Ngabuburit di Bangunan Tua Tempat ‘Perempuan Tanah Jahanam’

Saksi kejayaan pabrik kopra di tahun '60-an

Bangunan utama Rumah Lemahbangdewo yang digunakan syuting Perempuan Tanah Jahanam tampak depan. (Fareh Hariyanto/Mojokco)

Gara-gara film Perempuan Tanah Jahanam, bangunan tua di Banyuwangi ini jadi jujugan banyak orang. Saat Ramadan seperti sekarang ini, malah jadi tempat ngabuburit. 

***

Sore itu waktu di gawai saya menunjukan pukul 14.34 Wib, saya bersama Sakha Octoya Prasetya dan Muhammad Ridho Alfarezi memutuskan untuk menelusuri bangunan tua di Desa Lemahbangdewo Kecamatan Rogojampi  Banyuwangi. Sakha sapaan akrab Sakha Octoya Prasetya mengaku sore itu Senin (11/04/2022) merupakan kali ketiga ia berkunjung di lokasi bangunan tua Lemahbangdewo.

Bangunan ini, lanjut Sakha, menjadi lokasi yang sering ditanyakan banyak temannya setelah tahun 2019 film Perempuan Tanah Jahanam mengambil set di salah satu bangunan itu. Maklum lokasi bangunan tersebut hanya berjarak 400 meter dari rumahnya. 

Dia menceritakan, saat penggarapan film tersebut berlangsung, cukup banyak warga yang antusias melihat. Meski lokasi syutingnya waktu itu dijaga cukup ketat.

“Dulunya di pagar bangunan yang bersinggungan dengan perkampungan sempat ada lubang untuk warga bisa masuk ke dalam. Namun, saat ada syuting itu, akses lubang di tembok berlebar 90 cm dengan tinggi 150 cm di tutup oleh penjaganya,” kata remaja berusia 16 tahun itu.

Sakha menjelaskan di areal bangunan Lemahbangdewo, ada empat bangunan besar, dua bangunan berupa rumah bergaya Belanda dengan banyak ornamen kayu yang mendominasi serta dua bangunan lagi menyisakan reruntuhan temboknya saja. Ia mengaku baru menelusuri tiga bangunan yang ada di lokasi tersebut.

Bangunan utama yang digunakan untuk syuting Perempuan Tanah Jahanam menjadi yang paling sering ia kunjungi lantaran kondisinya yang masih utuh. Baginya berkunjung di areal bangunan tua sambil menunggu waktu berbuka puasa menjadi keasyikan tersendiri di bulan Ramadan. 

Bangunan utama dan bangunan samping Rumah Lemahbangdewo yang digunakan syuting Perempuan Tanah Jahanam tampak dari samping.
Bangunan utama dan bangunan samping Rumah Lemahbangdewo yang digunakan syuting Perempuan Tanah Jahanam tampak dari samping. (Fareh Hariyanto/Mojok.co)

“Sejak dulu, sering mencari lokasi bangunan seperti ini, apa lagi di Kecamatan Rogojampi merupakan wilayah yang memiliki banyak peninggalan kolonial Belanda,” ujar remaja kelas 1 SMA  itu.

Jalur berburu kelelawar

Senada dengan Sakha, Ridho sapaan akrab Muhammad Ridho Alfarezi mengakui banyaknya bangunan tua di Kecamatan Rogojampi Banyuwangi menjadikan beragam lokasi jadi jujugan untuk menanti waktu berbuka puasa. Khusus Bangunan Lemahbangdewo, ia mengakui lokasi tersebut merupakan yang paling unik dari banyak bangunan peninggalan kolonial yang ada di Kecamatan Rogojampi.

Menurut Ridho, setiap kunjungannya di Rumah Lemahbangdewo akses jalur yang digunakan untuk menuju bangunan utama, selalu hilang. Jadi, saat datang selalu ia siapkan sabit untuk dapat membuka jalur ke rumah utama. Maklum, lokasi jalur yang digunakan merupakan bekas reruntuhan pagar yang ada di samping barat bangunan. Saat masuk inilah semak belukar dengan ketinggian satu setengah meter yang menutup jalur tersebut akan menyambut.

Sakha Octoya Prasetya saat berada di Rumah Lemahbangdewo Rogojampi. (Fareh Hariyanto/Mojok.co)

“Maklum, tempat bangunan ini tidak ada yang merawat, meski ada penjaganya namun orangnya tidak menetap di sini. Jadi kondisi areal tanahnya memang seluruhnya di selubungi tanaman liar dan rumput ilalang dengan tinggi yang ugal-ugalan,”  terangnya.

Ridho bercerita, akses yang sering ia lalui bersama teman-temannya menuju rumah utama merupakan jalur warga yang biasa mencari kelelawar dan burung di sekitaran wilayah tersebut. Konon, dulunya areal bangunan di Lemahbangdewo merupakan pabrik kopra yang pada masanya jadi tumpuan hidup masyarakat sekitar.

Pada bangunan utama, lanjut Ridho, kondisi bangunannya masih utuh dengan ruang tamu di bagian depan serta lima kamar yang beriringan di sisi kiri dua dan tiga disebelah kanannya. Di tengah kamar itu merupakan jalan menuju bangunan dapur di bagian belakang. Nah, bagian dapur ini pada dinding belakangnya terlihat akar-akar pohon beringin menembus di setiap sudut bangunannya. Konon, faktor ini menjadikan Joko Anwar memilih set rumah Lemahbangdewo sebagai tempat syuting filmnya.

Kondisi jalan penghubung antara ruang utama dengan dapur yang kanan kirinya bejejer ruang kamar. (Fareh Hariyanto/Mojok.co)

Bangunan dapur tersebut jika dirunut akan menyatu dengan beberapa ruangan yang ada di sisi kiri bangunan utama, ada lima ruangan pada bangunan tersebut dua ruangan yang tampak seperti kamar mandi dengan baknya dan kloset khas zaman dulu. Serta ruangan serupa kamar yang tampaknya digunakan sebagai tempat pekerja.

“Saat ke bangunan utama ini, baiknya siapkan masker. Bukan lantaran patuh prokes. Tapi banyaknya kelelawar di atap bangunan utama ini menjadikan aroma kurang sedap menyeruak ketika memasuki ruang utamanya,” kata siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Rogojampi itu.

Ridho menambahkan kondisi bangunan lain yang ada di areal itu, lokasi bekas pabrik yang digunakan untuk produksi kopra. Di sekitaran bangunan itu, terdapat reruntuhan cerobong asap berbahan batu bata yang roboh lantaran termakan usia. Bagian atap pabrik pun juga sudah tidak utuh lagi, hanya menyisakan pilar-pilar penyangga khas bangunan kolonial yang tinggi menjulang berkonsep Romawi.

Tahun ‘60-an jadi tumpuan warga desa mencari nafkah 

Lama menelusuri bangunan tua, tidak terasa waktu berbuka akan segera tiba, kami bertiga bergegas menuju salah satu resto yang ada di Kecamatan Rogojampi untuk menemui narasumber lain berkaitan dengan bangunan ini. Kebetulan sehari sebelum kunjungan, saya sempat meminta untuk bertemu beliau yang kebetulan sedang ada waktu untuk sesi wawancara ini berlangsung.

Petang itu setelah berbuka puasa saya berkesempatan untuk berbincang dengan Bu Asmahwati Binti Thoyib warga di sekitaran lokasi bangunan Lemahbangdewo yang menjadi saksi hidup ketika pabrik tersebut terakhir beroperasi. Ia menceritakan dulunya bangunan pabrik tersebut merupakan pabrik kopra yang dimiliki warga keturunan Tionghoa.

Ia mengenang hingga medio tahun ‘60-an perusahaan ini menjadi tumpuan warga sekitar lokasi untuk bekerja sebagai kuli kopra meski akhirnya bangkrut. Bahkan bekas sisa pembakaran untuk produksi kopra masih bisa di temui di bagian belakang lahan dekat dengan persawahan warga, karena setelah proses produksi sisa pembakaran berupa sekam hitam di tumpuk di areal lahan pabrik tersebut.

“Luasan wilayah pabrik kurang lebih 1,5 hektar,” kata Bu Asmah sambil menerawang ke langit-langit resto yang kami gunakan untuk sesi wawancara ini. Ia mengenang bangunan utama pemilik pabrik yang di tempati keturunan Tionghoa memiliki gaya bangunan indis dengan nuansa klasik eropa perpaduan Jawa. Bagian depan bangunan ia ingat memiliki serambi yang digunakan untuk ruang berkumpul tamu.

Beberapa kusen jendela roboh akibat cuaca, kaca-kaca yang tidak utuh memuat air hujan masuk di areal sekitar dapur belakang rumah utama. (Foto. Fareh Hariyanto/Mojok.co)

Bangunan atap yang mengadopsi arsitektur Jawa ia paling ingat lantaran di bagian atap menggunakan matrial kayu jati yang mendominasi. Sedangkan pada temboknya memanfaatkan material seperti batu alam, batu bata dan clapboard siding.  Pada masa itu bangunan yang ada di sekitaran lokasi Pabrik Kopra ini menjadi yang terbaik di desanya.

Bu Asmah menambahkan berdasarkan cerita kakek buyutnya  kala itu, ada banyak pabrik pengolahan Kopra yang ada di Banyuwangi. Mulai dari yang terbesar di sekitaran Pantai Boom hingga di sekitaran Jalan MT Haryono Kelurahan Tukangkayu Kecamatan Kota Banyuwangi menjadi sepenggal kecil peninggalan pabrik Kopra di Banyuwangi.

“Kopra ini merupakan daging dari buah kelapa dan menjadi bahan baku yang sangat penting untuk membuat berbagai produk turunan kelapa lainnya,” kenangnya.

Menurut Bu Asmah, ia masih ingat proses yang di lakukan di pabrik Lemahbangdewo, mulai dari kopra yang di keringkan. Lalu ekstraksinya akan diambil bagian minyak dan diolah menjadi berbagai jenis produk turunan seperti minyak kelapa mentah, minyak goreng, margarin hingga bio diesel. Mungkin jika dulu pabrik kopra masih tetap ada di Banyuwangi, minyak goreng tidak akan semahal saat ini. Sebab daripada tanaman sawit, tanaman kelapa merupakan yang paling jamak dijumpai di Banyuwangi.

Bu Asmahwati Binti Thoyib saksi sejarah bangunan Lemahbangdewo saat di Temui Mojok.co. (Fareh Hariyanto/Mojok.co)

Lebih lanjut Bu Asmah bercerita bahwa penjaga rumah Lemahbangdewo sebenarya ada. Namun, lantaran areal kebun yang luas, penjaga itu tidak berkewajiban untuk membersihkan lokasi. Jadi tidak heran bila kondisinya sudah di tumbuhi semak belukar. Dia ingat betul saat tahun 2019 dilakukan pembuatan film Perempuan Tanah Jahanam dilokasi tersebut dibersihkan dan sempat dilakukan renovasi pada bangunan utamanya.

Warga sekitar yang dilibatkan saat proses pembersihan dan renovasi itu dilakukan. Bahkan halaman depan rumah utama sempat ditambahkan pagar untuk menambah estetika saat pengambilan gambar. Sayangnya lepas syuting Perempuan Tanah Jahanam di bulan Maret 2019 itu, kondisi bangunan di biarkan terbengkalai hingga akhirnya tidak terawat kembali. “Padahal tempat ini punya cerita panjang berkaitan dengan Rogojampi dan Banyuwangi di masa silam,” pungkasnya.  

 

Reporter: Fareh Hariyanto

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Betapa Enaknya Jadi Penulis Sukses di KaryaKarsa dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version