Mie Ayam Om Karman, Filosofi Meja Terisi, dan Semangat Perantau Wonogiri

Warung Mie Ayam Om Karman berawal dari perantau Wonogiri yang ingin hidup sejahtera. Dulu jualannya keliling hingga akhirnya menetap dan membuka cabang. Kuncinya keberhasilannya ada di semangat dalam menjalankan usaha.

***

Para pelanggan memadati setiap sudut warung. Satu meja tersisa di sisi timur. Posisinya pas. Berada di ruang terbuka yang langsung berhadapan dengan hamparan sawah. Saya pesan dua porsi. Satu mie ayam biasa dan satu mie ayam bakso.

Para pegawai bergerak cepat. Tak butuh waktu lama pesanan saya tiba. Sebelum menambahkan sambal maupun pelengkap rasa lainnya, saya cicipi dulu dengan seksama kuahnya. Rasa manis terasa jelas. Namun berpadu dengan bumbu yang sedikit terasa pedas.

Awalnya saya mengira mie ayam ini tak menonjolkan rasa manis. Sebab labelnya mie ayam Wonogiri. Biasanya cenderung gurih ketimbang manis. Meski begitu, seporsi Mie Ayam Om Karman ini tetap cocok di lidah.

Sore itu, Rabu (18/5/2022), saya menikmati Mie Ayam Om Karman bersama seorang teman yang datang dari Surabaya. Ia sedang singgah di Yogyakarta. Ia mengaku lapar dan ingin kulineran. Kebetulan saya punya tugas untuk reportase Mie Ayam Om Karman. Jadilah kami berkendara menuju warung Mie Ayam Om Karman di Jalan Cepit-Tembi, Sewon, Bantul.

Tampak depan Warung Mie Ayam Om Karman 2. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Meski saya belum pernah mencicipi Mie Ayam Om Karman, namun saya tak ragu soal rasanya. Maklum, warung ini adalah rekomendasi @InfoMieAyamYk dan Java Foodie. Dengan segala rasa penasaran, datanglah kami berdua dengan ekspektasi yang tinggi. Setelah mencicipinya memang rasanya mantap. Ekspektasi kami tak meleset.

Oya, ada penampakan lain yang terasa spesial di Warung Mie Ayam Om Karman. Isi mejanya ramai. Mulai dari bakso goreng, daun bawang, hingga sambal. Semuanya tersaji di wadah yang cukup besar. Alih-alih menggunakan wadah bulat kecil seperti umumnya, sambalnya diwadahi toples segi empat yang besar. Daun bawang disajikan di mangkuk sehingga rasanya tak sungkan jika ingin mengambil banyak.

Seporsi Mie ayam Om Karman kami nikmati dengan tambahan bakso goreng yang keras. Tapi jika sudah dicelup-celup ke kuah terasa nikmat sekali. Bakso goreng ini menurut saya menu ‘must try’-nya Mie Ayam Om Karman.

Setelah hidangan mie ayam kami habiskan, kawan saya berujar bahwa mie ayam ini rasanya enak. “Ya memang agak manis, tapi masih bisa ditoleransi,” ujarnya.

Saya sebenarnya ingin berbincang dengan pemilik warung ini, namun pegawai yang bertugas mengatakan bahwa sang juragan berada di cabang kedua di Bantul Kota. Mereka memberikan nomor ponselnya agar saya bisa membuat janji dengan pemilik warung.

Sewa gerobak dan belajar racik mie ayam

Tiga hari berselang, Sabtu (21/5/2022) saya akhirnya berjumpa dengan sang pemilik di warung Mie Ayam dan Bakso Om Karman 2. Letaknya kurang lebih tiga setengah kilometer di selatan cabang pertama. Ia mengajak saya duduk santai di samping warungnya. Lalu menceritakan perjalanan panjang membangun bisnisnya.

Namanya Karman, ia lebih suka disapa dengan panggilan ‘Om’ ketimbang ‘Pak’. Katanya biar terasa muda terus, padahal tahun ini usianya sudah genap setengah abad. “Nah itu juga yang bikin saya menamai warung ini Om Karman,” katanya seraya tertawa ringan.

Karman lahir dan besar di Girimarto, Wonogiri, Jawa Tengah. Daerah yang dikenal dengan gagrak mie ayam yang khas dan telah menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Meski begitu, di keluarga Karman tak ada seorang pun yang punya latar belakang berjualan mie ayam.

Ia merupakan anak terakhir dari enam bersaudara. Semua kakaknya hijrah mengadu nasib ke luar kota, namun tak ada yang menggeluti bisnis mie ayam. “Semua saudara saya yang rantau itu dagangannya macam-macam, ada yang jualan jamu, bakso, tapi bukan mie ayam. Kebanyakan mereka di Jakarta,” ujarnya.

Om Karman sedang membantu menyiapkan seporsi mie. (Hammam Izzudin/Mojok.co

Karman memutuskan merantau ke Bantul pada tahun 1998. Sebelumnya, ia telah menjajal beragam profesi di tanah kelahirannya. Mulai dari kerja di pabrik hingga kuli bangunan. Sampailah pada satu titik di mana ia merasa jenuh. Ia berkesimpulan bahwa dirinya tak akan maju jika tak merantau.

“Awalnya saya tak diizinkan untuk merantau,” ucap Karman. Posisinya sebagai anak terakhir dan semua saudaranya merantau membuat orang tua Karman berharap ia tetap di Wonogiri saja. Namun tekadnya sudah bulat, ia ingin memperbaiki taraf hidupnya.

Modal nekat! ia berangkat ke Yogyakarta membawa istri dan satu anaknya yang saat itu masih berusia dua tahun. Usaha pertama yang ia rintis di perantauan adalah jualan gorengan. “Tapi baru 1-2 bulan jualan hasilnya kurang untuk nutup kebutuhan,” kenangnya.

Sampai suatu ketika teman Karman memberi kabar bahwa ada orang yang menyewakan gerobak sepaket dengan mie untuk orang yang mau jualan keliling. “Saya ingat betul dulu, katanya sehari bayar seribu rupiah untuk sewanya,” ujarnya.

Tak berselang lama, bertepatan dengan hari raya Idul Adha, Karman langsung tancap gas menuju kediaman juragan pemilik gerobak setelah salat Ied. Ia langsung mengutarakan niatnya untuk berdagang mie ayam.

Namun ternyata niat tersebut tak langsung diterima dengan baik oleh sang pemilik gerobak. Sebulan ia menunggu tapi gerobak tak kunjung diantar. Sampai akhirnya ia sambangi kembali rumah pemilik gerobak tersebut. “Pak saya orang rantau dari Wonogiri, ra mungkin ledha-ledhe le dodolan (tidak mungkin malas-malasan jualan),” ujar Karman dengan tawa, mengingat ucapannya dulu pada sang pemilik gerobak.

Ucapan meyakinkan Karman membuat sang pemilik gerobak luluh. Bagi para pemilik gerobak, penyewa yang tidak giat dalam berjualan kerap menjadi momok dalam menjalankan bisnis gerobak paketan. Karman cukup memaklumi kejadian yang pernah ia alami itu.

Mie ayam bakso, bakso goreng, dan daun bawang di Mie Ayam Om Karman. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Setelah gerobak didapat, tak perlu waktu lama bagi Karman belajar meracik bumbu mie ayam. Padahal sebelumnya ia tak punya pengalaman ini. Ia hanya kerap melihat temannya di Wonogiri berjualan mie. Lalu belajar menyajikan mie ayam di sana. “Dulu bisa ya sekadar menyajikan mie ke mangkuk saja, kalau meracik bumbu dan detail lain benar-benar baru belajar otodidak setelah sewa gerobak,” tuturnya.

“Masak itu ada yang bilang tanganan (bakat). Saya coba racik mie ayam itu rasanya enak, tidak kesusahan. Setelah jualan keliling, ternyata para pembeli pun banyak yang suka,” sambungnya.

Salah satu hal penting yang ia perhatikan saat menentukan rasa mie ayam yang hendak ia buat adalah selera para pembeli di tempat ia jualan. Karman ingin buat mie ayam dengan cita rasa manis agar sesuai dengan lidah orang Yogyakarta.

“Kalau saya ngikutin selera Wonogiri ya harusnya dominan gurihnya. Tapi kan saya di sini (Yogyakarta), jadi nyesuaikan tempat juga. Saya tambahkan lada dan jahe agar manisnya pas dan agak pedas sedikit rasanya,” jelas bapak tiga anak ini.

Mie ayam perlahan bisa menyejahterakan keluarga Karman di perantuan. Awalnya ia berjualan keliling, lalu kerap mangkal di daerah Paseban (Bantul) setelah banyak pelanggan yang sering mencarinya. Saat mangkal tak jarang ia disatroni Satpol PP karena dagangannya dibilang membuat macet jalanan.

Sekitar tahun 2006, ia mulai memberanikan diri untuk menyewa warung. Hal ini mengingat mie ayamnya yang semakin banyak diminati pelanggan. Saat akhir-akhir masa mangkal di Paseban, sehari rata-rata ia bisa menghabiskan 25 kilogram mie mentah. Jika dikira-kira, itu berarti 200-an porsi ludes dalam sehari.

Filosofi meja terisi

Setelah punya warung sendiri, Karman ingin dagangannya lebih tertata rapi sesuai keinginannya. Salah satunya dengan meja yang isinya (sajian pendampingnya) banyak. Ada bakso goreng, daun bawang, hingga sambal yang melimpah.

“Saya kalau makan di suatu tempat itu kok rasanya ada yang kurang kalau mejanya sepi ya. Akhirnya saya buat ramai isian meja di warung,” kata Karman. Hal ini sekaligus menjawab rasa penasaran saya mengapa mulai dari sambal hingga daun bawang tersaji dalam jumlah melimpah di setiap mejanya.

Sementara itu. Soal bakso goreng, ada ceritanya sendiri. Awal mulanya Karman tak bikin sendiri, melainkan titipan dari pedagang lain. Tapi lambat laun ia bisa membuat sendiri. Akhirnya Karman tak lagi menerima titipan. Bakso goreng selain jadi pelengkap saat menyantap mie ayam, juga ditujukan untuk camilan para pelanggan saat menunggu hidangan datang.

Selain itu, urusan daun bawang yang kerap jadi kesukaan penggemar mie ayam juga awalnya tak hadir di warung Mie Ayam Om Karman. “Dulunya saya pakai acar, tapi kok kalau sisa itu mesti dibuang. Akhirnya saya pakai daun bawang saja, kalau sisa kan bisa dipakai untuk bumbu ayam,” cetusnya.

Seporsi mie ayam bakso Om Karman. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Kini warung Mie Ayam Om Karman telah memiliki dua cabang. Sehari puluhan kilogram mie tersaji untuk para pelanggan yang datang. Ia juga masih punya rencana untuk menambah cabang lagi. “Ya doakan saja, setahun dua tahun lagi bisa buka cabang baru,” ujarnya.

Karman mengakui bahwa keberhasilannya ini tak bisa dilepaskan dari dukungan keluarga dan sesama perantau dari Wonogiri. “Pokoknya kalau di perantauan, sesama orang Wonogiri itu harus saling dukung. Nggak boleh sikut-sikutan,” tambahnya.

Ia masih sering berjejaring dengan sesama perantau Wonogiri yang mencoba peruntungan di Bantul. Mulai dari arisan hingga belanja bersama di pasar. Hal-hal sederhana yang tetap bisa mempertahankan relasi.

Karman yang berangkat ke tanah rantau dengan modal semangat membuktikan bahwa ia bisa sukses dengan kerja keras. Setelah mulai bisa menata hidup, ia mulai mengajak saudara-saudaranya untuk ikut berjualan mie ayam di sekitar Bantul. “Tapi saudara pada belum bisa,” ujarnya.

Meski begitu, Karman sudah bisa mengajak beberapa warga kampungnya untuk bekerja di perantauan. Terhitung, saat tulisan ini dibuat ada tiga belas karyawan yang bertugas di dua cabang Mie Ayam Om Karman dan semuanya berasal dari Wonogiri.

“Saya cari karyawan orang Wonogiri, karena semangat kerja tinggi. Sama-sama berjuang di tanah rantau,” pungkasnya.

Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi

===

Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga Juni 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.

BACA JUGA Mie Ayam Pak Kliwon, Kesayangan Anak Teladan dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version