Berkunjung ke Wonosobo, Jawa Tengah, tentu sayang jika melewatkan kesempatan mencicipi kuliner andalannya. Dengan hawa dingin yang eksotis, makanan yang pas untuk disantap adalah Mie Ongklok Longkrang.
***
Kamis (27/1) menjelang siang, cuaca Wonosobo sedang cerah bersahabat. Tak seperti hari sebelumnya yang panas atau hujan. Agenda saya hari ini adalah menikmati semangkuk mie ongklok. Mie kuning kenyal dengan potongan kol segar dan kucai yang disiram kuah kanji yang kental. Nama ‘ongklok‘ sendiri merujuk pada alat untuk merebus mie yang terbuat dari anyaman bambu.
Warung mie ongklok yang akan saya kunjungi adalah warung yang paling legendaris di Wonosobo, namanya Mie Ongklok Longkrang. Bagi warga Wonosobo dan wisatawan yang pernah mengunjungi dataran tinggi Dieng warung ini tentu sudah tidak asing lagi. Lokasinya strategis di dekat pusat kota. Selain itu, sebagian besar pemandu wisata seringkali membawa rombongannya ke warung mie ongklok ini.
Saya bertemu dengan lelaki bernama Waluyo (69), yang saya panggil Pak Wal, pewaris sekaligus pemilik dari warung Mie Ongklok Longkrang. Saat saya datang ia sedang menuangkan bumbu ke dalam semangkuk mie ongklok yang akan disajikan untuk pengunjung, sedangkan karyawannya sibuk membakar sate dan menyiapkan minum.
Warung mie ongklok tertua
Saya memesan seporsi mie ongklok dan segelas teh hangat. Sembari menunggu pesanan, saya berbincang dengan Pak Wal mengenai masa lalu dari warung mie ongkloknya. Lelaki yang merupakan generasi kedua di warung Mie Ongklok Longkrang ini menyambut hangat dan sangat senang untuk kembali sejenak bernostalgia menceritakan sejarah warungnya.
“Warung ini berdiri tahun 1975, dulu yang punya bapak dan mak’e (ibu) saya, di sini dulu saya bantu-bantu nyuci terus nyari kucai ke bukit, yang waktu itu masih cukup seram, sebelahnya ada kuburan,” Kenang Pak Wal.
Ia juga menjelaskan kalau nama Longkrang diambil dari nama kampung tempat warungnya didirikan. Warung ini berada di Jalan Pasukan Ronggolawe No.14, Longkrang, Wonosobo. Ia menyebut warung ini adalah warung mie ongklok tertua di Wonosobo.
“Memang dulu sebelum orang tua saya membangun warung ini, sempat ada penjual mie ongklok keliling, tetapi ya tidak bertahan lama dan yang tetap ada sampai sekarang ya ini Mie Ongklok Longkrang,” Jelas Pak Wal sambil menuangkan kecap ke dalam pesanan saya.
Tuangan kecap tadi adalah proses terakhir dari penyajian. Dengan kata lain pesanan saya telah siap untuk disantap. Semangkuk mie kuning dengan potongan kubis dan kucai disertai kuah kental yang khas dari kanji telah tersaji di meja.
“Dicampur dulu mas, biar semua rasanya menyatu,” Pak Wal mengingatkan.
Di sela saya menikmati sensasi rasa makanan yang manis dan gurih itu, datang segelas teh, tempe kemul, dan geblek. Perpaduan yang pas untuk menemani Wonosobo yang dingin.
Sayang, saya tidak memesan sate saat itu, tetapi saya pernah merasakannya di waktu saat saya datang ke sana sebelumnya. Di Mie Ongklok Longkrang sate sapi menjadi andalan untuk melengkapi mie di samping gorengan.
Menurut penuturan Pak Wal perpaduan antara sate sapi dengan mie ongklok terjadi setelah tahun 1985 atau setelah satu dekade berdirinya warung itu. Sebelumnya mie ongklok disajikan dengan saren, olahan darah ayam yang dibuat menjadi padat.
“Dulu, sebelum orang sini belum begitu paham halal haram makanan, saren jadi pendamping yang enak buat mie ongklok, rasanya jadi jauh lebih enak,” ungkap Pak Wal.
“Saat saren masih jadi pendamping mie ongklok, di daerah sini juga banyak yang jualan daging babi, lalu setelah tahun 85 mulai berubah, orang-orang lebih mengutamakan kehalalan makanan, sehingga kami merubahnya dari saren menjadi sate daging sapi,” tambah Pak Wal sembari menuangkan mie ke dalam mangkuk untuk pengunjung yang baru datang.
Sate daging sapi pun diakuinya sangat cocok menjadi makanan pendamping mie ongklok. Sate di Mie Ongklok Longkrang ini memang berbeda dengan sate di tempat lain, lebih empuk dan tidak tertutupi rasa bumbu.
Beda dengan mie ongklok lain
“Semua yang disajikan di sini itu dibuat sendiri, dari mie, bumbu, gorengan, bahkan sampai kecap itu kami tidak beli dari pabrik tetapi membuat sendiri,” ucap Pak Wal sambil menunjuk satu-satu barang yang ia sebut.
Hal ini turut mempengaruhi rasa dari makanan yang disajikan di Mie Ongklok Longkrang sehingga berbeda dengan warung mie ongklok yang lain. “Mie Ongklok Longkrang ini mempunyai tiga hal yang tidak dimiliki tempat lain,” ungkapan Pak Wal itu lantas merubah posisi duduk saya untuk lebih mendekat karena rasa penasaran.
“Pertama, setiap mangkuk yang tersaji itu telah tercampur dengan perasaan saya, mas.”
Entah kenapa saya merinding mendengar itu. Tetapi memang benar, karena setiap pengunjung yang datang pasti yang meracik perpaduan mie, kucai, kol, bumbu kanji, dan kecap itu Pak Waluyo sendiri, karyawan hanya mengantarkan.
“Saya tidak pernah menakar dalam satu porsi harus berapa bumbu, berapa mie, atau berapa tetes kecap, saya hanya menggunakan rasa, maka dari itu setiap mangkuk untuk pengunjung itu saya sendiri yang buat, tidak pernah karyawan karena pasti rasanya akan berbeda.”
Ia menambahkan: “Selain itu saya juga percaya, jika sesuatu yang berasal dari hati perasaan, maka akan sampai ke perasaan juga.”
“Lalu yang kedua seperti yang sudah saya bilang tadi, kalau semua yang ada di sini itu buatan sendiri, tidak beli dari pabrik atau tempat lain, sehingga mempunyai cita rasa yang khas dan tidak dimiliki tempat lain.”
“Ketiga, soal teh di sini itu kami ambil dari Tambi (kebun teh di Wonosobo), meskipun begitu tidak akan ditemukan ditempat lain, lantaran teh yang kami sajikan di sini sudah kami racik dengan resep turun temurun.”
Ketiga hal itu terus dijaga dari tahun 1975 sampai sekarang. Sehingga mampu mengantarkan Mie Ongklok Longkrang menyandang gelar legendaris.
Tenar tanpa promosi
Setelah menghabiskan semangkuk mie dan mulai menyeruput teh, saya lantas bertanya hal apa yang membuat Mie Ongklok Longkrang bisa tenar seperti sekarang. Karena Pak Waluyo sendiri mengaku tidak pernah melakukan promosi.
“Saya tidak pernah melakukan promosi sampai sekarang, apalagi sampai datang ke kantor seperti radio, koran, atau media lain untuk mempromosikan usaha saya, sama sekali belum pernah.” Tegasnya.
Jawaban itu membuat saya sangat penasaran dan melontarkan soal apa yang merubah secara signifikan pengunjung dari yang biasa saja sampai ramai hingga bisa seperti saat ini? Pak Wal kemudian mulai mengingat-ingat kembali.
“Oh iya, jadi dulu tahun 80-an ada artis datang ke sini: Ateng, Iskak, Darto Helm, dan Bagio CS. Nah, setelah mereka datang sini jadi mulai ramai dan nama Mie Ongklok Longkrang menyebar luas.”
Tetapi, masih ada hal lain yang tak kalah penting dalam memperluas pasar dari Mie Ongklok Longkrang. Pak Waluyo menunjukkan kepada saya sebuah stiker yang tertempel di kaca. “Stiker itu telah mendatangkan banyak turis-turis mancanegara ke sini, mereka mempercayai bahwa tempat yang terdapat stiker itu adalah tempat yang layak untuk disinggahi,” jelas Pak Wal.
Setelah saya amati ternyata itu adalah stiker Tripadvisor, sebuah platform rekomendasi wisata yang didirikan di Amerika Serikat. Dengan ditempelnya stiker itu maka Mie Ongklok Longkrang telah menjadi tempat yang direkomendasikan untuk didatangi.
“Adanya stiker membuat turis tidak ragu lagi buat makan di sini,” tambahnya.
Jawaban itu telah melegakan saya. Kualitas dan konsistensi mengantarkan Mie Ongklok Longkrang jadi destinasi utama kuliner Wonosobo. Penikmatnya dari beragam kalangan.
Di akhir pembicaraan Pak Waluyo berpesan: “Jadilah orang sukses dan apapun yang dilakukan gunakan rasa, agar pesan atau apapun yang ingin disampaikan juga akan sampai pada hati dan perasaan.”
Reporter : Galih Nugroho
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Sinci Gus Dur di Altar Pecinan Semarang, Papan Arwah untuk Bapak Tionghoa dan liputan menarik lainnya di Susul.