Merantau ke Jakarta bukanlah urusan yang sepele. Banyak harga yang harus dibayar, dan terkadang bayaran itu kelewat mahal. Pegawai retail Jakarta asal Minang ini menceritakan bagaimana kerasnya Jakarta selama 6 tahun menjejakkan kaki di Tanah Pencakar Langit.
***
Motif utama Fitra (25) merantau ke Jakarta itu sederhana. Sebagai lelaki Minang, dia harus merantau. Baginya, keputusan merantau itu bukan sesuatu yang heroik, tapi sebuah keharusan, sebuah jalan yang tak akan dia hindari, juga tak perlu dia hindari. Bagi orang lain, mungkin berat. Bagi Fitra, itu sebuah fase hidup.
Petualangan dia mulai pada 2018. Awalnya, Fitra tak punya rencana apa pun. Seperti Miyamoto Musashi, dia melangkahkan kaki menyusuri beton-beton Jakarta, mencari spanduk iklan lowongan pekerjaan. Grogol adalah saksi bisu awal kakinya menjejak Jakarta.
Sebagaimana tindakan nekat tanpa rencana pada umumnya, tentu dia menemui kegagalan. Berkali-kali dia mencari pekerjaan, berkali-kali dia bertemu kegagalan. Putus asa sudah pasti, sampai-sampai dia menitipkan uang 20 ribu pada tukang parkir agar bisa menitipkan lamaran pekerjaan ke rumah makan bebek di Grogol. Hasilnya? Tentu saja sudah bisa ditebak.
Perjalanan Fitra di Jakarta selanjutnya adalah pabrik roti. Fitra gagal pada waktu interview HRD, dan keputusasaan makin dekat. Tapi, Tuhan selalu bersama orang-orang nekat yang berusaha memperbaiki nasib.
Suatu hari, Fitra dan kawannya iseng bertanya pada karyawan retail dekat kosannya dulu di Srengseng. Dia dapat informasi, kalau mau melamar pekerjaan di retail, coba ke DC Tangerang. Berangkatlah dirinya ke tempat tujuan, dan, diterima, tapi harus training dulu.
Sayangnya, Fitra salah strategi. Dia ambil pekerjaan di bagian gudang, karena dia pikir ya kerja di gudang itu mirip sama pekerjaan lainnya. terlebih, di Padang, tempat asalnya, tak ada toko retail serupa, jadi dia tak tahu sistemnya. Dia terpaksa menemui kegagalan lagi.
Tapi ceritanya tentu tak berhenti di sini.
Niatnya sebulan, keterusan hingga sekarang
Setelah gagal training, dia mendapat info lagi kalau ada bukaan lamaran di daerah Ancol. Berangkatlah dia ke sana, berbekal pengalaman yang sudah dia dapat, jalannya mulus. Dia diterima, dan lancar hingga tahap akhir. Fitra tak tahu, kalau langkah ini jadi penentu hidupnya.
“Niat awal cuma buat sebulan-dua bulan dan untuk batu loncatan, Mas, malah keterusan sampe 2024.”
Awalnya hanya coba-coba, kini Fitra jadi asisten toko. Perjalanan dia tentu saja bukanlah perjalanan yang sepele. Bermimpi datang ke Jakarta dan sukses itu satu hal, datang ke Jakarta dan menjalaninya itu hal lain lagi. Orang boleh saja bilang orang Minang takdirnya merantau, jadi kesuksesan adalah hal yang wajar bagi mereka. Tapi, menantang beton Jakarta tanpa rencana yang konkret seperti yang dilakukan Fitra ini bukan hal yang sepele.
Mendengar cerita Fitra, saya teringat King Joe, tokoh fiksi dalam manga Worst!. Datang dari Okayama, dia mengobrak-abrik Housen dan menjadi salah satu pemimpin terhebat dalam sejarah Housen.
Sudah 6 tahun Fitra menjalani langkah di Jakarta. Dan saya tak bisa untuk tidak bertanya, apakah dia mencintai Jakarta, seperti dua narasumber saya di naskah merantau ke Jakarta?
Jakarta itu keras!
Fitra tidak merasakan cinta pada Jakarta, itu yang saya tangkap. Dia merasa menantang Jakarta adalah hal yang biasa bagi orang Minang yang identik dengan merantau. Harga yang dia bayar dengan merantau ke Jakarta juga kelewat besar. Dia tidak bisa melihat kakeknya untuk terakhir kali, karena tidak bisa pulang saat kakeknya meninggal. Ongkos pulang yang kelewat besar menundanya untuk berbakti. Dan itu tentu saja pukulan paling keras untuk lelaki.
Maka dari itu, Fitra tak pernah setuju dengan narasi romantis merantau ke Jakarta. Baginya, Jakarta itu tak indah dan tak perlu dibuat-buat indah. Realitasnya memang kejam, dan orang-orang harus siap dengan itu. Makanya, dia mewanti-wanti orang yang punya keinginan untuk merantau ke Jakarta, apa pun alasannya.
“Saya tidak menyarankan (merantau ke Jakarta) kalau mereka tidak punya persiapan dan relasi. Kalau mau merasakan Jakarta adalah surga, menurut saya, jangan mulai dari nol.”
Narasi romantis tentang Jakarta bisa membuat orang mabuk kepayang dan merasa dengan hidup sederhana saja, sudah bisa selamat. Itulah yang ditakutkan oleh Fitra, karena kenyataannya nggak kayak gitu. Takutnya jadi seperti dia, nyemplung dan nggak bisa pulang lebaran bertahun-tahun. Dia sendiri baru pulang dua kali selama enam tahun.
Tapi dia bilang, dia bisa bertahan di Jakarta karena satu hal: calon istrinya. Calon istrinya adalah alasan terbesar dia bertahan dan tetap bertahan melawan kerasnya udara pengap Ibu Kota.
“Nggak ada alasan saya bertahan lama di sini kalo bukan Tuhan mentakdirkan saya bertemu dengan dia, Mas.”
Cerita perantau, memang selalu romantis. Dunia boleh kejam, tapi selalu ada cinta yang bersemi dan bikin hari terasa tak begitu berat.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.