Warung Mie Ayam Pak Pendek di Lapangan Karang Kotagede memang sudah melegenda. Sejak tahun 2000 warung ini konsisten dengan cita rasanya. Namun, siapa sangka di balik kesuksesannya selama ini ada cerita salah tulis nama di spanduk warung yang akhirnya bawa ‘hoki’ tersendiri.
***
Kamis (26/5/2022), Kota Jogja diguyur hujan tanpa henti sedari pagi. Cuacanya dingin. Rasanya pas untuk menikmati segelas teh panas dan semangkuk mie dengan kuah yang pedas. Membayangkannya saja bikin air liur meleleh.
Demi memenuhi keinginan makan mie yang menggelora. Siang itu saya lansung tancap gas menembus hujan menuju Lapangan Karang Kotagede. Lapangan sepakbola ini sekarang sudah ciamik betul. bisa lah buat latihan sekelas timnas. Soal booking-nya bagaimana saya kurang paham hehe. Eh, tapi saya nggak bakal bahas soal sepakbola.
Tepat di sebelah barat lapangan tersebut bisa ditemui warung mie ayam favorit warga Kotagede dan sekitarnya. Warung mie ayam ini sudah masuk dalam kategori legendaris. Namanya Warung Mie Ayam Pak Pendek.
Warungnya sederhana. Hanya bertenda biru dengan spanduk hijau bertuliskan ‘Mie Ayam Pak Pendek Sejak 1987’. Ada 2 meja dengan kursi yang sama panjangnya di dalam. Kalau mau lesehan juga bisa. Ada gazebo kecil di sampingnya.
Saya memesan mie ayam dan teh tawar panas. Intensitas hujan sudah menurun, namun hawa dinginnya makin mendekap erat. Suasana syahdu yang justru makin mendatangkan banyak pelanggan.
Sekitar 10 menit mie ayam panas sudah tersaji di depan saya. Kepulan asap putihnya begitu kontras dengan suasana mendung. Mie dan potongan ayammya begitu menggoda. Sejenak saya menikmati detail semangkuk Mie Ayam Pak Pendek yang sederhana ini.
topping-nya menggunakan ayam suwir. Gaya mie ayam Wonogiri memang seringkali menggunakan ayam suwir atau potong dadu. Ukuran mie-nya kecil namun porsinya lumayan banyak.
Warna kuahnya coklat keemasan. Taburan daun bawang berada di sisinya. “Mana sawinya?” batin saya. Namun ini langsung terjawab ketika bagian bawah mie di-unboxing.
Seperti biasa, yang pertama saya coba adalah kuahnya. Gurih dengan asin yang pas. Rasanya memanjakan lidah. Enak! sekujur tubuh serasa tersengat dengan kuahnya yang masih panas.
Kini tugas sumpit untuk menggulung mie dan mengarahkannya ke mulut. Duh, mie kecilnya begitu lembut dan aldente. Nyaman sekali ketika digigit. Soal ayamnya saya tak pernah ragu dengan ayam suwir. Pasti juara. Ternyata benar. Ayam suwirnya berpadu manis dengan gurihnya kuah dan lembutnya mie.
Sepuluh menit menunggu, sepuluh menit pula tandas. Cukup cepat mie saya habiskan. Takut kehangatannya terenggut dinginnya hujan.
Rezeki dari salah tulis nama
“Kalau mau ketemu bapak, bisa langsung ke rumah di Pringgolayan, Mas. Di sana juga buka warung.” Jawab pria yang siang itu bertugas ketika saya mau membayar dan ingin bertemu sang empunya.
Pria tersebut tak lain adalah menantu Pak Pendek. Beliau kemudian bilang bapak bisa ditemui Jumat (27/5/2022) sore. Saya menyetujuinya. Namun, sangat disayangkan, saya mendadak ada halangan di hari itu. Dan saya juga lupa minta nomor kontaknya. Hadeuh..
Sabtu (28/5/2022) sore akhirnya saya putuskan sowan ke Pringgolayan. Untungnya Pak Pendek ada. Ia menyapa saya dengan hangat. “Wah kemarin saya tunggu je, Mas. Monggo silakan-silakan.”
Saya duduk, meminta maaf, dan menjelaskan bahwa simbah saya kemarin sedang sakit sehingga harus menemaninya. Pak Pendek memaklumi. Perbincangan pun mengalir di warungnya.
“Saya mulai jualan di Lapangan Karang itu tahun 2000,” ucapnya.
Agak kaget, saya lantas menyela. “Lha kok di spanduk tulisannya 1987, Pak?!”
“Jadi 1987 itu awal mula saya membantu warung mie ayam di Jakarta. Merantau ke sana sejak usia 16 tahun. Aslinya ya dari Wonogiri. Kemudian sekitar tahun ’90-an saya pindah ke Magelang. Nggak berselang lama pindah ke Minggir (Sleman). Itu saya hanya bantu jualan mie ayam.”
“Nah baru pada tahun 2000 saya putuskan pindah ke sini, Kotagede. Awalnya nggak langsung di Lapangan Karang. Sekitar 2 tahunan jualan keliling. Ya maklum, waktu itu nggak ada modal buat bikin warung. Jadi keliling dulu,” ungkap Pak Pendek.
Setelah itu ia memutuskan untuk menetap dan membuka warung di Lapangan Karang. Tepatnya di sisi barat. Posisinya tidak berubah dari dulu hingga sekarang.
“Nah saat itu soal nama saya ingin yang beda. Nama asli saya kan Marino. Tetapi saya pengin nama warung saya ‘Mie Ayam Pak Pendik’. Eh lha kok pas dicetak ternyata salah jadi ‘Mie Ayam Pak Pendek’. Ya sudah. Saya terima saja, barangkali malah jadi nasib baik. Eh ternyata bisa bertahan sampai sekarang,” papar Pak Pendek dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Bogem mentah dan mie hancur
Selayaknya persaingan di dunia usaha, ada saja aksi licik dari para kompetitor. Pak Pendek pun pernah merasakan hal itu.
“Saat masih jualan di Minggir, itu kan juga jualan keliling. Saya pernah dipukul ketika keliling. Dapat bogem mentah pas di muka. Ya biasa, persaingan saat itu ternyata tidak membolehkan saya sembarang keliling jualan. Tapi ya nggak apa-apa.”
“Ketika jualan di Kotagede, juga ada ‘gangguan’ dari yang merasa tersaingi. Saya kan untuk mie produksi sendiri. Sempat, selama 2 minggu, tiap kali membuat mie, mienya hancur,” ucap Pak Pendek.
“Padahal bahan, metode, tidak ada yang saya ubah. Kalau dibilang karena pengalaman, lha saya ini udah bikin mie sejak lama. Sudah hafal luar dalam. Maka ya tinggal percaya nggak percaya aja dengan ‘gangguan’ seperti itu. Pernah juga mie sudah jadi, masih fresh, nggak berselang lama langsung berbau tengik.”
Menanggapi ‘gangguan’ semacam itu, ia tak ambil pusing. Baginya yang penting semuanya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Ia tetap teguh pendirian bahwa berjualan untuk memenuhi hajat hidup keluarganya. Caranya jujur dan halal. Kalaupun ada yang usil, ia hanya berdoa agar diberi jalan terbaik.
“Dalam dunia jualan kayak gini itu biasa. Jadi ya saya yang penting ibadah, berjuang dan bekerja sebagaimana mestinya saja. Tidak perlu merugikan orang lain. Lagian hidup kalau tidak diserahkan kepada Yang Kuasa, memangnya mau bagaimana lagi?”
‘Utang itu jangan dipikir, tapi dibayar’
“Awal buka di Lapangan Karang sempat bangkrut. Pendapatan tidak nutup. Akhirnya 3,5 bulan saya ke mana-mana, sampai Jawa Timur, cari utangan agar bisa berjualan kembali. Sampai akhirnya saya dapat dan alhamdulillah bisa melanjutkan usaha.”
Bagi Pak Pendek berutang merupakan hal yang wajar dilakukan dalam dunia usaha. Utang dilakukan biasanya untuk meningkatkan usaha agar bisa lebih maju. Warungnya bisa berkembang seperti sekarang juga karena ada bantuan utang.
Apalagi pada tahun 2006 Pak Pendek terkena dampak gempa bumi yang melanda Jogja. Alat pembuat mie-nya hancur tertimpa reruntuhan. Pak Pendek memutuskan mengajukan utang ke bank agar bisa membeli alat yang lebih baik dan bisa mengembangkan usahanya.
“Hasilnya ya seperti sekarang ini bisa dilihat. Ya Alhamdulillah. Prinsip saya, ya meski berutang, harus tetap percaya diri. Tetap giat bekerja dan bertanggung jawab. Dalam artian ya tanggung jawab bahwa yang namanya utang itu harus dibayar. Bukan kok malah dipikir terus, ya nggak ada habisnya. Kalau dibayar ya habis,” terang Pak Pendek.
Nggak aneh-aneh
“Saya pokoknya yang penting nggak werna-werna (aneh-aneh), Mas. Jualan ya jualan. Tujuannya untuk mencukupi hidup. Pakai cara yang benar. Tetap memberikan yang terbaik. Kualitas mie ayam saya jaga. Nggak ada perubahan resep. Tepung yang saya pakai juga tetap sama. Soal kualitas saya nggak mau kompromi,” kata Pak Pendek berbagi rahasia soal keberhasilan warungnya.
Ia bercerita, semenjak awal mula berdagang di Lapangan Karang hingga sekarang, tetap setia memakai supplier yang sama. “Juragan yang men-supply saos, kecap dan lain-lain berkaitan dengan keperluan jualan mie ayam lain ya semenjak saya buka warung nggak pernah ganti.”
Pak Pendek juga mengaku tak keberatan apabila ada yang ingin belajar resep mie ayam racikannya. “Masnya mau tahu resep saya apa saja? Boleh gratis! Orang lain juga misalnya ada yang tertarik dan mau belajar resep mie ayam saya boleh kok. Nggak jadi masalah itu. Malah saya suka berbagi,” ungkapnya sambil tertawa ringan.
Warung Mie Ayam Pak Pendek yang buka di rumah Pringgolayan dilayani oleh Satini (istrinya). Sedangkan warung yang di Lapangan Karang sekarang dipegang menantunya. Pak Pendek sendiri menggawangi cabang di daerah Pathuk, Gunungkidul.
“Yang di Lapangan Karang, meski sekarang dipegang menantu saya, tetap tidak akan saya lepas. Itu awal mula segalanya. Mimpi saya ya kalau bisa yang di Lapangan Karang itu buka 24 jam gitu lho,” ucapnya sembari tertawa.
Obrolan bersama Pak Pendek sore itu terasa hangat. Tak jarang istri Pak Pendek dan pelanggan yang sedang menikmati mie ayam ikut nimbrung. Makin melebar kemana-mana. Saya hanya bisa mengangguk dan kadang melepas tawa. Ah memang, mie ayam itu tak hanya lezat, tetapi bisa membius orang baru untuk langsung akrab dan ngobrol dekat.
Reporter: Oktavolama Akbar Budi Santosa
Editor: Purnawan Setyo Adi
===
Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga Juni 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.