Di Krabi, wilayah Thailand Selatan, tradisi umat muslimnya sangat mirip dengan Islam Nusantara-nya Nahdlatul Ulama (NU). Bukan hanya dalam hal tata cara ibadah, mayoritas muslim di Krabi suka mendengarkan dan melantunkan lagu-lagu selawat yang familiar di Indonesia, seperti “Man Ana”, “Tola’al Badru Alaina” , dan “Asmaul Husna” yang dilagukan.
Selama kurang lebih satu bulan, kontributor Mojok tinggal dan mengajar di pesantren terbesar di provinsi tersebut.
***
Islam merupakan agama minoritas di Thailand. Data terbaru memperkirakan populasi muslim Thailand hanya sekitar 6 juta jiwa atau tak sampai 10 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Thailand.
Adanya Islam di negeri Gajah Putih sedikit banyak karena pengaruh etnis Melayu yang dulunya mendominasi wilayah Pattani Raya sebelum akhirnya menjadi bagian dari Kerajaan Siam, asal usul Kerajaan Thailand. Oleh karena itu, sebagian besar dari muslim Thailand tersebar pada wilayah Thailand bagian selatan yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan Malaysia, yakni Pattani, Yala, Narathiwat, Satun, Songkhla, dan Krabi.
Muslim Krabi hidup berdampingan dengan umah Budha
Krabi, salah satu provinsi di Thailand Selatan yang memiliki penduduk muslim cukup banyak. Meskipun jumlahnya tidak mencapai 50 persen, tapi umat muslim di Krabi hidup berdampingan dengan umat Buddha, agama terbesar di sana.
Walau demikian, kehidupan umat muslim Thailand terasa cukup kental. Kebijakan kebebasan beragama yang baru-baru ini pemerintah kerajaan Thailand buat, secara tidak langsung membuat umat muslim menjadi lebih bebas untuk menunjukkan identitas keagamaannya.
Sebulan di provinsi yang memiliki banyak pantai itu memberikan pandangan yang berbeda. Islam di Thailand Selatan ternyata memiliki kemiripan dengan Islam Nusantara ala Nahdlatul Ulama atau NU. Tergabung dalam kegiatan Asistensi Mengajar yang dilakukan oleh Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang yang bekerja sama dengan AECI (Association of Education Cultural International), saya ditempatkan di sebuah sekolah Islam.
Adameesuksavittaya namanya, sebuah pondok pesantren yang usianya baru tiga tahun namun menjadi salah satu yang terbaik di sana karena dibina langsung oleh Ketua Organisasi Muslim Krabi (setingkat PWNU), Asnawee Mukura.
Koneksi Muslim Indonesia dan Thailand
Tidak terbayang sebelumnya jika pesantren itu sangat mirip dengan pesantren lokal tanah air. Walaupun santri di sana didominasi bangsa Thai asli, nyatanya nuansa Islam khas Indonesia cukup kuat. Mengajar Bahasa Inggris, Melayu, mengaji, hingga kesenian membuat saya berinteraksi dengan banyak orang lokal, utamanya Babo.
Babo (nama panggilan untuk pemilik sekolah) Asnawee Mukura adalah salah satu tokoh yang banyak memberikan pandangan pada saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana. Menurutnya, ada peran Indonesia yang membuat pesantren yang ia bina itu bisa berdiri.
Ia menjadikan Indonesia sebagai salah satu kiblat untuk belajar agama Islam. “Banyak guru kak sini belajar kak Indo, jadi raso dio mirip-mirip lah. Budok-budok kak sini pun tertarik dengan Indonesia,” jelasnya dalam bahasa Melayu Thai yang sedikit berbeda dengan Melayu Malaysia.
Fenomena santri, pelajar, atau mahasiswa dari Thailand Selatan yang pergi merantau ke pondok pesantren atau universitas di Indonesia memang adalah hal yang lumrah. Beberapa dari guru lokal yang juga rekan mengajar saya di sekolah itu ada yang pernah menggali ilmu di Universitas Syiah Kuala Aceh, UIN KH. Ahmad Siddiq Jember, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, dan lain-lain. Orang seperti merekalah yang membawa Islam Nusantara ke Thailand.
Budaya ke-NU-an
Banyak sekali budaya NU yang diadopsi di sana. Dalam ritual ibadah misalnya, salat Jumat di Thailand ternyata menggunakan dua kali azan lengkap dengan bilal dan khotib yang memegang tongkat, sama persis dengan salat Jumat ala NU.
Selain itu, adanya tahlilan juga merupakan hal yang menarik. Setiap malam Jumat atau pada pagi tertentu, para santri dan ustaz bersama-sama membaca Surah Yasin yang diikuti zikir seperti umumnya tahllilan di kampung-kampung. Bahkan, dalam salat fardu berjamaah pun, zikir dan doa setelah salat dipandu oleh imam dan dibaca secara bersama-sama. Bacaannya pun 11-12 dengan apa yang kita baca.
Bukan hanya pada ritual ibadah, budaya khas NU juga masuk dalam ranah sosial. Misalnya, mayoritas muslim di Krabi suka mendengarkan dan melantunkan lagu-lagu salawat yang familiar di Indonesia, seperti “Man Ana”, “Tola’al Badru Alaina” , dan “Asmaul Husna” yang dilagukan.
Bahkan, terdapat perlombaan selawat atau nasyid yang sempat saya hadiri saat peresmian masjid desa. Saking sukanya dengan selawat Indonesia, penyanyi lagu religi tanah air, Nissa Sabyan sangat terkenal dan jadi idola di kawasan ini.
Menurut Arits Mukura, direktur dari Adameesuksavittaya School, Nissa Sabyan dan majelis selawat Indonesia seperti Habib Syech memang masyhur karena lagu yang mereka bawakan banyak yang berbahasa Arab. Tidak hanya berbahasa Indonesia sehingga warga muslim terlebih anak kecil juga dapat mengikuti dan menikmati lagunya.
Arits menambahkan, jika populernya penyanyi religi dari Indonesia juga karena tidak banyaknya penyanyi religi atau grup selawat yang produktif menghasilkan lagu religi di Krabi dan sekitarnya.
Penampilan yang NU banget
Satu lagi budaya NU yang banyak saya jumpai pada masyarakat muslim Krabi adalah penampilan. Warga NU sangat identik dengan sarung dan kopiah, begitu pun muslim Krabi. Di sepanjang jalan, ada saja penduduk yang tidak malu untuk menggunakan sarung dan kopyah putih.
Beberapa bahkan tak segan untuk mengenakan baju yang lebih Islami seperti jubah dan sorban. Uniknya, outfit Muslim tersebut hampir seluruhnya buatan Indonesia! Bangga juga ya, ternyata bukan cuma mie instan yang mendunia.
Miripnya budaya NU dengan muslim Krabi ternyata bukan kebetulan belaka. Salah satu pendamping saya, Ustad Chaheed Bootga, pernah bertutur jika orang muslim Krabi memang tidak asing dengan ajaran NU, hanya saja tidak begitu menyorot nama NU, melainkan hanya Islam Indonesia.
“Di sini, memang mirip NU ya, ada tahlilan, sholawatan, dzikir, dan lain-lain. Memang Thailand itu terinspirasi dari NU, apalagi yang sudah pernah nyantri di Indonesia suka sekali. Saya juga orang NU waktu jadi santri dulu,” jelasnya sambil bercanda dengan bahasa Indonesia yang lancar. Maklum saja, ia pernah tiga tahun tinggal di Indonesia.
Muslim di Krabi juga sangat menghormati tamu, terlebih lagi pada saudara muslim dari Indonesia. Pernah suatu ketika, banyak orang menyalami saya. Mereka menjamu dengan sangat ramah karena tahu jika saya berasal dari Indonesia. Mereka sangat menghormati Indonesia sebagai salah satu sumber ajaran dan budaya Islamnya, termasuk NU di dalamnya.
Penulis: Mch. Alfa Alfiansyah
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Perjalanan Pagar Nusa, Perguruan Silat dari Pesantren NU yang Lahir karena Keresahan Kiai
Cek berita dan artikel lainnya di Google News