Mie Ayam Goreng Mekaton disebut-sebut sebagai pelopor mie ayam goreng pertama di Yogyakarta bahkan Indonesia. Di balik cita rasa dan popularitasnya, bisnis yang dirintis sejak 1996 ini pernah bertahan dari tuduhan pesugihan.
***
Sebelum membahas isu pesugihan yang kerap dikaitkan dengan usaha kuliner tersebut, terlebih dahulu saya cicipi seporsi mie ayam ini. Saya makan di Warung Mie Ayam Goreng Mekaton cabang Cebongan. Mie ayam ini punya tiga cabang dan semuanya ada di Sleman bagian barat. Cabang pertama di dekat pasar Sri Katon (Seyegan), kedua di Cebongan, dan cabang terbarunya ada di dekat pasar Ngijon (Moyudan).
Meski datang di jam makan siang pada Rabu (16/3/2022), saya tak perlu menunggu lama hingga seporsi mie ayam goreng datang dihidangkan. Lengkap dengan segelas es teh untuk menghapus dahaga di siang yang panas.
Siang itu sudut-sudut warung diramaikan pembeli yang silih berganti datang dan pergi. Rombongan keluarga, pasangan muda, para pekerja, dan kalangan lain yang sedang memanfaatkan jam makan siang dengan menyantap seporsi mie ayam.
Penampakan seporsi Mie Ayam Goreng Mekaton benar-benar bikin air liur saya meleleh. Mie dengan ukuran yang terbilang besar dan kenyal dihidangkan dengan tumpukan potongan-potongan daging ayam tanpa tulang. Di sisinya, potongan sawi yang masih nampak segar menutupi hampir separuh sajian mie. Alih-alih menggunakan sawi hijau atau caisim, Mie Ayam Goreng Mekaton dikenal dengan ciri khasnya yang menggunakan sawi putih sebagai pendamping sajian mie.
Rasa gurih kemanis-manisan terasa lekat saat mie meluncur masuk dalam mulut. Tambahan lada bubuk dan sambal yang tersaji di meja akan sedikit mengurangi cita rasa manisnya dan menghadirkan sensasi rasa yang pedas sedap. Sambal yang disediakan di sini juga berbeda dengan sambal di warung mie ayam pada umumnya. Sambalnya merah, pekat, dan padat. Dikatakan pekat sebab sambal ini telah melalui proses penggorengan.
Anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang sempat mencicipi sajian Mie Ayam Goreng Mekaton suatu ketika pernah memberikan komentar: “Gak perlu dinilai, ini rasanya enak banget. Harus coba,” tulisnya dalam sebuah postingan yang kini telah dihapus dari Instagramnya tersebut.
Warung ini sebenarnya juga menyediakan versi mie ayam berkuah, namun tentu pembelinya tak sebanyak versi goreng. Mie ayam versi gorenglah yang sudah jadi ciri khas dan membuat warung ini terkenal.
Awal penemuan mie ayam goreng
Satu porsi Mie Ayam Goreng Mekaton tandas saya habiskan. Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke barat sejauh lima kilometer. Tujuan saya tentu saja ingin menemui pemilik warung. Saya kemudian bertemu Arjun (36) anak dari perintis pertama mie ayam goreng, Suharno, di cabang pertama Mie Ayam Goreng Mekaton Seyegan.
Saat itu, kebetulan Suharno sedang sakit sehingga warung cabang Seyegan tutup sementara. Arjun berkenan saya wawancara di pelataran warungnya yang sedang lengang. Pria yang datang mengenakan kaos oblong dengan celana tiga perempat ini sehari-hari membantu mengurusi warung milik bapaknya.
Arjun atau lebih akrab disapa Jun ini berujar bahwa usaha ini merupakan ide dari sang bapak. Ayahnya lahir dan besar di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Di Bumi Sriwijaya tersebut, Suharno muda mulai mengenal dunia mie.
“Bapak dulu sempat bekerja di warung mie milik orang Tionghoa, kemudian sempat punya usaha produksi mie, sebelum akhirnya pindah ke Sleman,” ujarnya.
Keluarga ini pindah ke Seyegan (Sleman) kisaran tahun 1995. Suharno dan istrinya Wahimah lantas merintis usaha mie ayam setahun kemudian, berbekal ilmu dan pengalaman yang dimilikinya.
Awalnya, Suharno ingin membuat mie ayam seperti yang banyak ditemukan di Sumatera. Namun dirasa ribet karena kuah dengan mienya harus dipisah. Akhirnya munculah ide untuk menyajikan mie ayam tanpa kuah. Seperti yang kini dikenal dengan mie ayam goreng.
“Ide itu juga muncul lantaran banyak pelanggan yang ingin menyantap sajian mie tanpa kuah. Akhirnya ya sudah, dibuat dan akhirnya itu jadi ciri khas warung ini,” jelas anak ketiga dari pemilik warung ini.
Jun berujar bahwa saat itu belum ada warung lain di Yogyakarta yang punya sajian mie ayam goreng. Sehingga bisa dibilang tempat ini jadi pelopor pertamanya. Kini sudah banyak warung yang menyajikan mie ayam goreng, namun Mie Ayam Goreng Mekaton tetap jadi pilihan utama bagi sebagian orang.
Satu warung cabang Mie Ayam Goreng Mekaton setiap harinya menjual kisaran 300 porsi. Sehingga tak heran warung ini kerap tutup sebelum waktunya. Di sela perbincangan kami, Jun sesekali harus menyapa pelanggan yang datang, menjelaskan bahwa warungnya sedang libur.
Bagi Jun dan keluarganya, kepercayaan pelanggan selama ini tak bisa didapat tanpa menjaga kualitas dan ciri khas. Mulai dari penggunaan mie, potongan ayam, hingga sambal. Semua harus dipersiapkan dengan matang.
“Kalau mienya, kami selalu produksi sendiri. Selalu fresh karena dibuat sedikit demi sedikit. Kami tidak pernah buat banyak sekaligus,” tambahnya.
Selain itu, Jun menjelaskan penggunaan sawi putih lantaran stoknya lebih banyak ketimbang sawi hijau. Penggunaan sayur ini juga dirasa lebih cocok untuk mendampingi mie ayam goreng.
“Jadi, namanya mie ayam goreng itu tidak sekadar penyajiannya yang berbeda. Setiap elemennya juga disesuaikan. Sambalnya juga begitu, tidak sembarang sambal bisa cocok, makanya kami buat beda,” paparnya.
Mengenai proses pembuatan, Mie Ayam Goreng Mekaton tak secara harfiah digoreng betulan dalam wajan. Namun, penyajiannya mirip dengan membuat mie instan goreng. Pertama mie direbus, kemudian ditiriskan dan dituangkan ke piring yang sudah dengan diisi bumbu-bumbu khasnya. Mie yang sudah teraduk dengan bumbu kemudian ditambahi potongan daging ayam dan sawi. Tak lupa, ditaburi bawang goreng yang membuat rasanya semakin istimewa.
Berkembang dan membuka cabang
Berkat kepercayaan pelanggan, warung ini perlahan namun pasti terus berkembang. Salah satunya ditandai dengan dibukanya cabang-cabang baru. Semua cabang yang ada dikelola oleh anak dari pasangan Suharno dan Wahimah.
“Cabang pertama dibuka itu ada di Cebongan. Itu yang ngelola kakak pertama saya. Dibuka sekitar tujuh tahun lalu,” ucapnya.
Kemudian cabang selanjutnya dibuka tahun 2019 berada di Moyudan dan dikelola anak bungsu dari Suharno dan Wahimah. Pasangan ini memiliki empat anak lelaki dan semuanya kini menekuni usaha yang sama.
Semua cabang menggunakan bahan-bahan yang sama, dibeli dari tempat yang sama, dan menggunakan proses penyajian yang serupa. Harganya pun senada, seporsi mie ayam goreng dibanderol Rp10.000 saja. Letak perbedaanya ada di variasi menu seperti mie ayam goreng bakso.
“Kalau dua cabang yang baru itu memang lebih beragam menunya. Di sini (Seyegan), kami cuma ada mie ayam goreng dan kuah saja. Alhamdulillah, semuanya lancar dan ramai,” imbuhnya.
Dituguh pesugihan
Berkembangnya usaha Suharno dan keluarganya tak serta merta berjalan mulus begitu saja. Ada tantangan-tantangan yang menerpa bisnis keluarga ini. Bahkan menurut Jun, beratnya lebih dari saat awal merintis dan juga dampaknya lebih dari yang dirasakan saat pandemi.
“Kami pernah dituduh pesugihan,” ujar Jun dengan nada tegas.
Tuduhan itu menerpa saat Mie Ayam Goreng Mekaton baru buka di Cebongan. Isu itu membuat warung ini sempat sepi berbulan-bulan.
“Kalau biasanya sehari habis sampai 300 porsi, masa-masa itu 100 porsi pun nggak sampai, Mas,” tambah Jun.
Awal mulanya kejadiannya, saat itu warung di Seyegan tutup beberapa hari sebab Suharno sang pemilik sedang istirahat. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar bagi Jun, sebab setiap bapaknya sedang sakit atau sekadar ingin rehat, warung ini biasanya memang diliburkan. Seperti saat saya berkunjung hari itu.
“Tapi setelah kami buka lagi, kok ndilalah sepi terus,” jelasnya.
Hal itu berlangsung beberapa waktu dan juga berdampak bagi cabang yang berada di Cebongan. Sampai akhirnya ia dan keluarganya mendengar kabar bahwa mereka dituduh pesugihan. Warung yang sempat tutup itu disebut bangkrut karena dampak pesugihan yang gagal.
Mereka memilih diam tak menanggapi isu ini secara berlebihan. Sampai ada beberapa pelanggan yang coba mengkonfirmasi ke warung. Jun mengaku hanya menjelaskan dengan tenang, bahwa ia tak tahu menahu urusan pesugihan yang disebut-sebut itu.
Meski sempat sepi, dengan menjelaskan pada orang-orang yang datang dan penasaran, isu itu akhirnya tenggelam seiring berjalan waktu. Namun bagi Jun, itu merupakan fase berat yang tak pernah ia lupakan.
“Kalau sepi biasanya, itu namanya bisnis ada pasang surut. Kalau difitnah begitu karena persaingan bisnis, ya pasti rasanya sedih sekali. Pas itu saya juga dengar ada warung makan besar lain di Jogja yang dituduh serupa,” katanya.
Perlahan tapi pasti, selepas 2018 Mie Ayam Goreng Mekaton bangkit kembali. Membuka cabang satu lagi di Moyudan. Momen berat itu menjadi pelajaran berarti bagi Jun.
“Satu hal yang saya pelajari, kalau warung tutup berhari-hari, itu harus memberi informasi ke pelanggan. Dulu tidak begitu, makanya isu seperti itu bisa beredar,” ucap Jun sambil menunjuk papan penguman “Libur” di warungnya.
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi
===
Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga April 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.