Selepas pandemi Covid-19, konser musik di Solo seperti “menggila”. Tahun 2022 saja setidaknya ada 55 event yang menghadirkan musik di dalamnya. Di tahun 2023, hingga pertengahan tahun setidaknya sudah ada 43 acara yang sudah berlangsung.
Namun, ada kegelisahan dari pelaku musik di Solo akan fenomena ini. Apakah memang banyaknya konser musik ini karena sudah ada pasarnya? Atau karena faktor lain, salah satunya karena sosok Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming. Selain itu, konser-konser besar umumnya yang menggarap adalah EO dari luar kota.
***
Selasa, 27 Juni 2023 malam, saya men-admit Stephanus Adjie melalui via Google Meet. Saat itu ia sedang berada di Jakarta dan memang di ibu kota waktunya banyak dihabiskan untuk berkerja. Walau begitu vokalis Down For Life dan pendiri Rock In Solo ini tetap sering pulang ke Solo untuk berbagai keperluan. “Minimal sebulan sekali, tergantung agendanya, Mas,” katanya.
Adjie bercerita kepada saya selama satu jam lebih tentang hal-hal yang berkaitan dengan event musik, baik secara umum maupun khususnya di Kota Solo. Kota ini memang belakang sedang menjadi sorotan di jagad industri musik karena sangat masif dalam mengelar berbagai pertunjukan musik. Sebut saja seperti Dream Theater, Slank, Deep Purple & Soneta, dan Dewa 19 pernah main di Solo.
Konser banyak di Solo itu ekosistem yang nggak sehat
Selain band kelas kakap di atas, tentunya masih banyak lagi penampil-penampil yang publik senangi yang main pada lingkup gigs maupun festival di Kota Solo. Tetapi masifnya acara musik itu alih-alih bisa dikatakan tuntas justru menjadi persoalan. Menurut Adjie sendiri banyak hal yang masih menganjal dan harus menjadi PR bersama.
“Saya berpikir di Solo ramai acara terus itu apakah benar market yang diincar sudah sesuai atau ada ‘kepentingan lain’. Karena nggak bisa dipungkiri ada Mas Gibran, jadi banyak acara di Solo, dan ini akan menjadi bumerang ketika Mas Gibran sudah tidak di Solo lagi,” paparnya.
Lebih lanjut ia menambahkan banyaknya event di Solo yang begitu masif di satu sisi memang senang, tapi ada kekhawatiran akan eksosistem yang tidak sehat.
“Di Solo emang banyak event tapi kalo kita ngomongi Madiun (yang nggak jauh dari Solo) nggak ada event sama sekali. Jadi menurut saya ekosistemnya nggak sepenuhnya sehat,” imbuhnya.
Selain itu juga orang yang juga bekerja di Demajors, sebuah perusahaan rekaman di Indonesia ini turut mempertanyakan kenapa Festival Lokananta hanya digelar pada 03-04 Juni 2023 dengan puluhan line up. Kata Adjie, alangkah lebih bagusnya ketika acara musik di Lokananta bisa berkelanjutan, tidak serta merta banyak line up disajikan 2 hari berturut-turut tapi sehabis itu tidak ada acara.
Dominasi EO luar kota
Stephanus Adjie juga mempersoalkan kenapa event organizer dari luar kota mendominasi acara musik di Solo. “Banyak EO dari luar Kota Solo berbondong-bondong bikin acara tapi orang Solo-nya malah jadi penjaga tiket di depan atau nggak ngapa-ngapain. Bahkan band Solo pun juga kadang main, kadang enggak. Kalau main pun di luar jam yang enak, jadi nggak ada yang nonton,” tuturnya.
Bukan berarti menolak EO luar kota, tapi alangkah baiknya ketika EO luar kota itu punya gawe di Solo, juga mengajak EO Solo untuk terlibat. Baik secara partner, vendor, ataupun yang lainnya. EO Solo juga bisa mengadakan event musik sekelas Rock In Solo yang masuk kelas internasional dan itu yang mengerjakan 100% orang Solo. Dari situlah perlu keterlibatan dan partisipasi semua pihak.
Sebab untuk mengadakan suatu event berskala besar, menurut Adjie sendiri kendala utamanya ada pada pembiayaan.
Solo sebagai Kota Konser
Dalam berbagai kesempatan, Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming selalu mengatakan, ingin menjadikan Solo sebagai Kota Konser. Untuk merealisasikan angan-angannya tersebut, Gibran tengah menyiapkan tempat untuk konser outdoor serta penambahan berbagai tempat untuk konser musik. Ia juga senang karena EO berbondong-bondong mengadakan event di Solo. Tak peduli EO itu dari Solo atau bukan.
“Saya inginnya event di Solo nggak berhenti. Saya juga sedang mengejar beberapa penampil yang fanbase-nya anak-anak muda. Sekali-sekali harus datangin K-Pop, soalnya (konser K-Pop) nggak pernah keluar dari Jakarta. Belum akan saya sebutkan (artisnya), masih saya kejar,” katanya seperti dikutip dari detik.com.
Adjie paham dengan keinginan Gibran Rakabuming menjadikan Solo sebagai Kota Konser, tetapi ia menyoroti berbagai hal yang mesti dipersiapkan.
“Kesiapan bukan hanya dari pihak EO, tapi juga pihak berwenang terkait seperti pemerintah, aparat keamanan, juga vendor. Misalnya, masalah venue yang representatif, jaringan transportasi yang terintegrasi ,” katanya.
Selain itu pihak pihak EO terutama dari Solo tentu harus terus upgrade dan menyesuaikan perkembangan zaman.
Hal itu pun turut dikonfirmasi oleh Danang Sutowijoyo, seseorang yang telah berkecimpung di dunia EO selama hampir 13 tahun di Solo Dirinya pun turut meresahkan hal serupa yang Adjie rasakan.
Ada kesan EO luar kota menjajah Solo
“Di Solo sendiri akhir-akhir ini banyak EO-EO dari luar kota yang juga membawa band-band luar kota juga. Istilahnya “menjajah”. Kalo saya bilang sama temen-temen itu men-synchronize-kan diri. Ya nggak masalah sih. Tapi harusnya kan dari kita juga mengembangkan diri,” kata Danang kepada Mojok, Rabu (28/7/2023).
Menurut Danang, saat ia menyelenggarakan konser musik “FUCK YOU! WE ARE FROM SOLO” yang dikerjakan secara kolektif oleh komunitas musik keras di Kota Solo, antusiasme masyarakat cukup tinggi.
Dari situlah ada harapan untuk mengangkat band-band lokal Solo. Bukan malah dianak tirikan. Selain itu Danang menilai bahwa venue di Solo masih kurang. “Venue yang under 2.000 orang itu susah nemu di Solo,” imbuhnya.
Belum lagi vendor-vendor di Solo juga belum lengkap dan harus mendatangkannya dari luar Solo. Seperti kata Adjie toilet portable harus menyewa di Jogja dan penutup rumput harus mengambil vendor di Jakarta.
Sehingga ketika Gibran Rakabuming sebagai Walikota Surakarta ingin menjadikan Solo sebagai Kota Konser perlu turut memikirkan itu. Selain dari pemerintah menurut Danang perlu adanya koordinasi antar pihak EO supaya acara musik di Solo tidak bentrok satu sama lain.
Seperti halnya waktu Festival Lokananta 2023 bentrok dengan tur perdana band Lomba Sihir. Saya sendiri pun sempat mau datang ke dua acara tersebut. Melihat antusias penonton, lebih banyak yang datang di Festival Lokananta pada 03 Juni 2023 lalu.
Bisa buat konser kelas internasional
Menyingung soal FUCK YOU WE ARE FROM SOLO, acara ini merupakan sub bagian dari Rock In Solo. Di mana agenda pertamanya berlangsung, Minggu, 15 Januari 2023 di Kalipepe Land. Tapi acara belum selesai, pihak panitia harus membubarkannya demi keselamatan penonton.
Menurut pengakuan Danang yang pada waktu itu menjadi panitia, FUCK YOU WE ARE FROM SOLO Vol.1 harusnya selesai jam 22.00 WIB, tapi jam 20.00 WIB harus dibubarkan lantaran jumlah penonton melebihi kapasitas.
“Kapasitas venue itu 2.000 orang, tapi yang datang malah 5.000 orang makanya kami bubarkan,” begitu kata Danang.
Jumlah penonton membludak, karena acara ini semi gratis. Di mana pihak panitia memakai sistem donasi. Memberi edukasi para penonton bagaimana mereka bisa menghargai band-band yang mereka sukai khususnya di Solo. Itu membludak karena narasi yang kita bangun juga kuat, di mana event itu menampilkan band-band lokal Solo aja. “Istilahe kalo yang main di situ tuh itu ya udah top tier di masing-masing genre,” imbuhnya.
Walaupun FUCK YOU WE ARE FROM SOLO Vol.1 belum sepenuhnya tuntas, pihak penyelanggara membuat lagi Vol.2. Di mana acara kedua ini menampilkan band-band yang sebelumnya gagal main di Vol.1 dan tentunya dengan narasi yang sama.
Tentang narasi bagaimana musik keras bergema
FUCK YOU WE ARE FROM SOLO tentu tidak bisa lepas dari induknya; Rock In Solo. Di mana Rock In Solo ini merupakan event yang sudah menjadi identitas Kota Solo. Kali pertama acara ini berlangsung pada 28 Mei 2004 di GOR Manahan dengan menampilkan Seringai, Tengkorak, Down For Life, The Brandals, Sporadic Bliss, Auto Matic Punk, dan Russian Roulette.
Rock In Solo bisa ada tentunya tidak bisa dilepaskan dari pendirinya, Stephanus Adjie yang awalnya cukup resah melihat event musik di Solo yang terlalu monoton. Itu-itu saja. Sebab ia punya prinsip suatu event musik itu tidak sebatas hanya pada hiburan semata, perlu ada narasi yang di baliknya.
Nah, Rock In Solo ini adalah narasi yang ingin ia bangun bagaimana musik keras bisa bergema di kota Solo. Tentu awal mula untuk mendirikan acara ini tidak mudah. Sebab pada waktu itu masyarakat dan banyak pihak masih menganggap bahwa musik keras kerap menimbulkan kerusuhan.
“Waktu itu stigma terhadap musik keras itu banyak. Dari mulai musik keras bikin rusuh, musik keras nggak laku, penonton mabuk. Memang itu nggak menutup kemungkinan terjadi tapi tinggal bagaimana kita mengemasnya menjadi kekuatan yang bagus. Dan Rock In Solo pertama sukses, tiket sold out dengan kapasitas 2.000 orang dan tidak ada kerusuhan. Berita koran keesokan harinya; Rock In Solo Sukses Digelar Tanpa Kerusuhan,” begitu kata Adjie.
Dari 2004 sampai sekarang, Rock In Solo tentunya tidak bisa terlepas dari berbagai dinamika. Dari mulai pernah mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak tapi tidak sesuai yang harapan karena perbedaan visi dan misi. Dan layaknya masalah vital suatu event, masalah terbesar adalah pembiayaan.
“Rock In Solo itu pas awal-awal cuma habis 30juta, tapi kalau 2022 kemarin itu habisnya lebih dari 3 M,” ungkap Adjie yang pernah menggadaikan tanah agar Rock In Solo bisa berlangsung.
Tanda tanya Rock in Solo 2023
Tapi pada tahun ini Rock In Solo entah mau ada atau tidak. Sebab Adjie sendiri di satu sisi memang memiliki tanggungjawab moral, tapi di sisi lain ia tidak bisa sembarangan dalam membuat event atau konser musik.
“November udah banyak konser musik, November juga ada piala dunia, belum lagi mau ada Pemilu. Itu sih mas yang membuat kita mikir bikin Rock In Solo nggak tahun ini,” terangnya.
Pertimbangan Adjie itu lantaran butuh dalam kekuatan market. Di mana tidak hanya sebatas mengadakan event yang sifatnya hura-hura saja tapi perlu ada suatu narasi yang dibangun. Dirinya juga perlu pertimbangan lebih untuk mengarap event ini.
“Saya sering ngobrol sama Mas Anas Alimi bagaimana dia event itu dibangun dengan narasi. Saya juga deket sama Mas Bakar Wibowo yang dulu di Rajawali sekarang di Sinergi, kami berdiskusi bahwa membuat event itu juga membangun sebuah kulture,” terangnya.
“Jangan sampai kita mengambil keputusan berdasarkan ego semata. Sebab kalo ngomongin Rock In Solo tidak sebatas konser musik saja, karena di Solo sudah menjadi identitas, perjalanan spiritualitas bagi kami yang terlibat di dalamnya. Bahkan banyak jebolan-jebolan dari Rock In Solo mereka bikin event tapi pas Rock In Solo mereka kembali lagi,” tutupnya.
Reporter: Khoirul Atfifudin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Alasan Kami Mutar Musik Keras-keras Sampai Bikin Dinding Tetangga Bergetar
Cek berita dan artikel lainnya di Google News