Bagi sebagian orang, baik lelaki maupun perempuan, seks adalah kenikmatan. Bahkan ada yang begitu mengagungkan seks dan menganggapnya sebagai penentu langgengnya suatu hubungan. Namun, ternyata ada yang tidak pernah menikmati seks sama sekali, bahkan menderita karenanya.
Saya mengenalnya sebagai perempuan yang tidak tertarik pada aktivitas seksual. Trauma berat dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya membuat ia membenci aktivitas tersebut.
Setelah membuat janji beberapa kali, sambil meyakinkan bahwa saya tidak akan menghakiminya, akhirnya ia mau menceritakan lebih detail tentang kehidupannya, dan berikut adalah kisah perempuan itu.
Saya bertemu dengan Lara*(24) pada malam tanggal 23 Mei 2021 di sebuah kedai kopi. Udara malam itu dingin, barangkali efek hujan yang mendera pada sore harinya. Aneh memang, mengingat musim seharusnya sudah menjadi kemarau, namun hujan bisa mendadak mengguyur kota.
Ia adalah perempuan periang dengan mata bundar yang selalu tampak berbinar. Tingkahnya pun menyenangkan sehingga membuat siapa saja yang berada di dekatnya akan merasa bahagia. Dengan pembawaannya yang selalu ceria tersebut, saya tidak pernah menyangka Lara memiliki kisah hidup yang sangat menderita, apalagi jika membahas perihal seks.
Kami duduk berdua di meja paling ujung dengan penerangan lampu paling terang. Segelas kopi hitam pahit ada untuk saya, sementara strawberry frappuccino ada untuk Lara. Ia masih tampak ceria ketika kami memulai obrolan tentang kenapa seks begitu mengerikan baginya, namun semakin dalam pembahasan kami, rona ceria di wajahnya memudar sedikit demi sedikit.
“Laki-laki pertama yang meniduriku adalah orang paling menjijikkan yang pernah kutemui,” suaranya lirih, mencoba agar tidak ada pelanggan lain yang mendengar ucapannya.
“Bukan karena tampangnya jelek. Malahan lumayan tampan. Tetapi tetap saja kuanggap menjijikkan.”
Ia ragu untuk mengatakan sesuatu selama beberapa saat. Beberapa kali bibirnya ingin mengeluarkan suara, namun selalu tertahan dan ia kembali terdiam. “Karena kebodohanku, aku akhirnya harus jual diri.” Matanya menatap ke bawah, tidak berani menatap ke arahku sama sekali.
“Dan aku benar-benar merasa tersiksa waktu itu. Pun aku merasa diperkosa.” Lara masih enggan mengangkat matanya.
“Dan seks kedua dengan lelaki lain, bertahun-tahun setelahnya, juga sama mengerikannya dengan lelaki itu. Dia pacarku, si lelaki yang kedua, tetapi dia juga memperkosaku.”
Segala sesuatu tentang seks menjadi momok bagi Lara. Ketika banyak temannya yang sering mengagung-agungkan betapa seks adalah kenikmatan luar biasa, yang ada di benaknya hanyalah rasa sakit yang tidak bisa disembuhkan.
Lara menolak membahas apa yang terjadi di kehidupan setelah mengalami trauma akan seks. Ia tidak ingin mengenang kembali apa yang coba dilupakannya, pun saya tidak berani memaksanya bercerita. Kami lantas duduk diam selama beberapa saat, sambil sesekali saya tergoda untuk menyeruput kopi hitamku.
Semua berawal dari keluarga yang berantakan
“Aku berasal dari keluarga yang berantakan,” ucapnya lirih, selirih kalimat demi kalimat yang sebelumnya keluar dari mulutnya.
“Mamaku menikah sampai empat kali. Itu yang aku ketahui. Sementara kalau ditanya sudah dengan berapa lelaki mamaku tidur, barangkali jumlahnya sangat banyak.”
Saya menyiapkan diri untuk mendengar ceritanya lebih jauh. Setidaknya ia mulai terbuka dan mau bercerita sesuatu tentang dirinya. Saya lumayan yakin bahwa trauma akan seks yang ia alami juga disebabkan oleh masa lalu yang lebih jauh lagi sebelum tindakan ‘jual diri’ itu.
“Aku, kakak laki-lakiku, mama, dan papa, adalah penganut Kristen yang lumayan taat. Keluarga kami masih tampak baik-baik saja, sampai akhirnya papa memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya di luar pulau. Alasan papa adalah mengurus orang tuanya yang sudah tua, dan beliau meminta kami semua ikut.” Ia menyeruput strawberry frappuccino untuk pertama kalinya.
“Sayangnya, mama juga ingin mengurusi orang tuanya di sini. Akhirnya karena mereka berdua sama-sama berkeras hati, akhirnya perpisahan terjadi. Awalnya kukira memang murni karena itu, namun semakin dewasa, rasanya aku tahu alasan sebenarnya papa ingin berpisah.”
Lara menceritakan bahwa sewaktu SMP dan ingin membeli gorengan tak jauh dari rumahnya, ada seorang ibu-ibu yang bertanya ia anak siapa. Lara menyebutkan nama ibunya, dan sontak ibu-ibu yang bertanya tadi langsung tersenyum dengan rona mengejek. “Ibu-ibu itu bertanya, Bapaknya yang mana, ya?,” Lara lantas mengurungkan niatnya membeli gorengan dan pulang ke rumahnya.
Seiring waktu, Lara sadar bahwa ibunya sering tidur dengan banyak lelaki. Seiring waktu itu pula ia berpikir bahwa alasan papanya memutuskan pergi adalah karena tidak tahan dengan kelakuan ibunya yang masih sering tidur dengan lelaki lain itu. “Papa mungkin memutuskan bercerai karena ibu masih, atau terindikasi, tidur dengan lelaki lain.”
Lara mengatakan ibunya menikah dengan orang dari luar pulau setelah bercerai dengan papanya. “Ibu mau pindah ke luar pulau, sementara aku dan kakak tinggal di Jogja, di rumah nenek.”
Kemauan ibunya meninggalkan Jogja dan menetap dengan suami barunya dirasa Lara bertentangan dengan alasan ibunya berpisah dulu dengan papanya. “Dulu ibu tidak mau ikut papa ke luar Jawa karena ingin menjaga kakek dan nenek. Kenapa setelah menikah lagi, ibu mau ikut suami barunya ke pulau seberang?” berdasarkan kejadian itu, Lara semakin yakin bahwa perpisahan kedua orang tuanya memang karena sebab lain.
“Enam bulan kemudian suami baru ibu meninggal. Ibu kembali lagi bersama kami di Jogja. Tidak lama setelahnya, ibu menikah dengan orang dari ibu kota. Dan masalah terjadi seketika itu juga.”
Suami baru ibunya adalah seorang muslim yang taat, sehingga ibunya harus pindah agama. Pun suami baru ibunya memaksa Lara dan kakaknya untuk pindah agama setelah mendapat paksaan dari ‘ayah’ baru mereka. “Aku akhirnya beragama Islam setelah proses panjang. Dan sejak saat itu, semua teman di gereja memusuhi aku.”
Sambil menikmati seruput demi seruput strawberry frappuccinonya, Lara menceritakan bahwa ia dulu sangat aktif di kegiatan gereja. Ia memiliki teman banyak dan sangat baik dengannya. “Aku tidak peduli orang tuaku mau seperti apa, yang jelas aku punya teman-teman gereja. Tetapi semenjak aku dipaksa pindah agama, teman-teman memusuhiku. Bahkan dress-ku di gereja sampai dibakar.”
Ia tertahan ketika mengingat memori itu. “Aku tidak punya teman lagi. Dan sialannya, ibu langsung pindah ke ibu kota dengan suami barunya itu. Aku sekali lagi ditinggal di rumah kakek bersama kakakku yang tak lama lagi akan kuliah ke luar kota.”
Dari suami baru ibunya, Lara memiliki dua adik tiri yang jaraknya hanya selang satu tahun antara yang pertama dan kedua. “Dan ternyata salah satu dari adik tiriku itu bukan anak ayah tiriku,” ia sedikit terkekeh karena yang barusan ia katakan hampir mirip judul beberapa sinetron azab di salah satu stasiun televisi swasta.
“Ibu belum tobat ternyata. Tapi suaminya tidak tahu. Ibu cerita beberapa waktu lalu. Dan sialannya lagi, sekarang ibu juga punya pacar. Pun pacar ibu juga masih berstatus suami orang.”
Kuseruput kopi hitamku yang sudah tidak panas lagi, lantas kulemparkan pertanyaan apakah Lara pernah membenci ibunya atas semua yang terjadi. Lara, sambil menyobek struk pembayaran menjadi kecil-kecil, lantas memelintir sobekan itu menjadi jauh lebih kecil lagi, mengatakan tidak pernah membenci ibunya. “Benci, tidak. Tetapi kalau marah, jelas. Selalu marah. Marahnya juga lebih karena ibu tidak pernah ada di sekitarku sehingga banyak hal menyebalkan terjadi kepadaku.”
Mencari senang karena tak punya teman
Seandainya ibunya tetap berada di Jogja setelah menikah dan Lara terpaksa pindah agama, setidaknya ia merasa ada sosok yang bisa ia jadikan tempat mengeluh. Ketika saya bahas perihal kakaknya, Lara mengklaim bahwa kakaknya memiliki cara sendiri untuk melupakan masalah demi masalah yang mendera keluarga mereka.
“Kakak memiliki geng anak-anak punk. Kakak selalu berkumpul bersama mereka dan melupakan semua masalah. Aku kenal salah satu dari teman kakak karena masih satu desa, tetapi untuk teman-temannya yang lain, aku tidak kenal.”
Lingkungan anak-anak punk itulah yang pada akhirnya dijadikan pelarian Lara setelah kakaknya pergi meninggalkan kota untuk kuliah. “Saat kakak pergi, aku merasa semakin tersudutkan. Aku tidak punya siapa-siapa sama sekali. Akhirnya aku mendatangi teman kakak yang masih satu desa itu. Sebut saja Jabrik. Nah, aku minta agar Jabrik membawa aku ke geng mereka.”
Lara ingat, setiap kali kakaknya ingin berkumpul dengan gengnya, kakaknya selalu bilang ‘ingin cari senang’. Dan kalimat kakaknya itu terngiang terus di kepalanya ketika ia benar-benar sendiri. Ia ingin mencari senang. Ketika kakakknya memiliki lingkungan yang bisa membuat senang, maka Lara mencoba mendatangi lingkungan tersebut.
Jabrik akhirnya membawa Lara ke rumah si Gendut* yang merupakan markas dari anak-anak punk. “Di rumah si Gendut, aku diperkenalkan sebagai adiknya kakakku. Aku disambut baik oleh mereka. Ada berlima waktu itu kalau tidak salah. Empat laki-laki, satu perempuan, pacar si Gendut itu.”
Itu terjadi di tahun 2013. Tahun yang sama ketika saya menginjakkan kaki di Jogja untuk menempuh pendidikan tinggi. Di tahun di mana saya merasa harus menaklukkan Jogja beserta seluruh isinya, paralel dengan itu, ada seorang gadis yang baru lulus SMP dan berjuang mencari cara untuk membahagiakan dirinya setelah menerima beban hidup begitu berat. Ironi memang, bagaimana kota yang sama, pun tahun yang sama, bisa menyimpan begitu banyak cerita yang berbeda.
Dan benar saja. Lingkungan baru yang didatangi Lara memang menghadirkan kesenangan. Untuk pertama kalinya, ada orang-orang yang menerima dirinya tanpa peduli latar belakang keluarganya. “Mereka baik semua. Aku bisa tertawa lepas dan membahas apa saja. Dan di sana, untuk pertama kalinya aku mencoba merokok. Mereka juga menawariku tuak, tetapi setelah mencicipi sedikit, aku langsung meludahkannya karena tidak enak. Mereka hanya menertawakanku.”
Merasa diterima di lingkungan baru, Lara pada akhirnya berkali-kali mengumpul dengan geng itu. “Setiap malam minggu pasti aku menginap di sana. Dan sedikit demi sedikit, aku bisa menjadi ceria dan tidak pemurung lagi. Pun pakaianku mulai mengikuti mereka, tidak menggunakan daster Hello Kity lagi. Aku mulai pakai kaos hitam yang lengannya dihilangin itu. Rambutku juga dipotong samping a la skinhead samping gitu.”
Keceriaan Lara muncul kembali ketika mengingat masa-masa bersama geng punk itu. “Aku juga mulai bisa merokok, meski kalau untuk minum minuman keras, aku masih belum bisa menikmatinya.”
Ia bertransformasi dari Lara yang pemurung dan tidak memiliki teman, menjadi Lara yang sangat keren, periang, dan memiliki banyak teman. Pun ketika ia lulus SMP dan masuk ke SMA, ia menjadi salah satu murid perempuan yang paling stylish di antara yang lain.
“Suatu ketika, salah satu anak punk itu tanya apakah aku punya uang atau tidak, dan aku menjawab tidak. Ia lantas mengatakan bahwa kalau ingin bersenang-senang lebih seru lagi, aku harus punya uang. Makanya aku diminta menabung agar bisa bersenang-senang.” Itu adalah mindset yang kemudian dipelihara Lara. Ia harus menabung uang jajannya agar bisa bersenang-senang lebih seru bersama teman-temannya di rumah si Gendut.
Memiliki banyak uang dan bersenang-senang
Sayangnya Lara tidak pernah bisa menabung karena uang jajannya memang selalu pas-pasan. Sampai suatu ketika, ia diberi uang oleh ibunya ketika harus membayar seragam dan uang gedung. “Kan masih siswa baru. Harus membayar seragam dan uang gedung. Ibu memberi uang sekitar tiga juta untuk itu semua.”
Memiliki uang sebanyak itu, Lara langsung teringat anak-anak punk di rumah si Gendut. “Jika ingin bersenang-senang, harus punya uang banyak,” ia menyampaikan apa yang ada di pikirannya saat itu. “Akhirnya kupikir uang gedung dan seragam bisa lah nanti-nanti. Akhirnya aku bilang ke Jabrik kalau aku sudah nabung dan ingin ngumpul bersama anak-anak.”
Ia dan Jabrik akhirnye mendatangi rumah si Gendut, tetapi hanya ada sedikit orang di sana. Akhirnya Lara memberi sejumlah uang untuk membeli minuman keras yang mahal, beberapa camilan, dan rokok. “Beli Mansion waktu itu. Dua ratus ribuan harganya. Beli sebotol karena memang hanya ada sedikit orang. Aku coba minum seteguk, tetapi ternyata memang tidak enak. Tapi tetap aku telan waktu itu.”
Karena hanya ada sedikit orang, Lara diminta untuk datang lagi pada malam minggu karena akan ada banyak anak punk berkumpul. Akhirnya Lara pulang dan kembali lagi di malam minggu beberapa hari ke depan.
“Rame banget waktu itu. Ada anak-anak punk dari luar kota juga. Ya sudah, akhirnya aku belikan ini itu. Pokoknya benar-benar pesta. Mereka semua sangat menyenangkan dan bisa membuatku tertawa-tawa lepas. Apalagi berkali-kali aku disanjung karena menraktir mereka semua. Ya waktu itu aku sangat merasa senang. Baru pertama kalinya aku disanjung dan dipuja-puja banyak orang seperti itu.”
Lara tidak memedulikan uang tiga juta yang seharusnya digunakan untuk membayar seragam dan gedung hanya tinggal beberapa ratus ribu. Ia tidak mau ambil pusing asalkan kebahagiaan bersama teman-temannya berlangsung lumayan lama. “Aku benar-benar bahagia waktu itu. Benar memang bahwa jika ingin bersenang-senang, aku harus punya uang banyak.”
Masalah di sekolah masih bisa diatasi Lara. Ketika satu bulan berlalu dan seragamnya belum juga jadi, sementara seragam semua siswa di angkatannya sudah jadi, ia hanya akan bilang bahwa seragamnya masih dijahit ke siapa saja yang bertanya. “Kan aku satu-satunya yang seragamnya belum jadi, makanya beberapa kali dipanggil guru BK. Aku bilang saja seragamnya masih di penjahit.”
Lara menjelaskan bahwa uang yang harusnya dibayarkan itu sebagian untuk menebus bahan seragam, dan sebagian lainnya lagi untuk membayar penjahit, dan sisanya untuk uang gedung. Dengan begitu, Lara bisa berdalih penjahitnya sedang tidak bisa bekerja atau semacamnya.
“Sampai akhirnya, karena seragamku belum juga jadi, dari pihak BK tanya ke pihak TU. Barulah ketahuan kalau aku belum membayar sama sekali. Akhirnya aku dipanggil ke BK dan dimarahi. Mereka meminta nomor telepon orang tua, tetapi sebisa mungkin saya berkelit kalau orang tuaku ada di luar kota sedang bekerja. Itu memang benar. Tapi sebenarnya aku tidak ingin ibu tahu uangnya aku gunakan untuk hal lain.”
Lara akhirnya mengatakan akan meminta uang kepada orang tuanya. Pada saat itulah ia merasa segala-galanya kacau. Merasa bingung harus bagaimana, akhirnya ia mengatakan kepada Jabrik bahwa uang yang kemarin digunakan untuk bersenang-senang adalah uang sekolah. Jabrik murka, pun menggoblok-goblokkan Lara. Mereka berdua akhirnya pergi ke rumah si Gendut dan mengatakan sebenarnya.
“Ya sama mereka semua aku dimarahi dan digoblok-goblokin. Aku hanya bisa nangis waktu itu.”
Menurut Lara, mereka semua tampak kebingungan harus bagaimana. “Mereka semua stres. Ada yang nyeletuk bahwa itu murni salahku dan harusnya aku sendiri yang menyelesaikan masalah. Dia benar, tetapi ya tetap saja aku melakukan semua itu untuk mereka juga.”
Mereka akhirnya bersepakat untuk mengamen. Hasil dari mengamen itu niatnya akan diberikan kepada Lara, namun ketika uang terkumpul, ternyata hanya ada beberapa ratus ribu. Si Gendut yang paling jengkel dengan kejadian itu, tetapi ia tetap mencoba membantu Lara.
“Gendut tanya, apa aku benar-benar butuh uang atau tidak. Berkali-kali ia tanya begitu, dan berkali-kali juga aku mengangguk. Akhirnya ia pergi lama sekali entah ke mana. Kupikir untuk mencari pinjaman atau bagaimana, sampai akhirnya ia kembali setelah larut pagi.”
Hilangnya keperawanan
Si Gendut meminta agar Lara datang kembali pada malam Minggu berikutnya, sambil sekali lagi menekankah apakah Lara benar-benar mau uang atau tidak. Dan seperti semula, Lara selalu mengatakan kalau ia memang membutuhkan uang itu.
Malam Minggu berikutnya Lara kembali ke rumah si Gendut. “Dengan polosnya aku bertanya, ‘mana uangnya, kak?’”
Si Gendut lantas menjelaskan bahwa nanti Lara akan dijemput seseorang, dan ia harus melakukan apa pun keinginan orang yang menjemputnya itu. “Kupikir aku disuruh jadi pembantu atau apa, dan si Gendut mengatakan aku harus tidur dengan orang itu.”
Lara ingat betul apa apa yang ia rasakan saat itu. Sekujur tubuhnya lemas dan matanya berkunang-kunang. Ia tidak bisa bereaksi apa-apa selama beberapa saat. “Aku ingin menolak, tetapi itu satu-satunya jalan mendapatkan uang dengan cepat.”
Akhirnya Lara dijemput ‘Lelaki Menjijikkan’ itu dengan mobil Corolla DX berwarna merah. “Sekalipun dia tampangnya lumayan, tetapi tetap saja menjijikkan. Aku dibawa ke salah satu hotel, dan kejadian berikutnya adalah malapetaka.”
Lara selalu duduk sejauh mungkin dari lelaki yang akan menidurinya tersebut. Ia hanya bisa diam dan tidak menggubris apa pun ucapan lelaki yang berada satu kamar dengannya. “Akhirnya aku malah menangis. Aku ceritakan semua masalahku, dan ternyata dia memang sudah mengetahuinya dari si Gendut. Dia pelan-pelan menenangkanku. Berhasil. Aku menjadi lebih tenang setelah lumayan lama.”
Proses menenangkan diri itu membutuhkan waktu berjam-jam menurut Lara. “Dia meminta aku membuka bajuku satu demi satu. Aku akhirnya menurut. Tetapi ketika dia duduk di sebelahku dan memegang pundakku, aku langsung kejang-kejang. Aku histeris lagi, dan perlu waktu lebih lama lagi sampai aku tenang.”
Sangat lama dan melelahkan bagi Lara, tetapi entah bagaimana lelaki yang ternyata sudah bertunangan itu mau sabar menghadapinya. “Dia memang terobsesi dengan perawan. Dia mengaku begitu. Makanya, membujuk berjam-jam juga pasti dia mau.”
Pada akhirnya Lara melepas keperawanannya di hotel itu. Ia mengatakan bahwa rasa sakitnya sungguh tak tertahankan, dan ia harus merasakannya selama berjam-jam kemudian. “Rasanya sakit sekali. Saking sakitnya aku sampai hampir tidak bisa berjalan. Seperti ada yang terkoyak-koyak di bagian sana (vagina). Dan anehnya waktu itu tidak keluar darah sama sekali.”
Si lelaki mengatakan bahwa jika ingin berteriak, Lara dipersilakan berteriak sekeras mungkin, dan hal itu langsung dilakukannya. “Aku teriak kesakitan sekeras yang aku bisa, dan sialannya, itu justru membuat lelaki itu tertawa-tawa.”
Lara juga mengatakan bahwa mereka berhubungan seks tanpa kondom. Pun ternyata si lelaki melakukan ejakulasi di dalam vagina Lara. “Aku tidak tahu kalau ejakulasi di dalam vagina itu bisa membuat hamil. Tidak ada yang mengajariku hal-hal seperti itu. Makanya, aku tidak terlalu memikirkan dia ejakulasi di mana. Yang jelas aku ingin malam itu segera berakhir.”
Sayangnya malam tidak segera berakhir. Lara bercerita, ia dibawa laki-laki itu ke kamar mandi untuk berhubungan. Dan di sana, ketika ia buang air kecil, darah mengucur deras disertai rasa perih yang mengiris. “Bajingannya, si lelaki itu malah tertawa-tawa. Aku sangat menyesal melihat wajahnya saat itu.”
Lara dipaksa berhubungan hingga pagi. Hal paling menjijikkan lainnya adalah ketika mereka akan tertidur, si lelaki mencium bibir Lara. “Semenjak saat itu aku benci ciuman. Aku benci seks. Aku benci laki-laki!”
Keesokan harinya sebelum mereka berpisah, si lelaki memberikan semacam obat yang harus diminum Lara apabila ada tanda-tanda kehamilan. “Kalau aku telat bulan, aku harus minum obat itu. Dan benar saja, beberapa minggu setelahnya aku telat bulan. Langsung saja kuminum obat itu.”
Membenci seks dan segala yang berkaitan
Dr Rajan Bhonsle, Kepala Departeman Kesehatan Seksua di Rumah Sakit King Edward Memorial Hospital, Mumbai India seperti di kutip dari CNN Indonesia mengatakan rasa sakit itu tidak tertanggungkan bagi beberapa wanita, membuat mereka mengasosiasikan seks dengan rasa sakit. Kondisi ini kemudian berujung pada pengalaman traumatis.
Hal itu yang juga dirasakan Lara di tahun-tahun setelahnya. Kebencian terhadap laki-laki mungkin memudar sedikit demi sedikit, tetapi kebencian akan seks tidak pernah hilang. Setiap kali ada temannya yang membahas seks, bayangan kesakitan di hotel bersama lelaki asing itu langsung menyergap otaknya. Ia menderita trauma, dan alih-alih sembuh pada tahun-tahun berikutnya, ia justru mengalami petaka lainnya.
“Aku pacaran dengan orang yang ternyata sangat bajingan.” Ada rona muak di wajahnya.
“Dia mengajakku ke kamarnya, mengunci pintu, dan langsung mengikat tanganku dengan tali. Bajuku disobek-sobek, dan dia langsung memasukkan milikknya begitu saja. Darah kembali keluar waktu itu, dan dia merasa bangga karena mengira aku masih perawan. Setelah itu, dia memperkosaku dengan sangat kasar. Jauh lebih sakit dibandingkan dengan dulu yang di hotel.”
Pada akhirnya Lara berhasil putus dengan pacarnya itu, dan beberapa kali menjalin hubungan dengan lelaki lain, namun tidak pernah mau berhubungan seks. Ia selalu menolak sekalipun hal itu membuatnya ditinggalkan berkali-kali. “Setiap kali disentuh laki-laki, aku selalu teringat malam itu. Yang di hotel. Ditambah sama yang diikat itu. Seks hanya membawa kenangan mengerikan bagiku.”
Ia terdiam selama beberapa saat, tampak melupakanku, pun melupakan strawberry frappuccino di depannya. Tenggelam dalam pemikirannya, sementara kertas struk pembayaran telah menjadi serpihan-serpihan kecil di depannya.
Saya menyarankan untuk menyudahi obrolan jika memang ia tak ingin melanjutkannya, akan tetapi ia mendadak memasang wajah cerianya sekali lagi. Ada sedikit rasa lega ketika rona riang itu kembali muncul.
“Aku akhirnya menceritakan ini ke seorang laki-laki. Ia bilang, kenapa aku harus tampil ceria di depan semua orang dengan segala beban hidupku. Ia juga bilang kalau aku boleh menangis sekali-kali. Berkali-kali juga boleh. Seterusnya juga tidak apa-apa.”
Lara mengumpulkan kertas-kertas kecil di depannya, diremas menjadi satu, lantas ditaruh di asbak yang bersih tanpa abu rokok. “Akhirnya laki-laki itu menjadi pacarku sampai sekarang. Mengetahui kondisiku, ia tidak memaksa berhubungan seks. Tetapi pelan-pelan, aku mulai bisa berhubungan. Sudah empat tahun, dan baru beberapa waktu ini aku bisa tidak menjerit saat ia ingin melakukan penetrasi.”
Ia menyeruput minumannya kencang-kencang, seolah mencoba menghabiskannya dalam sekali tarikan napas, yang tentu saja gagal ia lakukan. Setelah hampir tersedak, ia melanjutkan, “Aku belum bisa menikmati seks. Tetapi setidaknya, aku sudah bisa menerima hubungan seks meski sesekali harus disudahi di tengah jalan karena aku teringat malam di hotel itu. Yah, setidaknya, aku tidak terlalu membebani pasanganku. Aku harap, suatu hari nanti aku bisa benar-benar mengerti seperti apa nikmatnya seks itu.”
Kali ini ia berhasil menghabiskan minumannya dalam sekali seruputan. “Itu saja ceritanya, ya.” Ia tersenyum, dan tidak bisa tidak, aku membalas ceritanya. “Oh ya, kakakku postur tubuhnya mirip kamu. Sayangnya ia meninggal satu tahun lalu karena kecelakaan di ibu kota. Dan besok ia ulang tahun. Ini tidak penting untuk dimasukkan ke tulisanmu, sih. Tetapi setidaknya aku bilang saja.”
Saya ingin menyangkalnya, tetapi kuurungkan. Hanya kubalas suaranya yang penuh keceriaan itu dengan senyuman, sambil berujar dalam hati bahwa informasi mengenai kakaknya itu penting. Ya. Sangat penting.
“Berjuang ya, Lara!” ucapku pada akhirnya.
*nama narasumber disamarkan demi menjaga privasi.
BACA JUGA Pertanyaan Menyebalkan dan Alasan Mereka Bersyukur Tak Ada Kumpul Keluarga liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.