Mereka sudah berjualan di Malioboro bertahun-tahun, bahkan ada yang puluhan tahun. Pedagang yang jadi nadi keramaian pusat Kota Yogya itu akhirnya manut untuk menempati lokasi yang disiapkan pemerintah.
***
Selasa, 1/2/2022, akhirnya mereka mulai pindah. Pedagang yang lapak jualannya membelakangi toko yang tergabung dalam Paguyuban Pengrajin, Pelukis, Pedagang Kaki Lima Malioboro-Ahmad Yani (Pemalni) pindah ke Teras Malioboro 1. Lokasinya berada di seberang Pasar Beringharjo. Gedung Teras Malioboro 1 dulunya bekas gedung Bioskop Indra.
Sedangkan PKL yang lapak jualannya menghadap toko dan tergabung dalam Paguyuban Tri Darma pindah ke Teras Malioboro 2 yang lokasinya di antara Inna Garuda dan gedung DPRD. Gedung Teras Malioboro 2 dulunya bekas kantor Dinas Pariwisata Provinsi Yogyakarta.
Menjelang kepindahan mereka, saya melakukan semacam ritual napak tilas selama tiga hari berturut-turut. Sejak Sabtu (29/1/2022), hingga hari Senin (31/1/2022), saya berjalan kaki secara lamban, melihat suasana dan aktivitas PKL, sambil mengingat kenangan pada setiap tempat yang saya lewati.
Dulu saya pernah berada di sini antara tahun 1994-2003. Saya pernah menjadi PKL seperti mereka. Bedanya, saya tidak punya tempat tetap. Saya menggelar dagangan berupa kerajinan tulang khas suku Indian seperti kalung, gelang, dan ikat rambut bulu di sekitaran toko kaset Kota Mas, seberang Inna Garuda.
Walaupun saya sudah tidak menjadi pedagang lagi, namun entah kenapa, selama tiga hari menjelang kepindahan mereka, muncul keinginan yang sangat kuat dari dalam hati saya untuk selalu datang ke Malioboro sampai hari H mereka pindah di tempatnya yang baru.
Saya berjalan kaki mulai dari parkiran Abu Bakar Ali hingga seberang pintu masuk gedung Teras Malioboro 1. Lalu balik lagi ke utara, berjalan kaki di sisi sebelah timur dari depan Pasar Beringharjo menuju ke utara.
Selama tiga hari itu saya menemui teman-teman lama yang masih tersisa. Berbincang banyak hal, serta memberi semangat. Saya turut merasakan betapa hati mereka resah karena harus berpisah meninggalkan trotoar jalan yang sudah puluhan tahun menjadi tempat mereka mencari makan.
Saya memotret aktivitas mereka sesuai arah cahaya matahari. Pagi hari saya memotret di trotoar sisi barat, saat mereka mulai membuka lapak jualannya. Lalu sorenya, saya memotret di trotoar sisi timur. Sore, biasanya suasana trotoar mulai ramai pengunjung, dan arah cahaya matahari menerpa dari barat. Jika bertemu pedagang yang saya ingat wajahnya, saya menghampiri untuk bertegur sapa.
Kenangan berkesenian di Malioboro
Beberapa tempat yang saya lalui di sepanjang Jalan Malioboro membangkitkan kembali kenangan lama. Di depan Toko Koo Hi Nor, misalnya, dulu kalau malam menjadi tempat berkumpulnya pelaku seni yang berkarya di Malioboro. Mulai dari musisi jalanan, pelukis wajah, hingga PKL yang tergabung dalam kelompok teater bernama Komunitas Angkringan. Anggotanya orang-orang Malioboro. Ada pedagang seperti saya, ada juga pelukis wajah, juga ada musisi jalanan seperti anggota KPJ Malioboro. Kami bertemu malam hari usai aktivitas berdagang kelar pukul 21.00 wib. Karena setelah itu, trotoar berganti lapak menjadi pedagang lesehan kuliner.
Saat lalu lintas mulai sepi, trotoar depan Toko Koo Hi Nor menjadi tempat kami berlatih, reading naskah, dan berlatih bloking pemanggungan. Biasanya kami berlatih mulai di atas pukul 23.00 wib sampai menjelang azan subuh. Sering kali tentu sambil mabuk usai menenggak ciu rasa moka di Pajeksan. Jika tidak berlatih teater, biasanya salah satu di antara kami ada yang membaca puisi.
Pada jam-jam tertentu malam hari, biasanya ada patroli CPM mengendarai jip putih terbuka berpenumpang 4 aparat berhelm putih melewati Malioboro. Kadang kalau mereka sedang iseng, jip putih anggota CPM itu berhenti sejenak, dan bertanya: “Sedang apa ini?”
Kami nyaris berbarengan menjawab, “Berkesenian, Pak.”
Lalu jip putih itu berlalu begitu saja. Karena sebenarnya mereka sudah tahu apa yang kami lakukan setiap malam di depan Toko Koo Hi Nor seberang Hotel Mutiara. Aih, mungkin saja mereka dulu itu sedang iseng, batin saya.
Ketika lapar usai berkesenian, biasanya kami makan di Gudeg Yu Siyem. Atau jalan ke utara di seberang gedung DPRD karena ada angkringan pikulan Lek Man.
Dulu, aktivitas berkesenian begitu hidup di sepanjang jalan Malioboro. Ada KPJ Malioboro, ada kelompok Girli, ada juga kelompok reggae Mas Anies Saichu dan kawan-kawan. Ada juga Komunitas musik Malioboro Classical yang biasa mangkal di depan Malioboro Mall.
Saya dan Komunitas Angkringan juga pernah ikut tampil satu panggung bersama-sama mereka saat ada acara pentas musik anak jalanan Malioboro di Benteng Vrederberg. Usai pementasan itu, beberapa hari kemudian Komunitas Angkringan Malioboro diundang oleh sebuah lembaga untuk pentas ke luar kota seperti di FSRD ITB Bandung. Lalu pernah pula pentas di Japan Foundation Jakarta.
Namun, pada hari Senin sore kemarin 31 Januari 2022, saat saya berdiri di seberang Hotel Mutiara, tak ada seorang pun penghuni Malioboro yang saya kenal. Mungkin mereka masih keluar malam, pikir saya. Karena saya tidak pernah lagi ke Malioboro larut malam sejak tidak lagi menjadi PKL.
Selamatan perpisahan, dipisahkan karena undian
Saya berjalan lagi ke utara menyisir sisi timur pertokoan. Saya menyeberangi jalan menuju depan Toko Batik Adiningrat. Di depannya, beberapa orang telah menggelar tikar. Di atas hamparan tikar itu ada beberapa piring anyaman bambu, juga ada termos nasi besar berwarna merah. Di sebelahnya satu wadah berisi lauk ayam goreng, dan satu lagi sebaskom sayur santan. Pengunjung Malioboro yang lalu-lalang melewati tempat itu berjalan menepi karena ada gelaran tikar yang di atasnya terdapat beberapa piring anyaman bambu.
“Welah, ana mangan-mangan iki,” kata saya, sambil berjalan mendekati bangku kayu yang ada di trotoar.
“Selametan perpisahan, Mas. Sesok ‘kan wis pisah. Mrene melu madang,” kata Priyono, PKL depan Toko Dewata.
Saya duduk di kursi plastik depan Toko Dewata. Di sebelah saya, Mbah Rubinem, 70 tahun, duduk di bangku kayu. Senyumannya tak bisa menutupi kesedihannya. Wajahnya muram walaupun sesekali dipaksakan tersenyum dan tertawa saat ikut bercengkerama dengan teman-temannya yang duduk di tikar.
Di sebelah lapak jualan Mbah Rubinem, ada lapak jualan milik Agus (56), di depan Toko Batik Adiningrat.
Mbah Rubinem lupa tahun berapa pertama kali berdagang di trotoar Jalan Malioboro. Namun, yang masih dia ingat, Priyono, anaknya yang pertama saat itu masih kelas 4 Sekolah Dasar.
“Sekarang saya sudah 54 tahun, Mas,” kata Priyono. “Sudah punya anak dua. Bungsu saya masih kuliah. Sedangkan yang sulung sudah memberi cucu,” kata Priyono sambil tertawa.
Suami Mbah Rubinem berasal dari Semanu, Gunungkidul. Meninggal 10 tahun yang lalu.
“Nek 42 tahun ya ana, Mas,” kata Mbah Rubinem saat saya minta mengingat pertama kali membuka lapak jualan di Malioboro.
“Disek ki rung ana apa-apa. Iseh sepi. Le dasaran ya iseh ngampar tiker,” kata Mbah Rubinem.
Sore itu suasana depan Toko Adiningrat dan Toko Dewata terlihat meriah namun juga penuh haru. Dari bangku tempat saya duduk, wajah-wajah resah tak bisa disembunyikan. Mereka terkadang tertawa menghibur diri. Karena Selasa keesokan harinya mereka harus berpisah dan tidak bisa berdampingan lagi.
“Mas, makan,” kata Ipah, istrinya Agus, menawari saya makan. Namun, saya menolak dengan halus dengan alasan baru saja makan dan ngopi di angkringan.
Hari menjelang magrib. Ipah kemudian melangkah mendekati Mbah Rubinem yang duduk di sebelah saya. Ipah menjabat tangan Mbah Rubinem, berpamitan sambil memohon maaf jika ada kesalahan karena esok lapak mereka berdua berjauhan. Air mata Mbah Rubinem tumpah. Dia menangis tersedu. Priyono, anak mbah Rubinem ikut mendekat. Menenangkan.
“Sesok kowe aja lali ya karo aku,” kata Mbah Rubinem sambil tersedu memeluk Ipah.
Saya memotret adegan ini beberapa jepretan. Saya memaklumi jika Mbah Rubinem begitu sedih.
“Wong kene kuwi wis kaya sedulur dewe, Mas,” kata Mbah Rubinem pada saya saat tangisnya mulai reda.
Agus ikut mendekat. Wajahnya paling kentara jika hatinya tengah resah.
“Tidak ada orang yang rela meninggalkan Malioboro karena ini sawah-ladang yang subur untuk kami mencari rejeki, Mas. Kami sebenarnya berat hati dipindahkan. Tapi mau bagaimana lagi. Kami hanya manut dan pasrah saja,” kata lelaki asal Sumatra Barat ini.
Agus pertama kali berjualan tahun 1987 di Malioboro. Awalnya, dia merantau dari nagarinya ke Bandung. Namun, di Bandung, Agus hanya bertahan selama 2 bulan. Lalu pergi ke Jogja, lalu menikah dengan Ipah.
Azan magrib terdengar dari Masjid Siti Djirqanah Malioboro. Mbah Rubinem pamit untuk salat. Agus juga pamit membereskan tikar dan alat makan di trotoar. Semua orang berpamitan untuk ke masjid. Tinggal Priyono seorang yang menjaga lapak. Esok hari, lapak jualan Priyono dan Mbah Rubinem juga berjauhan di Teras Malioboro 2. Priyono mendapat lapak di blok S6 sedangkan Mbah Rubinem blok D11.
Sedangkan istri Priyono yang juga PKL Pemalni pindah di Teras Malioboro 1 di Selatan. Mereka sekeluarga dipisahkan oleh undian. Pemindahan PKL Malioboro telah memisahkan kedekatan pertemanan yang telah menjadi keluarga. Pertemanan itu terjalin puluhan tahun.
Saya berpamitan pada Priyono melanjutkan langkah ke utara. Sesampai di seberang Inna Garuda, saya berhenti sejenak di depan Toko Corona yang sekarang berubah menjadi toko batik. Dulu toko ini merupakan studio foto, tempat menjual kamera dan mencetak roll film. Saya punya kenangan indah di sini. Karena dulu saya sering mencetak roll film zaman masih memotret dengan kamera analog. Salah satu pekerja studionya kelak menjadi ibu yang melahirkan kedua anak saya.
Pedagang pertama yang laku di Teras Malioboro
Selasa 1/2/2022, saya sudah berada di Teras Malioboro 2. Belum banyak pedagang yang pindah ke sini. Beberapa pedagang masih ada yang hanya duduk-duduk membicarakan keberadaan lapak dagangannya. Ada juga yang tengah menggerinda dudukan meja. Karena ukuran lapak di tempat ini berbeda dengan meja yang biasa mereka pakai saat berjualan di Malioboro. Ada juga yang masih mendorong gerobak berisi pakaian memasuki tempatnya yang baru.
Setiap pedagang mendapat jatah lapak berukuran 120 x 130 cm. Sedangkan lapak di selasar yang beratap transparan mendapat jatah lapak berukuran 180 x 100 cm.
Saya mendekati Wawan yang tengah menata dagangannya berupa baju batik di selasar bagian tengah Teras Malioboro 2. Sebelum pindah, Wawan (32), berjualan di depan Kimia Farma. Wawan adalah anak ketiga Pak Panut dari Sentolo. Salah satu orang lama yang berjualan di Malioboro setelah Mbah Rubinem.
Pak Panut seangkatan dengan Pak Hendro yang lapaknya juga berada di sekitaran Kimia Farma. Wawan, adik dari Sunarti yang juga punya lapak jualan di depan KF Malioboro. Sedangkan ibu mereka berdua juga punya lapak jualan di seberang Hotel Mutiara. Berkah menjadi PKL Malioboro, Pak Panut dan istrinya bisa berangkat ke Mekah untuk beribadah haji. Pak Panut sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Lapak jualannya diteruskan oleh Wawan.
Sejak kecil Wawan sudah diajak ke Malioboro oleh bapaknya setelah pulang sekolah. Dia ikut membantu berjualan. Dia masih ingat bahwa dulu itu semuanya serba mudah. Pedagang masih bisa parkir di belakang lapak tempatnya berjualan. Jika lapar, tersedia angkringan yang juga sangat dekat.
“Ning disek ya iseh akeh razia Satpol PP to, Mas. kata Wawan, kami lalu tertawa mengenang masa razia dulu.
“Klambi daganganku tau ya disita merga keduwuran le gantungke hanger,” katanya lagi.
Saat kami tengah asyik ngobrol, dua orang pengunjung menghampiri lapak Wawan, dan membeli sepasang baju batik. Beberapa pedagang yang melihat peristiwa itu kemudian merubungi Wawan sambil mengucapkan selamat karena mendapatkan keberuntungan pemula.
Rezeki memang sudah punya jalannya sendiri. Siapa yang menyangka jika di tempatnya yang baru, Wawan menjadi orang pertama yang dagangannya laku di Teras Malioboro.
“Saya niatkan ibadah, Mas. Makanya saat santer berita pemindahan PKL saya diam saja. Pasrah. Karena meskipun menolak kita tidak bisa melakukan apa-apa. Lebih baik manut. Menerima saja apa yang sudah digariskan. Tentu dengan niatan ibadah. Ibadah mencari nafkah,” kata Wawan.
Kini memang semuanya telah berubah. Wawan mendapat tempat di blok F selasar Teras Malioboro 2. Sunarti, Mbakyunya, mendapat lapak di blok S. Sedangkan ibunya mendapat tempat di blok C.
Hidup memang selalu berubah. Dan perubahan itu telah saya catat dan saya rekam melalui kamera foto agar kelak bisa menjadi kenangan bagi mereka yang datang ke Yogyakarta bahwa dulu di sebatang jalan ini, ada orang-orang hebat yang menjadikan Malioboro begitu khas dan ikonik hingga mendunia bernama Pedagang Kaki Lima.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menelusuri Sejarah Klenteng Tien Kok Sie yang Lekat dengan Keraton Surakarta dan liputan menarik lainnya di Susul.