Tepikota, sebuah rumah dan kebun kecil di barat laut Yogyakarta menawarkan sensasi Makan Bareng dengan menu kuliner Jawa Timur di hari Minggu. Kali ini, Mojok mencicipi nase’ sodu, khas Situbondo.
***
“Mbak-mbak! Sini, Mbak!” suara seorang pria dari sebuah halaman rumah mengagetkan saya yang tengah clingak-clinguk kebingungan di atas motor.
Pagi itu, saya hanya manut dengan Google Maps yang membawa saya pada sebuah alamat di daerah Bejen, Caturharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Nyatanya, aplikasi itu membawa saya pada jalanan kecil di tepi kali. Saya sedang kebingungan di atas jembatan ketika suara itu memanggil.
Nama laki-laki yang memanggil saya itu Febri Indra Laksmana (29), Si Tuan Rumah yang saya tuju. Saya sebelumnya sudah membuat janji untuk mengikuti sebuah kegiatan yang diberi nama Makan Bareng di Tepikota.
Kegiatan ini rutin dilakukan setiap hari Minggu di Tepikota. Sebuah wadah bagi orang-orang yang hendak menikmati asrinya alam pedesaan, sekaligus tempat untuk berkenalan dengan orang-orang baru.
“Nyasar ya tadi, Mbak?” tanya Febri setengah berteriak dari arah dalam rumah joglo kayu. “Monggo, Mbak masuk dulu sambil nunggu yang lain,” sambungnya.
Saya pun melepas sepatu dan menapakkan kaki saya di teras rumah unik tersebut. “Permisi ya, Mas,” kata saya. Febri pun membebaskan saya untuk berkeliling rumah tersebut.
Terlihat sebuah meja panjang yang di atasnya terbentang kain tenun biru tua memanjang. Ada tikar yang telah tergelar mengelilingi meja tersebut.
Ada satu sudut yang terdapat rak-rak buku, tentunya berisi koleksi buku milik Febri dan istrinya, Rofida Amalia (32). Mulai dari buku filsafat, novel, buku seni rupa, hingga koleksi buku tentang arsitektur. Tak heran, Febri memang seorang lulusan pendidikan seni rupa, sedangkan Rofida lulusan arsitektur.
“Saya sambi masak ya, Mbak,” kata Febri. Ia tengah menyiapkan hidangan makan siang untuk Makan Bareng bersama 10 orang lainnya yang akan datang hari itu. “Hari ini tamunya dari berbagai usia, ada yang bapak-bapak dan ibu-ibu, ada juga yang mahasiswa,” ujar Febri sambil mengaduk kuah di dalam panci di atas kompor yang menyala.
Benar, tidak lama kemudian, datang Wikan (49) dan suaminya Farano (47). Keduanya disambut hangat oleh Febri dan Rofida, tentunya saya juga. Sepasang suami istri ini datang dari sisi Sleman sebelah timur, tepatnya dari Kalasan untuk bersantap siang bersama orang-orang baru.
Menyusul rombongan kedua datang. Empat orang mahasiswa Insititut Seni Indonesia (ISI) juga menjadi tamu Makan Bareng edisi siang itu. Ada Lusi (22), Mufida (21), Bilqis (22), dan Syukron (21). Keempatnya merupakan mahasiswa tingkat akhir yang sedang refreshing kabur dari tugas akhir.
Setelah saling berkenalan, hadir sajian pembuka makan siang hari itu. “Ini namanya sumping waluh,” ucap Rofida sembari meletakkan piring berisi makanan berbalut daun pisang. Sekilas bentuknya seperti lemet, tapi ketika dibuka, teksturnya lebih mirip nagasari. Iya, saya langsung main nyaut makanan pembuka tersebut, keburu lapar.
Rofida bertutur, sumping waluh merupakan jajanan pasar khas Bali. “Ini jajan pasar yang sering kami beli buat sarapan waktu masih di Bali,” kata dia. “Ini terbuat dari labu kuning, rasanya manis gurih, aromanya seperti keju,” imbuhnya.
Sebagai teman sumping waluh, Rofida juga menyuguhkan minuman campuran sereh dan jintan, serta minuman campuran daun mint dan bunga telang, ya istilah kerennya infused water lah. Tampak menyegarkan, cocok dengan suasana siang itu yang agak terik.
Sambil menikmati sumping waluh, kami yang duduk mengelilingi meja mulai membuka perbincangan. Mulai dari Wikan dan Farano yang sengaja datang jauh-jauh untuk bersantap siang besama orang-orang yang baru dikenal. “Saya suka dengan yang alam-alam begini, bosan dengan restoran-restoran, mal-mal. Kalau kayak gini kan enak, kekeluargaan,” ungkap Wikan.
Sementara Lusi dan kawan-kawannya datang karena rasa penasaran dengan konsep Makan Bareng di Tepikota yang unik ini. Sama halnya juga saya sendiri, ingin tahu makanan khas Jawa Timur selain soto lamongan, sate madura, bebek madura, dan teman-temannya.
Rasa penasaran kami, perlahan dikupas melalui tuturan Febri seputar Makan Bareng ini. Kata Febri, Makan Bareng ini sudah ada sejak Oktober 2021.
“Tujuan awalnya, ada teman kami yang mau main kemari. Tapi mau ngapain di sini? Akhirnya kami memutuskan untuk mengenalkan makanan Madura dan Situbondo,” ungkap Febri yang memang berdarah Sumenep, Madura tapi lahir dan besar di Situbondo ini.
Ia melanjutkan, dirinya pribadi butuh asupan makanan gurih selama tinggal di Yogyakarta. Lidah Jawa Timurnya masih kerap diguncang rindu makanan bercita rasa gurih, di tengah kuliner Yogyakarta yang cenderung terasa manis.
“Saya butuh sebulan dua tiga kali makan makanan gurih. Akhirnya mau nggak mau saya masak sendiri. Selain itu ide ini juga muncul saat saya ngobrol dengan teman saya di Bogor,” ujar Febri.
Febri terpancing ujaran kawannya itu untuk mengangkat kuliner Jawa Timur atau Madura. “Kebetulan saya juga seneng ngulik tentang makanan lokal di beberapa daerah. Nah, terus teman saya mancing-mancing, Madura itu tidak sekadar sate dan bebek,” tutur Febri.
Ia merasa, banyak kuliner Jawa Timur khususnya Madura yang belum terekspos. Dalam benaknya, para perantau dari Madura masih kurang pede menampilkan kuliner khas selain sate tentunya, untuk jadi produk komoditas warung makan.
Kemudian muncullah hidangan yang dinanti siang itu, nase’ sodu. Pertama kali melihat nase’ sodu, saya langsung terpikir sayur lodeh. Kuliner ini memang sepintas mirip sayur lodeh. Tapi bagaimana rasanya saya belum tahu. Akankah ada kejutan?
Ada dong, ada dua mangkok berisi kondimen berbeda. Mangkok pertama berisi irisan timun, sedangkan mangkok kedua berisi sambal kecambah.
Setelah menyilakan untuk menyantap makan siang, Febri menjelaskan apa nase’ sodu ini. Kuliner ini biasanya, kata Febri terdiri dari ikan laut, labu kuning, dan labu siam. Sebagai pendamping, ada irisan timun dan sambal kecambah yang masih segar.
Tak lupa kerupuk dan tentunya nasi, teman yang bisa berbaur hampir dengan semua jenis makanan di Indonesia. “Sodu sendiri artinya sendok dari daun pisang,” kata Febri.
Penyajian nase’ sodu ini biasanya dengan wadah pincuk daun pisang. “Kenapa dipincuk? Karena sebenarnya nggak berkuah, lebih kental, semacam blendo tapi bumbunya kuning, mirip bumbu lodeh, tapi kaldunya ikan laut,” lanjutnya.
Nase’ sodu, di daerah asalnya diceritakan Febri, disajikan saat ada hajatan renovasi atau membangun rumah. Rofida, istri Febri, pun berbagi pengalaman saat menyantap nase’ sodu langsung di daerah asal kuliner Jawa Timur tersebut, yakni di Asembagus Situbondo.
“Jadi pas makan itu porsinya luar biasa banyak, bisa untuk empat kali makan,” ungkap Rofida. Cara memasaknya menggunakan tungku, di atasnya ada keranjang untuk mengasapi ikan. Serta, soal cita rasa, rasa asam yang ada di nase’ sodu menggunakan belimbing wuluh atau tomat keriting.
Acara makan siang itu pun kemudian dihiasi dengan saling bertukar cerita tentang kuliner. Piring dan sendok beradu, suara renyah kerupuk dikunyah, dan tegukan air di tenggorokan.
Hingga saat semua telah selesai bersantap, Febri menyampaikan tiap menu yang disajikan di Makan Bareng berbeda-beda. Lebih dari 22 menu masakan telah disajikan di sesi Makan Bareng selama 22 hari Minggu sejak Makan Bareng pertama diadakan.
Febri dan Rofida mengaku masih terus mengulik kuliner Jawa Timur dan Madura lainnya untuk disajikan. Rupanya kebiasaan ini adalah bawaan dari saat keduanya bekerja di sebuah studio arsitek. Di studio tersebut kerap mendokumentasikan pangan lokal.
“Studio itu semacam memberikan ideologi pada kami, yuk makan pangan lokal, tidak makan makanan berkemasan, kemudian dari sumber terdekat, dan serba alami. Dari sana lah terbawa sampai saat ini,” kata mereka.
Febri juga punya semangat tersendiri soal kuliner daerah yang dia usung. “Orang Madura menjelajah segala tempat, rasanya pun juga menjajah. Tapi mereka hanya memunculkan sate dan bebek, atau soto meskipun jarang, maka ini yang kami coba kenalkan,” tuturnya.
Febri dan Rofida terbuka bagi siapa saja yang hendak berkunjung ke Tepikota. Ingin sekadar bersilaturahmi, menikmati alam pedesaan di kebun sekeliling Tepikota, atau menyantap kuliner khas yang mereka sajikan.
Biasanya orang-orang yang datang berkunjung ke Tepikota telah membuat janji terlebih dahulu, mengingat kondisi pandemi yang masih belum bisa diprediksi kapan berakhir. “Kami jalani seperti ini saja dulu, karena masih pandemi. Silakan datang,” ucap Febri.
Untuk menikmati nase’ sodu saya cukup mengeluarkan biaya Rp30 ribu. Harga ini sangat terjangkau. Apalagi setelah menikmati nase’ sodu, saya dan tamu lainnya diajak berkeliling kebun di sekitar rumah joglo Tepikota. Kami menghabiskan waktu hingga sore hari berbincang tentang berbagai hal di tengah kebun. Menjadi tipikal liburan tipis yang menyenangkan bagi saya pribadi di Tepikota.
Reporter: Amalia Nurul Fathonaty
Editor: Agung Purwandono