Pada musim panas, orang-orang Swiss suka berenang dan menghanyutkan diri di sungai, termasuk di Sungai Aare. Tradisi ini bahkan diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda.
***
Pagi, Jumat, 27 Mei 2022 sekitar pukul 06.30 waktu Swiss, ponsel saya menerima berita dari teman-teman di tanah air tentang putra Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang hanyut di Sungai Aare, Bern, Swiss.
Saya segera mengirim berita dari tanah air itu ke teman Indonesia yang tinggalnya memang di Kota Aarau, tempat sungai itu berada. Maklum, ini masih pagi sekali untuk orang di Swiss, sehingga tak kudapatkan balasan.
Saya melihat di Grup Whatsapp Indonesia Swiss Club yang berisi para perantau di Swiss dan di sana sudah ada berita dari media Indonesia tentang hilangnya putra gubernur itu. Saya mencoba surf media-media di Swiss, belum kutemukan ada media Swiss yang mewartakan musibah itu.
Lalu saya membongkar pengalaman menyaksikan orang-orang Swiss menceburkan diri di sungai di kota masing-masing. Dua sungai yang cukup besar dan berarus deras yaitu Sungai Rhein yang membelah kota Basel, dengan panorama di sekitar berupa cerobong menjulang warna bata merah pabrik obat Ciba (Chemische Industrie Basel). Sebagai informasi Sungai Aare yang merupakan sungai terpanjang di Swiss, adalah anak Sungai Rhein.
Yang kedua, Sungai Reuss di Lucern. Saya menyaksikan anak-anak muda melompat ke sungai dan menghanyutkan diri.
Khusus di Sungai Reuss Luzern ini ada kreasi, yakni sebuah tali panjang diikatkan pada jembatan dan di bawah sungai anak-anak muda bermain selancar dengan kekuatan arus, sementara kedua tangannya memegang tali.
Kadang terdengar tepuk tangan dari penonton di tepi sungai, jika Sang Peselancar berani melakukan salto dengan surf board. Begitulah Swiss negeri yang tak memiliki laut, menciptakan gelombang dengan arus sungai.
Beberapa kali saya duduk persis di undak-undakan mulut Sungai Rhein di Basel. Saya perhatikan, warga Swiss, tua muda menceburkan diri ke sungai dan mengikuti arus deras itu hingga melewati bawah jembatan besar.
Orang yang menghanyutkan diri ke arus itu ada yang perorangan atau yang dalam kelompok kecil. Kalau dalam kelompok kecil mereka mengapung di air sambil berbicara dan kadang melambaikan tangan ke arah orang-orang yang menontonnya di tepi sungai.
Melihat atraksi saling melambaikan tangan itu, saya pun ikut melambaikan tangan dan mendapatkan balasan.
Yang saya anggap baru dari olahraga air itu, yakni hampir setiap orang yang mencebur ke sungai itu, memegang semacam tas plastik warna-warni mencolok; oranye, merah membara, hijau, atau biru.
Nah, apa isi tas plastik itu? Tentu tak lain adalah pakaiannya sendiri. Sehingga jika ia sudah merasa cukup berendam di air deras, bisa menepi, lalu membuka tas plastik itu, dipakailah pakaiannya kembali.
Tas plastik itu kulihat dijual di toko-toko dekat Sungai Rhein. Aku amati, bukan tas plastik layaknya tas kresek plastik yang biasa untuk membungkus beras atau gula di Indonesia.
Tas plastik itu cukup panjang dan dari bahan parasit serta pada ujungnya ada tali melingkar, kemudian setelah pakaian berada di dalam digulung sampai mengecil. Dengan begitu, tak mungkin pakaiannya akan basah walau berada di air.
Sering kulihat orang yang menghanyutkan diri di sungai itu kedua tangannya mendekap tas itu, sementara kakinya bergerak bebas seperti ikan. Tentu saja, pada keadaan bahaya, misal arus sangat deras dan ada putaran bawah air, tas pembungkus pakaian itu bisa dipakai sebagai alat penyelamat pertama seperti pelampung.
Orang yang menghanyutkan diri ke sungai itu tak memakai jaket pengaman layaknya orang snorkling di laut melihat ikan warna-warni. Jadi memang tak hanya orang yang pintar renang berani hanyutkan diri di sungai deras. Tapi orang yang punya nyali dan kelebihan berenang dari rata-rata.
Berenang hanya di musim panas, diakui UNESCO
Sejauh yang saya saksikan, tradisi menceburkan diri di sungai besar itu hanya dilakukan di musim panas, yakni Juni, Juli dan Agustus. Pada musim itu tubuh manusia yang sudah lama dihinggapi 4 musim, terasa gerah.
Tak hanya danau yang diserbu orang berendam, tapi juga sungai. Pada bulan Mei ini, masih musim semi, dimana bunga bermekaran bersamaan dengan itu, salju-salju di gunung mulai mencair dan mengalir ke dataran rendah berujung ke sungai.
Ini bukan negeri tropis antara suhu udara dan suhu air tak jauh berbeda. Di sini suhu udara bisa hangat, di air masih dingin.
Di zaman Nazi di Jerman ada sebuah ucapan Hitler yang kebanyakan orang Swiss ingat. Ketika Hitler bertemu Mussolini di Italia, ada yang bertanya kepada Hitler, “Kapan Swiss akan kita serang?” Hitler kala itu menjawab, “Swiss itu negeri landak kecil, nanti kita serang dalam perjalanan pulang saja.” (Die Schweiz das kleine Stachelschwein, nehmen wir auf dem Rückweg ein).
Sebagai negara mirip landak kecil ini menurut gambaran Hitler, memang benar. Sulit diserang musuh, karena negerinya tidak datar. Di Swiss berderet pegunungan Alpen, puncak Dufour di Wallis yang tertinggi sampai 4634 meter di atas permukaan laut. Salju abadi ada di beberapa tempat.
Ada semacam anekdot, jika air di sungai Swiss diracun, maka efeknya akan lebih banyak, karena sungainya menjalar sampai ke Jerman dan Prancis hingga bermuara ke Belanda. Untungnya Hitler lupa dengan ucapannya sendiri untuk menumpas Swiss.
Pramoedya Ananta Toer ketika membacakan karyanya di Literatur Haus di Zürich pada awal Juni 2002 membuka dengan ucapan, “Pada waktu saya datang, saya geleng-geleng kepala. Semuanya hijau, air-air bersih tanpa sampah, jalan-jalan dengan lalu lintas yang rapi. Semua saya rasakan menyenangkan di Swiss. Untuk itu, saya hormat kepada yang membuat suasana seperti itu, tidak pernah di impian, melihat negeri seperti ini. Terima kasih atas undangan dan seluruh rakyat Swiss.”
Kembali ke musibah yang dialami Emmeril Kahn Mumtadz, putra Ridwan Kamil pada hari Kamis, 27 Mei 2022, saya membaca lagi di grup Whatsapp Indonesia Swiss Club ada postingan seorang teman tentang sebuah penjelasan dari KBRI di Bern dalam 5 poin. Intinya pihak kepolisian dan tim penyelamat kecelakaan belum mendapatkan hasil.
Warga Indonesia yang berada di Swiss sampai kini sekitar 3.000 orang dan mereka rata-rata menikah dengan warga Swiss. Sekitar 300 di antaranya adalah mahasiswa. Mereka kebanyakan belajar di bidang pariwisata. Meskipun juga banyak yang belajar teknologi.
Salah satunya Damar Canggih Wicaksono, putra Dono Warkop ini telah menamatkan program doktoral pada ETH Zürich tahun 2018 jurusan Teknik Nuklir. Bisa dipahami bahwa putra Ridwan Kamil itu juga hendak melanjutkan study di Swiss.
Claudia Beck, warga Swiss menuturkan pernah mengalami musibah di Dream Land, pantai Uluwatu, Bali. Pantainya berpasir putih bersih, gelombang indah, ternyata ketika ia sudah berenang tak bisa kembali ke pantai, karena datang arus di bawah air yang kuat. Sehingga ia tak bisa kembali lagi.
Untungnya ia melambaikan tangan berkali-kali dan petugas Save Guard melihat, langsung turun dari kursi pengintai yang tinggi dan memberikan papan selancar. Lewat bantuan penjaga pantai itu dia bisa diselamatkan.
Menurutnya sungai Aare atau sungai-sungai lain di Swiss dikenal memiliki semacam arus berputar di bawahnya. Jika orang tak mahir betul berenang, jangan coba-coba. Media lokal banyak mewartakan kisah orang tenggelam dan sebagian besar orang asing. Dimungkinkan mereka tidak memahami karakter sungai di Swiss yang tentu berbeda dengan sungai di negeri mereka.
Sungai Aare memang dikenal sangat panjang membelah kota-kota. Adapun cikal bakal sungai Aare ini dari sebuah sungai kecil tapi curam bernama Aareschlucht.
Kemajuan pariwisata Swiss sangat mutakhir. Tak hanya gunung-gunung didirikan kereta gantung, namun di Sungai Aareschlucht yang berupa himpitan tebing curam, lebar dua tebing sekitar satu meter dipasang jalan setapak dari papan. Tak banyak turis asing ke tempat ini.
Saya sudah tiga kali menapaki jalan papan di atas tebing curam berkelok-kelok dan ada beberapa gua. Perasaan ngeri, di bawah sungai kecil namun suasana sunyi alami.
Hari ini cuaca di Swiss cerah dengan suhu udara sekitar 22 derajat. Semoga pencarian pihak kepolisian dan tim penyelamat lokal mendapatkan hasil yang gemilang.
Reporter: Sigit Susanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Melepas Kepergian Buya dan liputan menarik lainnya di Susul.