Mereka yang Hidup di Bantaran Sungai Jogja

bantaran sungai mojok.co

Pemukiman warga di bantaran Sungai Gajahwong, Yogyakarta. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Yogyakarta akhir-akhir ini kerap diguyur hujan. Biasanya ia datang saat sore menjelang. Hujan bagi warga yang hidup di bantaran sungai menciptakan sebuah ketegangan. Di saat seperti ini banjir kerap menyapa.

***

Beberapa minggu yang lalu, BMKG Yogyakarta merilis peringatan dini potensi cuaca ekstrem akibat dari Badai Tropis Lorna di Samudra Hindia. Hal ini menciptakan kecemasan bagi mereka yang hidup di bantaran sungai-sungai yang ada di Yogyakarta.

Sementara itu, saya melihat di media sosial salah satu selebgram—yang baru saja melakukan vakansi ke Jogja—mengatakan kota ini ketika hujan bukan menghasilkan genangan melainkan kenangan. Kata-kata yang manis itu tentu tidak berlaku bagi warga Jogja yang tinggal di bantaran sungai.

Kawasan rawan banjir yang tak ada di dalam peta

Dari jalan Sorowajan Baru, setelah melewati perlintasan kereta api, jika kita dari arah selatan, ada baiknya sesekali ambil kiri melalui Jalan Pedak Baru. Terus melaju sampai bertemu Masjid, lalu ambil ke kanan. UIN Sunan Kalijaga akan terlihat kemudian. Di situ terbentang sungai di antara kampus tersebut dan desa yang dilewati.

Daerah yang seperti kampung di kota itu masih teritori Banguntapan, Bantul. Jika kita berada di sana, ada dua opsi yang tersaji: melaju terus sampai ke Jalan Ledok Gowok atau justru berhenti sejenak di perkampungan padat penduduk. Saya memutuskan untuk memilih opsi yang kedua. Menengok suasana di bantaran sungai, melihat rumah-rumah beririsan tipis dengan air yang mengisi penuh Sungai Gajahwong.

Rumah di bantaran Sungai Gajahwong, Yogyakarta. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Saya berada di sana hari Rabu siang (30/3/2022) ketika BMKG menghimbau warga Jogja waspada akan potensi dari akibat Badai Tropis Lorna di Samudra Hindia. Dengan menggunakan mantel seharga Rp5 ribu yang dibeli di sebuah minimarket, saya berjalan di sepanjang kali Gajahwong.

Sungai ini menurut Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dimasukkan dalam golongan B, yakni sumber air minum yang perlu diolah dahulu. Namun, hati-hati karena menurut beberapa studi, di sungai tersebut sudah tercampur limbah logam berat dan juga rumah tangga.

Bekti Daruri (36) salah satu warga di daerah Pedak Baru, Karang Bendo, Banguntapan mengatakan bahwa rumahnya bukan berada di pinggiran sungai, melainkan di tengah sungai. Dengan nada bercanda, ia mengatakan, “Namun ada kisahnya, kenapa tanah di pinggiran sungai justru laju pembangunannya cepat,” terselip suara berat yang nampak lelah karena ia baru pulang dari kerja.

Jika diruntut dari sejarahnya, sekitar tahun 1990-an awal, daerah Pedak Baru tak pernah ada. Awalnya hanyalah sungai yang aliran airnya tidak cukup deras, ada pasir yang menggunduk, lalu dibangun satu rumah. Kemudian muncul satu lagi. Lantas membentuk koloni. Setelahnya, sekitar tahun 2002, mulai banyak hunian tetap dibangun di sana. Termasuk rumah milik keluarga Bekti Daruri.

Daerah yang berada persis di samping UIN Sunan Kalijaga itu berbatasan langsung dengan sungai. Awalnya sekitar tahun 2002 wilayah tersebut banyak di tempati oleh mahasiswa asal Papua. Karena akses dengan kampus dekat, ke kota pun tidak jauh-jauh amat, ditambah murahnya sewa kos. Akhirnya tidak hanya mahasiswa asal Papua saja yang menghuni tempat tersebut, namun menjadi rebutan banyak mahasiswa rantau lainnya.

Daerah yang tadinya hanya sungai yang aliran airnya tidak deras, menjadi hunian padat penduduk yang cenderung berkultur keras. Rumah-rumah menjadi padat. Mahasiswa banyak lalu-lalang. Saking padatnya, akses masuk jalan pun hanya bisa dilalui dengan motor. Laki-laki yang akrab disapa Daruri ini mengatakan, “Jangankan hunian tetap, semi-permanen saja pasti laku disewa mahasiswa.”

Rumah di kawasan Pedak Baru, bantaran Sungai Gajahwong, Yogyakarta. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Penduduk di sana tidak memiliki sertifikat resmi kepemilikan tanah. Pasalnya kebanyakan tanah di sana milik kas desa. Dari tahun ke tahun, bantaran sungai kian menciut karena laju pertumbuhan pendirian hunian di sekitar sana.

Bahkan sampai sekitar tahun 2005, perluasan bangunan masih sempat terjadi. Metodenya begini, warga awalnya hanya menanam pohon di sekitar sungai—di samping rumahnya yang sudah mepet sungai, lama kelamaan di sekitarnya ditumpuk pasir-pasir yang mereka gali dari sungai. Setelah membentuk sebuah “lahan”, kemudian dibuat sebuah hunian.

Tahun 2002, daya resap air di Jogja masih terjaga dan jarang terjadi kasus air meluap. Kian berganti tahun, air mulai sulit dikendalikan karena di Jogja lantai dua—di daerah Sleman—mulai banyak pembangunan yang mengusik daya resap air ke dalam tanah.

Intensitas hujan pun kian tidak bisa diprediksi. Banjir mulai sering terjadi. Namun Daruri mengatakan: “Itu bukan banjir, tapi memang sing baurekso mau lewat. Mau bagaimana lagi, lha ini memang jalan lewatnya.”

Hujan, di daerah bantaran sungai Desa Pedak Baru, pantang rasanya untuk diromantisasi. Tak ada yang namanya hujan di Jogja menghasilkan kenangan, yang ada ya jelas ketegangan. “Paling parah, banjir sampai menyentuh pusar orang dewasa. Itu di dalam rumah. Kalau di luar sudah sampai dada,” kata Daruri mengenang.

Warga kemudian banyak yang meninggikan rumahnya. Dahulu, pada tahun 2002, rumah Daruri menjadi rumah yang relatif paling tinggi. Namun sekarang ini, rumahnya justru menjadi patokan. Jika air sudah menyentuh rumahnya, maka itu sudah tanda bahaya bagi rumah-rumah di atasnya.

Papan pengumuman larangan buang sampah di sekitar bantaran Sungai Gajahwong, Yogyakarta. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Sebenarnya, warga sana juga memiliki alarm bahaya tersendiri. Semisal jika musim hujan, lalu daerah Sleman bagian Utara dan Timur hujan selama satu jam tiada henti, maka warga di sekitaran sungai mulai waspada. Mereka akan menutup semaksimal mungkin celah-celah rumahnya. Jika air masih masuk, perabotan elektronik dan barang berharga dinaikkan.

“Jika air sudah kena perabotan, ya mau bagaimana, kami berada di daerah kekuasaan air,” terang Daruri.

Daruri jelas memikirkan rencana untuk pindah. Kebanyakan pemilik rumah di daerah bantaran sungai, justru tidak menempati rumah-rumahnya tersebut. Rumah-rumah itu, kebanyakan disulap menjadi indekos bagi mahasiswa rantau. Namun bukan berarti tidak ada warga asli yang tinggal di sana, Daruri salah satunya yang memilih untuk tinggal.

Warga Pedak Baru pernah mendatangi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bantul (BPBD) di Jetis, Palbapang, Kecamatan Bantul. Hasilnya membuat banyak warga kaget bahwa di peta yang disediakan oleh BPBD, pemukiman padat penduduk di bantaran Sungai Gajahwong, Desa Pedak Baru tidak ada. Yang terpampang hanyalah tanah kosong yang dilintasi aliran air.

Desa Pedak Baru kini terdiri dari satu RW dan tiga RT. Data di internet tentang daerah ini pun cukup minim. Bahkan Google Maps bertekuk lutut mencari lokasi karena di daerah ini, nomor rumah adalah mustahil. Bisa dibayangkan, bagaimana ribetnya mahasiswa yang ngekos di sana ketika mau memesan makanan via ojek online.

Warga di sekitar bantaran sungai di Desa Pedak Baru mungkin mengenal banjir secara akrab. Mereka sudah menjadi karib. Selain itu, mereka juga dihantui kenyataan bahwa tanah yang ditempati, bisa kapan saja diambil “sang pemilik”.

Namun bagi Daruri, tak ada yang lebih indah ketimbang terus bekerja pagi, siang, sore, hingga malam. Itu semua hanya untuk membeli sepetak tanah di Jogja yang harganya semakin gila. Itu semua hanya untuk satu hal, yakni keluarganya. Toh ada pepatah bilang, cinta yang tak akan berakhir adalah cinta seorang ayah kepada keluarga kecilnya.

“Rumah saya hanyut, hilang ditelan banjir Sungai Oya 2017”

Bagi dalang muda Imogiri bernama Waluyo (24), selain cerita sedih Bale Sigala-gala, hanyutnya rumah beserta koleksi wayang kulit miliknya karena banjir justru lebih sedih dan perih.

Laki-laki yang hidup sebatang kara ini sempat berminggu-minggu kehilangan gairah hidup. Pada satu jalan kehidupan, ia menemukan satu titik balik, yakni dunia pewayangan yang membuat hidupnya masih ada harapan—walau kecil di pelupuk mata.

Kejadian yang diceritakan oleh Waluyo amat kusam. Saya beberapa kali mengernyitkan dahi, tak bisa membayangkan bagaimana Waluyo tetap ada setelah kehilangan segalanya. “Ceritanya begini, Mas,” kata Waluyo membuka tabir hidupnya.

Pada hari Senin malam, 27 November 2017, Waluyo baru pulang pentas pedalangan di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Badannya letih, tidur pulas adalah pilihan yang tidak bisa diwanti-wanti. Esoknya, pada tanggal 28 November, gemuruh terdengar dan membangunkan lelapnya tidurnya. Pukul enam pagi, air sudah naik ke jalan.

Rumah Waluyo dan Sungai Oya, hanya dibatasi oleh jalan desa dan satu kebun warga. Banjir memang sering ia alami. Hari itu, pikir Waluyo dan banyak orang di daerah Dusun Sompok, Desa Sriharjo, Imogiri, air akan surut kembali setelah menyentuh jalan desa. Jam kian berganti, debit air yang berhulu di lereng barat Perbukitan Gunung Gajahmungkur itu justru kian bertambah.

Banjir di Dusun Sompok, Sriharjo, Imogiri, imbas luapan Sungai Oya pada tahun 2017. (Gusti Aditya/Mojok.co)

 

Pukul sebelas siang, air sudah masuk ke rumah Waluyo. Dengan cepat, pada pukul dua belas siang, air sudah setinggi pusar orang dewasa. Waluyo menyematkan apa yang bisa ia selamatkan. Nahas, koleksi wayang kulit yang ia simpan di bawah tempat tidur, lupa ia bawa. Getun dan geting, itu yang Waluyo terus ucapkan ketika membahas wayang kulit miliknya.

Setelahnya, yang ada hanyalah ketegangan. Pukul enam petang, banjir sudah menyentuh atap rumah Waluyo dan satu rumah lagi, milik Lek Sumilah, tetangganya. Lantaran sebagian besar bahan bangunan rumah Waluyo terbuat dari kayu, sedang rumah Lek Sumilah sudah terbuat dari bata kokoh, rumah milik Waluyo hanyut perlahan dibawa arus deras Sungai Oya.

Malam itu adalah malam yang panjang dan penuh kebingungan. Raga Waluyo memang ada di perbukitan belakang rumahnya, namun pikiran entah melayang ke mana. Memang, urusan sedih, Waluyo tidak sendiri. Kesedihannya adalah salah satu dari sekian banyak korban banjir bandang Sungai Oya yang melanda Imogiri.

Tercatat 15 jembatan roboh akibat efek domino dari siklon tropis Cempaka yang melanda Bantul pada tahun 2017 silam. Dua di antaranya adalah Jembatan Pengkol dan Jembatan Kedungjati, Sriharjo.

Dusun Sompok, Dusun Kedungjati, dan beberapa wilayah di Dusun Pengkol terisolasi karena batu besar yang ada di gunung sekitar sana, longsor ke jalan desa. Jalan tersebut adalah satu-satunya akses masuk dari Yogyakarta menuju tiga dusun tersebut—karena Jembatan Kedung jati yang menghubungkan Sriharjo dan Selopamioro turut hanyut.

Suasana banjir di Dusun Sompok, Sriharjo, Imogiri, tahun 2017. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Akses bantuan tersendat. Warga kekurangan air bersih karena air sumur kena imbas dari longsor di atas gunung yang memeluk Sompok. Akses bantuan mulai lancar masuk ke tiga dusun itu per 1 Desember 2017. Butuh waktu dua hari untuk menyingkirkan batu besar yang menutupi jalan.

Rumah milik Waluyo adalah tanah gerak, tiap banjir amblas beberapa senti. “Akibat banjir, ada lemah bengkah di sebelah rumah saya,” kata Waluyo pada hari Rabu (30/3/2022) malam, ketika hujan deras melanda Sompok, petir bersahut-sahutan seperti malaikat-malaikat yang silih berganti saling bertasbih. Menceritakan tentang banjir di saat cuaca Bantul sedang buruk, adalah ketakutan yang beranak-pinak.

Banjir bantaran Sungai Oya, menurut keterangan Waluyo, memiliki karakter yang unik ketimbang sungai lainnya. “Banjir di Kali Oya relatif pelan-pelan. Naik mboko sithik. Warga punya waktu menyematkan diri dan harta benda. Tidak seperti Kali Celeng, Kali Code, atau Kali Gayahwong yang relatif langsung bandang,” katanya.

Hujan, bagi laki-laki yang juga bekerja di toko kelontong ini, sekalipun pernah membawa hanyut rumahnya, tetap ia anggap sebagai rezeki dari Tuhan. Bahkan, banjir pun ia ambil makna filosofisnya seperti kisah pewayangan. Yakni kisah Negara Mahespati dijajah oleh Ratu Ngalengko Dirojo, yakni Prabu Dasamuka.

Tidak mau negaranya dijajah, Ratu Negara Mahespati, Prabu Harjuna Sasrabahu yang merupakan titisan Bathara Wisnu pun tiwikrama. “Malih dadi brahala atawa buta gedhe sak gunung anak’an,” cerita Waluyo.

Suasana setelah banjir melanda di Dusun Sompok, Sriharjo, Imogiri, tahun 2017. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Laki-laki yang kini menjadi Wakil Ketua Paguyuban Dalang Muda di Kabupaten Bantul ini bercerita dengan antusias, yang terjadi setelah Prabu Harjuna Sasrabahu tiwi kromo adalah bengawan meluap karena murkanya. Banjir bandang justru melanda Negara Mahespati.

Murkane retune dewe. Karena emosi dan ego manusia, yang rugi bukan cuma dirinya, tapi masyarakat,” jelas Waluyo. Hal tersebut merupakan kondisi reflektif antara hubungan manusia dengan alam.

Sebagai orang yang tugasnya mencatat dan mendengar kisah Waluyo dan Daruri. Keduanya memiliki satu benang merah: yakni sudah harus siap semisal kehilangan apa-apa yang mereka cintai. Apa-apa yang mereka punya dan jaga di dunia ini. Salah satu dari sekian banyak yang dicintai, tentu saja adalah rumah.

Hujan, bagi mereka yang tinggal di bantaran sungai di Yogyakarta, selalu menyimpan nilai yang tak pernah bisa ditemui bahkan di bangku kuliah sekali pun. Hujan mengajarkan mereka untuk tidak berlebihan menyikapi kebahagiaan.

Bagi mereka, hujan mengajarkan manusia untuk selalu mawas dan menapak ke tanah. Lantaran sebesar apapun suka, jika alam dan Tuhan menghendaki untuk hilang, maka banjir akan datang menyapu segalanya.

Hujan di Jogja tidak seremeh apa kata pujangga yang mengatakan segala yang ditinggalkan adalah kenangan yang berlabuh menjadi senang. Tidak seremeh itu. Tidak bagi mereka yang tinggal di bantaran sungai yang kebahagiaannya bisa dirampas kapan saja—entah oleh alam atau bahkan ketamakan manusia itu sendiri.

Reporter: Gusti Aditya
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Mlangi, dari Tanah Perdikan hingga Kampung Santri dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version