Sebuah unggahan yang menunjukkan seorang sopir bus yang menganggap hilangnya satu nyawa di mobil kecil lebih baik ketimbang nyawa satu bus menuai pro dan kontra. Mojok berbincang dengan sejumlah pihak, mulai dari sopir sampai polisi untuk menggali benarkah anggapan ini lumrah di kalangan para sopir.
***
Seorang sopir bus berujar bahwa lebih baik kehilangan satu nyawa di mobil kecil ketimbang nyawa penumpang bus menjadi viral. Ucapan tersebut terdengar dalam sebuah video yang diunggah Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Syahroni di akun Instagramnya @ahmadsahroni88.
Di video tersebut tampak sang sopir sedang adu mulut di pinggir jalan dengan sejumlah orang yang menumpangi mobil pribadi. Hal itu lantaran kedua kendaraan itu terlibat friksi dan nyaris terjadi kecekalaan.
“Ya ibu, maaf. Sekarang gini, kalau kita sopir bus, lebih baik hilangin satu nyawa mobil kecil daripada satu bus,” ujar sopir bus tersebut.
Ujaran itu lantas menuai beragam reaksi saat videonya tersebar di media sosial. Kebanyakan komentar menyayangkan ucapan tersebut. Meski memang di jalan terkadang patut mengurangi potensi risiko yang lebih besar saat terjadi insiden kecelakaan.
Hilang satu nyawa daripada satu bus cukup ada dalam pikiran saja
Rian Mahendra pemilik Mahendra Transport memberikan tanggapan dari kejadian viral tersebut. Ia memberikan pendapat di kolom komentar di Instagram Ahmad Sahroni maupun di media sosial pribadinya. Menurutnya dari video yang berada, harus melihat kronologinya secara utuh. Apabila driver bus memang bersalah, sudah sewajarnya mendapatkan sanksi dari perusahaan atau dari hukum yang berlaku.
“Untuk urusan kata-kata yang keluar dari mulutnya, walau itu terkesan tidak manusiawi. Tapi itu fakta, coba kalian berkaca ke diri kalian. Kalau suatu saat ada variable kejadian yg membuat kalian hars memilih 1 dari dua pilihan yg buruk. Apa yg kalian pilih?? Kehilangan nyawa 6 orang dan kehilangan nyawa 60 orang.. mana yg lebih buruk?” tulis Rian di Instagram pribadinya.
Menurut Rian, tidak semua hal baik itu benar. Apa yang disampaikan oleh sopir bus dalam video setidaknya memberi pelajaran agar semua berhati-hati dalam bicara. “Nggak semua yang ada di pikiran kita layak untuk kita utarakan. Sebuah kalimat kalau masih menetap di kepala nggak akan ada efeknya. Tapi kalau sudah keluar lewat mulut. Akan banyak sekali variable dampaknya, ketersinggungan manusia, perasaan manusia, dan lain sebagainya,” katanya panjang lebar.
Utamakan keselamatan meski itu satu nyawa
Untuk mengurai permasalahan dari ujaran tersebut, Mojok mencoba bertanya kepada AKP A.Purwanta dari Diltantas Polda DIY. Menurutnya, sebagai pengemudi kendaraan yang mengantongi SIM, sopir tersebut harus memahami bahwa keselamatan semua pengguna jalan harus diutamakan.
“Di UU Lalu Lintas sudah jelas diatur bahwa dalam berkendara wajib mengutamakan keselamatan semua pihak meski hanya satu nyawa. Bagaimana pun itu tetap nyawa seseorang,” terangnya.
Ia lanjut menerangkan bahwa dalam ujian pembuatan SIM selalu ada penjelasan terkait etika berlalu lintas. Apalagi untuk tingkatan pemilik SIM B1 atau B2 umum. Pasalnya, untuk membuat SIM itu perlu proses panjang.
SIM B1 merupakan jenis SIM B yang ditujukan bagi kendaraan perseorangan dengan berat lebih 3.500 kg. Sementara SIM B1 umum adalah jenis SIM yang diperuntukkan bagi pemilik kendaraan motor umum dan barang dengan berat yang sama.
Pembuatan SIM B1 umum sesuai prosedur perlu waktu satu tahun setelah orang tersebut mengantongi SIM B1. Sementara untuk mengantongi SIM B saja, menurut Purwanta, juga perlu waktu satu tahun setelah mengantongi SIM A.
“Tidak hanya satu dua hari, setelah satu tahun baru bisa ditingkatkan. Jadi setiap tahapan SIM, pasti ada edukasi dan pencerahan terkait berlalu lintas yang baik,” paparnya.
Menurut Purwanta, di lingkup DIY, Ditlantas telah melakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap sejumlah PO Bus. Utamanya terkait etika berlalu lintas.
Selain itu, mengingat bus merupakan kendaraan besar yang mendominasi jalan, pihak kepolisian juga siap melakukan pengawalan. Khususnya jika terdapat permintaan dari masyarakat.
“Untuk pengawalan kami juga selektif. Tidak semua bisa kami kawal, khusus yang memang membutuhkan,” paparnya.
Namun, Purwanta mengaku belum pernah mendengar anggapan seperti yang sopir viral tadi utarakan. Baik dari kalangan PO Bus maupun sopir.
“Di Jogja sih kami belum pernah dengar hal semacam itu. Tapi ini jadi pembelajaran, jangan sampai hal itu lumrah di sini,” terangnya.
Merasakan kengerian laju bus di jalan
Selain itu, Mojok mencoba untuk menghubungi orang-orang yang pernah merasakan kengerian manuver bus di jalan. Salah satunya lelaki asal Sukabumi bernama Fendi (32) yang sudah lima belas tahun menjadi sopir.
Saat ini, ia aktif menjadi sopir truk tronton antar kota dan provinsi yang membawa logistik. Kami pernah berjumpa di titik parkir Jalan Wates, Yogyakarta beberapa waktu lalu. Kendaraan yang ia bawa lajunya di jalan tak begitu kencang.
Rute yang dulu biasa ia lewati adalah Jawa-Bali. Belakangan ini ia lebih banyak di Pulau Jawa saja. Dan ia lebih nyaman begitu karena bisa lebih sering pulang ke rumahnya.
Hidup di jalan memang penuh risiko. Buatnya, salah satu yang cukup ngeri adalah melaju berdampingan dengan bus yang ngebut.
Ia pernah merasakan dipepet dan disenggol oleh bus yang sedang ngebut dan berusaha melewatinya. Suatu kali, kaca spion truk yang Fendi kendarai sampai rusak tersenggol bus yang melaju kencang.
Peristiwa itu terjadi di ruas tol Jakarta-Cikampek. Kesal tentu Fendi rasakan. Namun ia hanya bisa sabar dan mengelus dada jika bertemu bus yang ugal-ugalan.
“Cuma karena truk saya berat tidak mungkin bisa mengejarnya. Saya cuma bisa pasrah dan sabar,” kenangnya.
Buatnya, perjumpaan dengan bus ugal-ugalan paling sering terjadi ketika malam hari. Menurut Fendi, semakin malam, nyali sopir semakin berani. Mengandalkan feeling di situasi gelap dan kantuk yang kadang melanda, sopir rentan membahayakan pengendara lain.
“Pas spion saya keseremet juga kondisinya malam,” cetusnya.
Memahami keputusan sopir ketika berhadapan dengan risiko
Sebagai sesama orang yang banyak menghabiskan hidup di jalan raya, Fendi memahami bahwa sopir kerap mengambil keputusan untuk menghindari risiko korban dan kerugian yang lebih besar. Saat saya menunjukkan ungkapan sopir bus yang viral ia pun sedikit mengerti alasannya.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa keputusan seperti itu hanya dilakukan ketika keadaan darurat tanpa pilihan lain. Bukan karena kecerobohan akibat berkendara dengan ugal-ugalan.
“Hal seperti itu biasanya terjadi saat darurat atau tidak ada pilihan lain untuk menghindari kecelakaan,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu Mojok juga sempat berbincang dengan beberapa sopir bus, terkhusus pariwisata, yang sedang ngetem di Parkir Senopati, Yogyakarta. Mereka berbagi keluh kesah tentang profesinya.
Salah satu yang saya jumpai adalah lelaki asal Solo bernama Fajar (26). Ia menjadi sopir bus pariwisata di saat sedang libur. Pekerjaan utamanya masih berkutat pada stir bundar, tapi mengemudi bus AKAP salah satu PO di Jawa Tengah.
Ia menjelaskan perbedaan tangangan membawa bus pariwisata dengan AKAP. Saat menjadi sopir AKAP Fajar biasa menempuh rute jauh. Selain rute antar kota dan provinsi di Jawa, trayek terjauh yang ia kemudikan adalah Solo-Pekanbaru. Perjalanan jauh membuatnya hapal betul beragam jalan dan tantangan-tantangannya masing-masing.
Sopir bus, ada yang berkejaran dengan waktu
Menurutnya, saat menyopiri bus AKAP, secara penampilan dan perangai ia bisa lebih santai. Tancap gas cepat sudah biasa. Lantaran memang bus jenis ini berkejaran dengan waktu. Hal itu juga yang menjadi tantangan tersendiri buat Fajar.
“Kalau AKAP memang nggak nyantai. Ada jadwal berangkat dan perkiraan jadwal sampai,” tuturnya.
Sedangkan kalau bus pariwisata, urusan waktu cenderung lebih fleksibel. Sehingga sopir bisa sedikit lebih nyantai.
Saat menyopiri bus AKAP Fajar juga lebih bebas urusan pakaian. Sedangkan saat membawa bus pariwisata, terkhusus di bawah naungan PO tertentu, biasanya seragam dan penampilan harus rapi. Seperti yang tampak dari pakaiannya saat ini.
“Ya kurang lebih seperti ini,” katanya sambil menunjuk seragamnya sendiri.
Sopir lain yang saya temui, Arif (31) menerangkan bahwa menjadi sopir bus pariwisata harus tenang. Pelanggan lebih sering komplain terkait kenyamanan berkendara sehingga ia pasti berhati-hati.
Baginya, tantangan terbesar menjadi sopir pariwisata adalah proses penjemputan. Saat menjemput, biasanya ia harus membawa kendaraan ini melintas di gang-gang kecil. Sesuatu yang jadi momok bagi para sopir. Konsentrasi penuh mereka butuhkan.
“Sebab di sekitar ya ada pohon, kabel, inilah yang paling susah,” keluhnya.
Sopir memang pekerjaan berat. Jauh dari keluarga dan menjalani keseharian yang melelahkan di jalan. Lengah sedikit nyawa jadi taruhan. Kebut-kebutan, bisa jadi gagal pulang ke kampung halaman.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA PO Bagong, Bus Malang yang Merambah Angkutan Tambang dan Rute Antarnegara