Menemukan Diri yang Hilang Usai Lepas dari Toxic Relationship

Toxic relationship membuat orang yang mengalaminya melewatkan sebagian hidupnya dalam keterkungkungan. Menjalani masa-masa dengan banyak dilema, pertimbangan, dan keputusasaan.

***

Mojok.co bertemu dengan dua perempuan dan satu laki-laki yang terjebak pada toxic relationship. Mereka berbagi pengalaman sekaligus bercerita bagaimana mereka melewati masa-masa sulit dalam sebuah hubungan.

Terpukau tampilan religius

Narasumber pertama, sebut saja namanya Dayana (23). Perempuan yang  menjalani hubungan beracun atau toxic relationship selama 5 tahun. Saya berbincang dengannya di sebuah kafe di Sorowajan Bantul, awak Oktober kemarin. Sebelum mulai bercerita, kami memesan jus dan es teh jumbo untuk mengademkan pikiran, ditambah roti bakar cokelat untuk menetralisir pahitnya kenyataan dalam hidup.

Dayana mengawali ceritanya sambil menyeruput jus alpukatnya. Katanya, beberapa waktu lalu Dayana tidak sengaja hampir berpapasan dengan mantannya di jalan.  Hanya dengan melihat punggung sang mantan dari jauh yang membersamainya selama kurang lebih 5 tahun, ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya agar tidak berpapasan. Yak, putar balik dengan banter, rasah nyawang sepion.

“Meski rasanya aku masih takut buat ketemu dia. Tapi sempet masih berharap dia bakal benar-benar minta maaf atas perlakuannya ke aku selama kami pacaran,”

Dayana bertemu dengan lelaki yang menjadi mantannya sekitar tahun 2014. Di tahun itu, ia masih seorang perempuan polos yang hidup di lingkungan religius, termasuk keluarganya.

“Yang bikin aku terpesona sama dia tuh, dia sempet ikut perlombaan di bidang keagamaan tingkat provinsi, mau ke tingkat nasional. Kupikir dari situ udah terjamin lah ya, ilmu agamanya. Yaudah, kami pacaran mulai tahun 2016.”

Perkenalan Dayana dengan lelaki itu selama dua tahun sebelum mereka memutuskan untuk berpacaran, memunculkan keyakinan dari dalam diri Dayana bahwa lelaki yang ia kenal itu memiliki ilmu agama yang cukup balance dengan latar belakang Dayana.

Namun, bayangan itu semu. Di tahun pertama pacaran, Dayana dipaksa oleh kekasihnya untuk melakukan hal yang ia tidak mau.

“Dia cium bibirku tanpa consent-ku di tempat umum. Aku bener-bener marah waktu itu. Dia cuma minta maaf dan janji nggak akan ulangin lagi. Tapi hal itu terus berulang dan permintaannya bertambah parah. Aku merasa itu menjadi kebiasaan yang nggak berani aku tolak.”

Perlakuan pasangannya itu tentu saja membuat Dayana merasa bahwa hubungannya tidak akan menjadi baik-baik saja untuk ke depannya. Dia merasa terjebak dalam hubungan beracun dengan kondisi dilema.

Lima tahun bukan waktu sebentar bagi Dayana, apalagi untuk menjalani toxic relationship penuh masalah. Dayana pun menyatakan bahwa hubungannya dengan pasangan pada waktu itu banyak mempengaruhi psikisnya.

“Hubunganku dengan dia jadi beban pikiran, sampai efeknya aku kena asam lambung parah hingga dirawat di rumah sakit. Mood swing juga, dan jadi sulit buat bersosialisasi dengan bebas. Tapi karena aku sayang betul, aku yakin dia bakal berubah. Kita udah bersama lama sekian tahun, sama udah terlanjur basah begituan sama dia. Kalau mau mengakhiri pun mikir dulu, udah ngerasa ga pantes buat siapapun karena hal itu,” ujar Dayana sambil tersenyum pahit.

Toxic Relationship
Toxic relationship membuat seseorang tidak menjadi dirinya sendiri. Foto ilustrasi diperankan model/Mojok.co

Dayana juga menambahkan bahwa hubungannya yang toxic itu berimbas pada perkuliahannya, mulai dari sering bolos demi ketemuan, dan menjadi tidak aktif dalam organisasi.

“Aku berhak bahagia, berhak untuk mendapatkan yang jauh lebih baik. Pengen memperbaiki diri biar bisa lebih deket sama Tuhan, karena pas itu juga udah capek banget dan ngerasa ngga ada gunanya berharap sama manusia. Mikir juga ridho orang tua yang sedari awal udah ngga setuju kalau aku sama dia, mikir masa depanku.”

Dayana menyampaikan bahwa dirinya masih berhak bahagia dengan atau tanpa pasangan yang dia kira akan berubah, namun sama sekali tidak.

“Walaupun tetep akan ada yang sakit hati karena perpisahan, yang jelas aku ngga mau semakin jadi toxic buat diri sendiri. Maybe sometimes it’s okay to be selfish,” tambah Dayana.

Merasa gagal di semua aspek kehidupan

Narasumber lainnya namanya Mancay (22) yang berbagi pengalamannya terkungkung dalam hubungan toxic relationship. Di tahun 2014, ia berkenalan dengan perempuan.

“Kalau PDKT (pendekatan) sebenernya di akhir 2015. Bener-bener aku seriusin mulai pertengahan 2016, terus kami jadian pertengahan 2017. Kami LDR (Long Disctance Relationship) selama 1-1.5 tahun, hehe,” kata Mancay dalam perbincangan daring.

Mancay melihat perempuan yang ia suka sebagai sosok yang sempurna, cakep, pinter, ramah, ngomongnya juga halus, dan lucu juga. “Ia wanita idaman banyak cowo dulu tuh. Dia juga kalem banget, kan pas banget tuh untuk aku yang absurd haha,” tuturnya.

Menjalin hubungan dengan orang yang mencintai dan yang juga kita cintai memang menyenangkan dan candu. Ditambah lagi, orang tersebut sesuai dengan preferensi dan juga satu frekuensi dengan kita. Mau dilalui seribu tahun pun, bersamanya, waktu tak akan pernah menjemukan dan akan selalu berharga sebab kebutuhan afeksi kita menjadi terpenuhi.

Tapi, mau dijalani satu tahun hingga seribu tahun, meski dia adalah orang yang sesuai dengan preferensi dan satu frekuensi, bagaimana kalau ternyata rasa tidak aman dan nggak nyaman lebih dominan dalam hubungan?

Hal tersebut dirasakan oleh Mancay pada pertengahan tahun 2018. Dia tak lagi menemukan hakikat hubungan dengan pasangannya yang harusnya berdasarkan saling mendukung dan memberi kebahagiaan. Pada waktu itu, pasangannya mulai bersikap posesif dan membuatnya takut menghadapi pasangannya sendiri. Bisa dibilang pada waktu itu, ia serasa sedang berjalan di sebuah lingkaran yang sekelilingnya ada pecahan kaca. Dirinya takut untuk melangkahkan kaki.

“Dia sering maksa aku buat nelpon terus, even kalo aku gak ada waktu. Dia bakal marah juga kalau aku rapat organisasi, kelamaan di luar kos, lama bales chat atau angkat telepon. Dia juga sering nuduh-nuduh aku yang enggak-enggak, kayak misalnya deketin cewe, dibilang juga aku aneh-aneh di kampus. Bahkan kalo aku cerita sering kali dihakimi, bukan dikasih solusi atau didengerin.”

Mancay yang memilih tetap bertahan dengan pasangannya waktu itu atas dasar perasaan sayangnya yang tidak pernah luntur. Apalagi orang tua kedua belah pihak sudah saling mengenal. Sulit baginya untuk melepas mantannya pada waktu itu. Meski selama menjalin hubungan, ia banyak menangis dan lelah secara mental.

“Aku ngerasa kayak gak bisa apa-apa sebagai manusia. Aku jadi susah tidur dan menutup diri dari lingkungan. Semasa perkuliahan, aku jadi males ngapa-ngapain karena terbebani masalah hubungan. Aktivitasku di organisasi juga nol besar, IP turun parah. Aku ngerasa gagal nggak cuma di ranah hubungan, tapi di semua aspek kehidupan,” katanya.

Indikasi toxic relationship

Menurut dr. Mega Dhestiana, Sp.KJ, dokter di Rumah Sakit Siloam Yogyakarta, toxic relationship merupakan hubungan tidak sehat yang berdampak buruk pada fisik maupun mental. Hubungan toxic tidak mengenal dengan siapa atau oleh siapa, sebab semua kalangan mampu membelenggu kita dalam hubungan yang toxic.

Mau itu anggota keluarga, pasangan, teman, kolega, bahkan tetangga yang selalu membuat kita merasa tidak nyaman setiap kali bergaul atau berkomunikasi dengan mereka.

Jadi, bagaimana cara mengetahui bahwa suatu hubungan perlahan sedang berubah menjadi hubungan yang toxic?

Beliau menjelaskan bahwa tanda paling signifikan yang dirasakan jika hubungan sudah mulai beracun antara lain: salah satu pasangan akan merasa didominasi, dikontrol, dimanipulasi.

Selain itu, red flags dari sebuah hubungan yang toxic dapat dijumpai ketika salah satu sudah merasa kehilangan dirinya sendiri dan menarik diri dari lingkungan sosial karena kecemburuan pasangan yang berlebihan. Bahkan, untuk membahas topik tertentu dengan pasangan saja berasa seperti membahas hal-hal terlarang yang seolah akan didor jika berani membahasnya.

“Jika merasa atau yakin ada lebih banyak hal negatif dalam hubungan daripada kebaikan apa pun yang dapat dipikirkan, kamu adalah korban dari hubungan beracun,” katanya saat dihubungi Mojok.co, Sabtu (23/10/2021)

Meski tidak mengenal batasan usia dan siapa orang yang menjerumuskan seseorang dalam hubungan toxic, usia remaja lebih rentan terjebak dalam hubungan toxic. Hal ini disebabkan karena usia remaja adalah masa-masanya mencari jati diri, penuh kelabilan dalam pengambilan keputusan, dan pengembangan emosi.

Berdasarkan penjelasan dr. Mega, SpKJ, dampak psikologis dari hubungan toxic akan mengubah seseorang menjadi individu yang rendah diri dan pesimis. Bahkan bisa jadi sampai membenci dirinya sendiri yang diakibatkan dari perlakuan atau perkataan negatif yang diberikan pasangannya terhadap dirinya.

Jika itu terjadi, emosi seseorang akan beralih menjadi emosi negatif yang dapat menimbulkan stres.

“Stres yang didapat dari hubungan toxic dapat memengaruhi sistem kardiovaskular individu. Pada akhirnya, semua hal negatif dari hubungan toxic dapat menyebabkan kerusakan pada kesehatan (mental dan fisik).”

Namun sekali lagi, beberapa orang justru tidak menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam hubungan toxic. Bahkan jika sudah menyadari, untuk keluar dari hubungan toxic juga tidak mudah. Bisa jadi karena alasan perasaan cinta yang terlalu besar, harapan perubahan pada pasangan, tidak siap berpisah karena memiliki banyak kenangan bersama pasangan. Padahal, jelas-jelas efek negatif lebih banyak dirasakan dibanding efek positif dalam sebuah hubungan.

Jika seseorang berhasil memutuskan untuk keluar dari hubungan toxic, ada beberapa dampak yang akan dirasakan berdasarkan penjelasan dari dokter Mega.

Beberapa orang akan dapat mengalami trauma. Misalnya, takut bertemu dengan orang baru untuk menjalin hubungan. Atau, seseorang akan merasa kesulitan untuk membangun relasi dengan orang lain karena ketakutan akan peristiwa traumatis yang pernah dialaminya.

Selain itu, beberapa orang memiliki peningkatan dalam kemampuan resiliensi. Maksudnya adalah kemampuan untuk mengatasi keadaan sulit. Dalam hal ini, seseorang yang pernah menjalin hubungan toxic akan mampu perlahan tapi pasti mengubah kesulitan yang pernah didapatkan dari pasangannya menjadi sebuah energi yang positif yang membuatnya bangkit dalam menjalani hidup.

Dalam bukunya yang berjudul Woe-man Relationship, Mba Audian Laili menulis yang kurang lebih intinya begini: pasangan itu kan, partner. Artinya antara keduanya harus setara dan tidak seharusnya ada yang mendominasi atau menguasai.

Meskipun hubungan yang dijalani diyakini penuh dengan romantisme kasih sayang, tapi jika tetap berada dalam hubungan yang terus membuat bersedih, menangis, tidak bisa berkembang lebih baik, mengganggu aktivitas, dan parahnya membenci diri sendiri, haruskah tetap bersama?

Mancay sempat menjalani hubungan yang putus nyambung, sampai kemudian dia sadar bahwa ia terjebak pada toxic relationship. “Hubungan kami kelar pertengahan tahun 2019. Walaupun aku masih tetep nyoba mempertahankan, pada akhirnya aku sadar mungkin akan ada beberapa hal positif yang bisa diambil dari putusnya hubungan kami,” kata Mancay.

Mancay Sempat meerasa trauma lagi untuk ngebuka hati sekitar satu sampai satu setengah tahun karena susah percaya lagi sama cewe, terutama buat ngebangun hubungan.

Saya pun bertanya, apa hal positif yang didapatnya setelah putus dari sang mantan. “Banyak banget sih, asli. Aku bisa jadi diriku sendiri lagi, ga banyak overthinking, bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang. The best feeling menurutku adalah ketika kita bisa ngelakuin apa yang kita mau dan sukain.”

Tidak beda jauh dengan Mancay, Fara (22) yang saya temui via daring juga berbagi cerita mengenai hubungannya yang toxic bersama pasangannya terdahulu.

“Itu waktu kuliah, kalo ada kumpulan kelas gitu, aku gak boleh ikut. Tapi aku sering beberapa kali ikut, dan kasih pesen ke anak-anak kelas kalau mau nge-pap (post a picture) atau bikin story (instagram) jangan ada akunya.”

Hal tersebut dilakukannya karena ia tidak mau memicu pertengkaran dengan pasangan. Fara juga mengakui bahwa hal itu membuatnya secara otomatis membatasi diri dengan lingkungan sosialnya.

“Pokoknya, dia pas cemburu posesif gitu agak manipulatif. Alesannya, ‘kan karena aku sayang kamu’, dan bla-bla-bla.” Saya bisa membayangkan Fara menirukan perkataan pasangannya dengan wajah malas dan terdengar nggatheli. Fara akhirnya memutuskan untuk betul-betul mengakhiri hubungannya dengan pasangannya.

Menemukan kembali diri yang hilang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Very Julianto dan kawan-kawan (2020) dalam Jurnal Psikologi Integratif, orang yang sedang atau pernah mengalami toxic relationship cenderung memiliki tingkat kebahagiaan dan kepercayaan diri atau self esteem yang rendah. 

Hal tersebut mengakibatkan terganggunya kesehatan psikologis seseorang yang terjebak dalam toxic relationship. Lain halnya dengan orang yang memilliki kualitas baik dalam hubungan, cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Salah satunya dikarenakan faktor individu dan pasangan yang memiliki kemampuan mengomunikasikan cita-cita bersama pasangannya.

Pada akhirnya, ada ungkapan begini dari seorang psikiater, Jiemi Ardian, melalui akun twitternya:

Saya jadi teringat lagunya Mba Selena Gomez yang berjudul “Lose You to Love Me”, liriknya begini: i needed to lose you to love me. Memang terkadang kita perlu untuk melepaskan sesuatu yang membelenggu dan menyakiti, apalagi yang merugikan kita, untuk menemukan diri kita kembali utuh. Meski itu menyakitkan, tapi itu memang harus dilakukan.

BACA JUGA Di Balik BEM SI: Dari Perpecahan, Isu Cawe-cawe Pemerintah, hingga Potensi Ditunggangi Politisi di 2024 dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version