. Sebelumnya, setelah video pertama Ibra memang sudah berulang kali datang kemari, bermalam, hingga mengadakan hajatan bersama warga.
Baru pada Selasa (25/7/2023), saya berhasil berjumpa dengan Ibra di sebuah kedai kopi di Nanggulan, Kulonprogo. Usai merekam kisah di Banten, ia memang punya misi untuk membantu beberapa hajat hidup Sumiran dan keluarganya.
Menggunakan jaket berwarna hitam dan celana kargo pendek, Ibra duduk di hadapan saya dengan menenteng tas jinjing berisi kamera. Senjata utama ketika pergi ke berbagai tempat.
“Nanti jam lima sore saya cabut lagi ya. Urusan di tempat Pak Sumiran belum selesai,” ujarnya. Kami mulai berbincang sekitar pukul setengah tiga.
Ibra langsung bercerita, bagaimana ia menemukan Kampung Suci yang hanya dihuni satu keluarga. Semuanya berawal dari ketidaksengajaan. Ia memang sedang berada di kawasan Bukit Menoreh, Kulonprogo untuk mencari rumah yang nyempil di sekitar makam kuno.
Namun, di perjalanan ia justru mendapat informasi dari lelaki bernama Supardi bahwa ada keluarga yang tinggal menyendiri di Kampung Suci. Ia hanya mendapatkan informasi sekadarnya.
“Bilangnya daerah bawah. Dekat tambang batu andesit,” kata Ibra mengenang penjelasan Supardi.
Informasi itu awalnya ia abaikan. Baru ia ingat kembali saat mendengarkan rekaman suara saat mengedit video yang hendak ia unggah ke YouTube. Rasa penasaran mendorongnya untuk menelusuri jejak Kampung Suci.
Honda BeAt milik Ibra dipacu naik dan turun bukit. Bertanya ke warga lokal yang ia jumpai. Sampai akhirnya, penggalan informasi membawanya ke permukiman terdekat dari Kampung Suci.
Motor ia tinggalkan di halaman rumah warga. Berjalan sekitar dua kilometer menyusuri perkebunan warga hingga tampak sebuah rumah sederhana berdiri kokoh di antara hutan bambu yang gelap. Di sanalah, pertemuannya dengan keluarga Sumiran terjadi.
Ibra memang tidak menemukan kampung mati. Lebih tepat, ia mengenalkannya pada lebih banyak khalayak di luar sana lewat video-video miliknya.
Menemukan deretan kampung mati setelah kehilangan banyak hal
Tak terbayang di benak Ibra bahwa ia akan menjadi kreator video yang mengisahkan kampung-kampung terisolir. Guratan nasib kehidupan yang akhirnya membawanya ke jalan ini.
Ibra pertama kali keluar dari kampung halamannya di Maluku Utara untuk melanjutkan kuliah. Ia mendapat beasiswa di UNY, jurusannya Pendidikan Kimia. Di Jogja, lika-liku hidupnya bermula.
Saat di UNY, ia sempat aktif di organisasi pergerakan ekstra kampus. Ia terbilang mahasiswa yang aktif. Ketika terjadi erupsi Merapi 2010, ia terjun ke lapangan. Bertugas di shelter pemulihan kondisi mental korban bencana.
Pengalaman itu membuatnya sempat aktif di bidang kerelawanan bencana selama beberapa tahun. Sebelum akhirnya sempat nyemplung mengurusi penerbitan buku. Di dunia perbukuan, ia sempat menemukan kehidupan yang ia sukai.
Sampai permasalahan bisnis melanda. Pada masa pandemi, ia mengalami kebangkrutan ditambah perceraian dengan istrinya. Dua hal yang membuat situasinya terpuruk. Dua kehilangan yang membuat seorang lelaki perlu menepi sejenak dari kehidupan.
Ibra memutuskan untuk mengambil jeda sejenak. Mengunjungi tempat kerabatnya di Cilacap yang dulu pernah tinggal di Halmahera Utara.
Bermula dari Cilacap Ibra menelusuri kampung-kampung mati di Jawa
Di wilayah Cilacap bagian barat, daerah berkontur perbukitan itulah ia mendapati kisah-kisah permukiman yang terisolir. Catatan-catatan awal tentang kampung mati pun berawal dari daerah Jawa Tengah yang lebih kental budaya Sunda itu.
“Suatu ketika saya mendapatkan informasi dari teman, Gufri Namanya. Katanya ada satu kampung paling terpencil sekali namanya kampung Nagog, waktu itu hujan-hujan sudah jam 4 sore. Saya optimis saja datang ke sana, saya nggak tahu kampungnya di-mana. Modalnya nekat,” katanya.
Salah satu modal yang melekat pada dirinya adalah kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan beragam kalangan. Dengan kemampuan bahasa Jawa seadanya, Ibra mampu melakukan pendekatan dengan orang-orang di desa.
Ternyata, kesenangan untuk menjelajah sejalan dengan videonya yang ditonton banyak orang. Berawal dari puluhan dengan cepat berkembang ke ratusan ribu.
Akhirnya, ia pun menekuni aktivitasnya untuk menelusuri kampung mati. Dari Cilacap ia menyambangi Banyumas. Mencari kampung-kampung dengan keunikan di sekitar air terjun. Modal-modal dari videonya yang sesekali, mulai tembus satu juta penayangan, membuatnya menjelajah ke daerah-daerah lebih jauh.
Syukuran di desa namun enggan memanjakan warga
Setiap melakukan perjalanan, Ibra punya prinsip, jika rezeki dari adsense baik, maka ia akan mengadakan syukuran di rumah yang ia sambangi. Hal ini jadi caranya untuk berterima kasih kepada warga yang telah memberinya banyak perjalanan. Juga membantu keberlanjutan kontennya.
Saat mengunjungi Kampung Suci, saya juga terheran dengan warga sekitar yang telah mengenal bahkan terkesan akrab dengan Ibra. Mereka mengira saya merupakan teman sesama YouTuber. Ternyata mereka juga pernah diajak untuk makan bersama di tempat Sumiran.
Bahkan sejak mengunjungi kampung mati kediaman Sumiran, ia membuka donasi. Awalnya ia enggan, namun banyak penonton yang ingin memberikan sumbangan. Sehingga ia pun membantu memfasilitasi.
Hal itulah yang membuatnya sampai sekarang masih terus berhubungan dengan keluarga Sumiran. Untuk terus mengawal bantuan-bantuan yang penonton berikan.
Sejak awal, Ibra mengaku melihat Sumiran sebagai sosok yang kekurangan namun tetap mandiri. Enggan meminta-minta. Bahkan awalnya tidak membeberkan kondisinya agar mendapatkan rasa iba.
“Kalau ada yang sekali saya kunjungi langsung memelas, malah saya nggak tertarik mempromosikan. Saya punya analisa tersendiri ketika berkunjung,” ujar Ibra.
“Saya bilang ke mereka untuk jangan mengeluh di video. Justru nanti malah direndahkan. Biar saya yang mendeskripsikan sesuai pengamatan saya,” imbuhnya.
Tak terasa, kami telah berbincang lebih dari dua jam. Sore semakin indah di Nanggulan dengan pemandangan hamparan sawah dan perbukitan. Namun, Ibra mengaku tak bisa menikmati terlalu lama karena harus kembali ke rumah Sumiran.
Setelah mengecek proses unggah video YouTube terbarunya, ia pamit. Perbukitan di sisi barat sudah menunggunya. Keluarga di kampung terakhir sedang bersiap untuk pindah agar dapat mengakses kebutuhan dengan lebih mudah.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Bermalam Bersama Satu-satunya Keluarga yang Tersisa di Kampung Mati Kulon Progo
Cek berita dan artikel lainnya di Google News