Seturan. Ada yang menyebut kawasan di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman sebagai kawasan metropolisnya Yogyakarta. Lebih dari 85 hotel dan penginapan ada di kawasan ini, kampus perguruan tinggi juga berjibun. Tempat makan dari kelas angkringan hingga resto, semuanya ada.
Ada satu tempat kecil di kawasan ini tak banyak orang tahu. Untuk melihat bangunan fisiknya saja, dibutuhkan mata yang jeli. Di antara kos-kosan bebas dan tempat makan murah, ada sepetak tanah berpagar tinggi. Di dalamnya terdapat sepasang makam tanpa nama.
Komplek makam yang hanya berisi dua nisan tersebut adalah makam Mbah Setur. Sosok yang membuka kawasan Seturan dan menaklukan jin yang berdiam di tempat ini. Mojok.co melakukan penelusuran sejarah Mbah Setur dan berjumpa dengan keturunannya langsung yang kini jumlahnya tak lebih dari 8 orang. Juga sebuah pesan dari ‘penghuni’ makam tersebut.
Makam kecil yang tak banyak orang tahu
Lokasi makam tersebut berada di pinggir Jalan Perumnas, di utara Gapura Jalan Seturan 1. Di depan makam tersebut terdapat gubuk tempat vermak celana, konter pulsa, dan bensin eceran. Tepat di samping makam pernah berdiri tempat biliar bernama Equator. Di belakangnya merupakan rumah penduduk yang dijadikan kos-kosan.
Saya coba bertanya ke beberapa orang yang pernah bermain billiar di Equator. Pertama ada Mbak Han (28). Saat kuliah di tahun 2011, Mbak Han sering mengunjungi Equator bersama teman kampusnya. “Tapi aku nggak tahu kalau di sebelah Equator ada makam. Aku kira hanya tanah kosong,” ungkap Mbak Han.
Pernyataan serupa disampaikan Mas Asrul (28), teman SMA saya. Pria yang tinggal tidak jauh dari makam tersebut malah balik bertanya perkara kebenarannya. Selama tinggal di sana, blio baru tahu ada makam kecil di lokasi tersebut. “Padahal aku lewat sana tiap hari lho, Dab,” ujar Mas Asroel.
Mungkin jawaban terbaik ada di tangan tukang vermak di depan makam tersebut. Dari penuturan si tukang vermak, makam tersebut adalah makam Mbah Setur, pendiri daerah Seturan. “Saya tahunya hanya itu mas. Saya bukan orang asli sini,” imbuh si tukang vermak yang memang menjawab seadanya.
Baiklah, kini kita telah mendapat nama: Mbah Setur. Tapi siapa blio, dan mengapa di makamkan terpisah dari pemakaman umum? Misteri belum terjawab.
Mau tidak mau saya harus mencoba bertanya pada lebih banyak orang. Ini cukup sulit karena banyak warga Seturan yang berasal dari luar daerah. Setiap saya ada kesempatan mampir ke warung atau burjo, saya coba tanyai orang di sekitar tentang keberadaan makam tersebut.
Jawaban yang saya peroleh sangat jauh dari harapan. Kebanyakan hanya menjawab bahwa makam tersebut adalah makam cikal bakal Seturan. Senada dengan jawaban tukang vermak yang saya temui pertama. Tidak banyak yang bisa saya gali dari kisah makam tersebut.
Bahkan banyak yang tidak paham mengapa lokasi makamnya terpisah dari pemakaman umum. Padahal ada makam umum yang berjarak beberapa ratus meter dari makam Mbah Setur.
Menelusuri sosok Mbah Setur
Salah satu orang yang saya tanyai memberi versi kisah tersendiri. Bapak yang hanya mau dipanggil We (sekitar 45 tahun) menyatakan bahwa benar makam kecil tadi milik Mbah Setur yang merupakan pendiri Dusun Seturan. Pak We menyatakan bahwa makam tersebut terpisah karena memang tidak bisa dipindahkan. “Dulu saya dengar ada wacana mau dikumpulkan dengan makam umum mas, tapi tidak disetujui warga sini,” ungkap Pak We.
Pak We menambahkan, yang dimakamkan di pemakaman umum pertama adalah anak-anak dari Mbah Setur. Makam mereka berada di dalam cungkup atau rumah makam di tengah pemakaman umum tadi. “Mereka yang menurunkan warga asli di sini mas,” tambah Pak We.
Tentu saya tidak puas. Maka saya coba menghubungi teman saya yang doyan sejarah dan klenik. Mas Budi (29) menjelaskan bahwa wajar ketika makam pendiri sebuah daerah berada di lokasi yang unik. Tujuannya adalah menjadi pusat dari daerah tersebut. “Ibaratnya mereka menjadi pancer (titik pusat) dari kehidupan desa tersebut. Kemungkinan Mbah Setur dimakamkan di sana sebagai pengingat masyarakat,” jawab Mas Budi.
Mas Budi menambahkan, banyak kasus makam serupa dengan makam Mbah Setur, terasing di kawasan yang dibukanya. Tapi Mas Budi juga bertanya-tanya, mengapa makam Mbah Setur seperti terlupakan. Bahkan Mas Budi juga baru tahu lokasi makam tadi setelah saya ceritakan upaya pencarian ini.
Saya coba kembali mencari informasi dari warga sekitar. Jawaban mereka masih seragam. Selain tidak tahu, malah banyak kisah-kisah spiritual perihal keangkeran makam tersebut. Ada yang bilang makam tersebut tempat bersemedi. Ada juga yang bilang sosok gaib sering muncul di sekitar makam itu. Tapi tidak ada yang membahas sejarah makam Mbah Setur.
Saya juga belum bisa menemui keturunannya langsung. Semua serba gelap. Setiap saya bertemu orang, rata-rata adalah pendatang. Bahkan orang berusia sepuh yang saya temui juga pendatang. Mereka hanya tahu, makam misterius tadi pendiri kawasan yang mereka tempati sekarang.
Mati, saya terputus dari informasi lebih lanjut. Warga yang saya temui tidak mengerti sejarah makam tersebut. Bahkan orang yang saya pandang sebagai pakar spiritual juga ikut bertanya-tanya. Apakah pencarian saya akan terhenti di sini?
Saya coba mengeluh pada sesembahan masyarakat modern yaitu Mbah Google. Melalui mesin pencari digital ini, saya mencoba memasukkan beberapa kata kunci yang relevan yang menggunakan kata Seturan. Saya juga mencari sejarah Desa Caturtunggal. Tidak ada satupun web yang membahas tentang sejarah berdirinya Seturan.
Bahkan ketika saya cari “Kyai Setur” dan “Mbah Setur”, yang keluar malah nama tokoh lain yang tidak relevan. Saya berani bilang, sejarah Seturan dan makam Mbah Setur ini benar-benar hilang dari peredaran. Mungkin bukan hilang, tapi tidak pernah tercatat.
Sejarah yang ada di berbagai web hanyalah perkara pemekaran daerah dan sejarah yang usianya terhitung baru. Sisanya hanya informasi tentang penetapan Gubernur DIY perihal Desa Caturtunggal. Tidak ada sejarah prakemerdekaan perihal dusun ini. Tentu, tidak ada sejarah dari makam misterius yang pernah ditulis di internet.
Makin pesimis saja saya terhadap jawaban makam ini. Bisa jadi memang ada sejarah yang ditutup. Atau memang sejarah Mbah Setur benar-benar hilang? Apakah tidak ada keturunanannya yang bisa saya temui?
Misteri Mbah Setur terjawab di angkringan
Mungkin ada satu bulan saya memutuskan untuk berhenti memburu sejarah makam tersebut. Saya memilih fokus pada artikel lain. Toh, tidak ada jawaban pasti yang menyambungkan benang merah misteri makam Mbah Setur tadi.
Pada sebuah malam di bulan September 2021, saya mampir di sebuah angkringan. Lokasinya berada di selatan makam Mbah Setur. Mungkin hanya 20 langkah saja jaraknya. Saya sendiri mulai lupa bahwa beberapa meter dari tempat saya menyesap kopi, ada makam yang membuat saya penasaran setengah mati.
Pemilik angkringan tersebut bernama Mas Didik (35). Pria ramah dan berkulit cerah ini kebetulan sedang sendirian di angkringan miliknya. Akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul. dari perkara PPKM yang diperpanjang, sampai konspirasi vaksin dan pandemi. Makin larut kami mulai berbicara perkara spiritual. Dan saya teringat perkara makam Mbah Setur.
“Lha kalau makam di utara itu, sebenarnya makam siapa, Mas?” Tanya saya sambil melirik ke arah makam.
Gayung bersambut! Mas Didik menjelaskan bahwa makam tersebut adalah makam Mbah Setur atau Kyai Setur. Di dalam area tersebut terdapat dua makam, Kyai dan Nyai Setur. Mas Didik menjelaskan. Kyai Setur adalah salah satu trah Kraton Jogja yang mendapat “jatah” tanah yang kini menjadi Seturan ini.
“Mbah Setur adalah orang yang mbabat alas (membuka hutan) di sini mas. Maka namanya Seturan, yang artinya daerah milik Setur,” imbuh Mas Didik.
“Tapi saya ga bisa bicara banyak. Biar nanti cucu Mbah Setur yang cerita,” ujar Mas Didik. Nah, ini yang saya cari! Ketika saya pastikan dimana rumah keturunan Mbah Setur tersebut, Mas Didik hanya menjawab, “sebentar lagi orangnya kesini kok mas. Tengga mawon.”
Dilupakan warga, dan hanya 8 keluarga asli yang tersisa
Benar saja. Selang setengah jam, ada seorang pria muda datang ke angkringan Mas Didik. Pria itu bernama Mas Inu (31), namun biasa dipanggil Noe. Setelah Mas Didik dan Mas Noe ngobrol sejenak, Mas Didik membuka maksud saya kepada Mas Noe.
“Ngene lho, mas e iki (saya) pengen ngerti sejarahe Kyai Setur,” ujar Mas Didik ke Mas Noe.
Mas Noe menanggapi dengan tertawa. Dan mengatakan bahwa kalau mau tahu sejarah yang lebih dalam, saya perlu tanya langsung kepada Mbah Setur. Tentu dengan cara spiritual. “Tapi kalau sejarah singkatnya, bisa tak ceritani mas,” ujar Mas Noe.
Mas Noe menegaskan bahwa Kyai Setur adalah pendiri Dusun Seturan. Mbah Setur sendiri adalah keturunan dari Sri Sultan HB VII. Blio mendapat tanah perdikan di wilayah yang kini menjadi Seturan. Salah satu alasan kenapa tanah ini diberikan kepada Mbah Setur karena situasi spiritual yang tidak sepele.
“Mbah Setur harus melawan para jin di sini mas. Karena Mbah Setur memang kuat spiritualnya, akhirnya simbah berhasil menjadi penguasa daerah Seturan,” ungkap Mas Noe. Mas Noe menambahkan, wilayah Seturan dulu lebih luas dari sekarang. Mencakup dusun di sebelah timur dan barat Seturan. Tapi pemekaran wilayah menyunat kawasan menjadi seperti hari ini.
Mas Noe menambahkan, keturunan asli Mbah Setur sudah banyak berkurang. Dan terdesak oleh kedatangan pendatang. Pada hari ini, hanya tersisa 8 keluarga saja yang benar-benar keturunan Mbah Setur yang tinggal di Seturan. Salah satunya keluarga Mas Noe. “Kalau aku ini canggahnya Mbah Setur,” ujar Mas Noe. Canggah adalah keturunan ke-4 setelah cucu dan buyut.
Mas Noe juga membenarkan bahwa pernah ada wacana untuk memindahkan makam. Namun ditolak oleh keturunan Mbah Setur. Sedangkan yang dimakamkan di makam umum tadi benar keturunan Mbah Setur. Termasuk leluhur Mas Noe juga.
Perkara kondisi makam, Mas Noe membenarkan bahwa banyak yang tidak tahu sejarah makam Mbah Setur. Meskipun sudah ada upaya untuk melestarikan makam tersebut. Dinding merah yang mengelilingi makam dibangun oleh dusun setempat. Namun, setelah dibangun, tidak ada tindak lanjut lebih. “Yang masang portal itu aku sama ibu mas. Yang merawat juga hanya kami keturunannya,” imbuh Mas Noe.
Bahkan tidak ada upaya merawat makam seperti menyapu atau membersihkan sampah dari pihak dusun. Semua dilakukan sendiri oleh Mas Noe dan keluarga. Mas Noe juga menambahkan, setiap malam 1 Suro warga juga tidak ada yang mengunjungi makam Mbah Setur. Jadi memang tidak ada campur tangan warga dan pemerintah dusun terhadap makam Mbah Setur.
“Dulu sebelah makam malah ramai mas. Kan ada Equator (tempat biliar). Tapi akhirnya sekarang bubar,” ujar Mas Noe. Semenjak Equator bubar, daerah sekitar makam Mbah Setur memang menjadi sepi. Mas Noe juga menambahkan, lokasi dari makam sampai rumah Mas Noe adalah milik keluarga. “Rumahku cuma situ kok mas,” ujar Mas Noe menunjuk rumah di belakang angkringan.
Minta izin dan mendapat pesan di makam Mbah Setur
Karena pancingan Mas Noe, saya malah penasaran untuk bertanya ke Mbah Setur langsung. Akhirnya saya kuatkan tekad untuk masuk ke makam pada malam Selasa Legi, 6 September 2021. Pukul 10 malam saya datangi angkringan Mas Didik dan menyatakan keinginan saya. Mas Didik mempersilahkan sekaligus menyiapkan pesanan kopi saya.
Saya berjalan kaki ke makam. Kebetulan portal makam memang tidak pernah dikunci. Di dalam lokasi yang mungkin seluas 4×4 meter ini terdapat tikar, kursi plastik, pohon peneduh, dan tentu saja 2 batu nisan makam Kyai dan Nyai Setur. Saya duduk bersila di samping makam, di bagian utara nisan.
Saya merasa ada sekitar 30 menit berada di dalam makam. Saya mencoba berdoa dengan cara Jawa seperti yang diajarkan ayah saya. Saya juga memohon izin untuk menulis perihal sejarah Mbah Setur. Dan memang saya hanya bicara sendiri. Sembari sesekali mencabuti rumput liar di nisan makam. Itu adalah cara orang Jawa menghormati leluhur yang telah berpulang.
Saat sebelum saya ingin keluar, saya mendengar seseorang bicara ke saya. Saya sendiri tak yakin apa benar ini bisikan atau halusinasi. Yang jelas, apa yang disampaikan tidak bisa saya tulis.
Setelah saya rasa cukup dan nafas mulai terengah, saya kembali ke angkringan Mas Didik. Saya melihat kopi saya baru saja disajikan dan masih panas. Sebelum saya sempat bertanya, Mas Didik berkata, “kok cepet banget mas, kopimu juga baru jadi.”
Saya tercekat. Karena saya yakin saya sudah 30 menit di dalam area makam. Paling cepat mungkin 15 menit, karena doa dan permohonan izin saya tidak singkat. Saya utarakan kejadian yang saya alami, dan Mas Didik hanya terkekeh. Tidak berselang lama, Mas Noe datang ke angkringan. Seperti tahu bahwa ada saya di sini.
Saya ceritakan apa yang saya alami. Dan seperti Mas Didik, Mas Noe juga terkekeh. Mas Noe memberi saya sebuah petunjuk. “Kalau mau tahu kisahnya langsung, besok mas puasa mengapit Rabu Pahing. Jadi dari Selasa sampai Kamis mas berpuasa. Hari Kamis mas datang lagi ke makam,” ujar Mas Noe yang masih terkekeh.
“Nanti kemungkinan ada dua yang menemui mas. Pertama ada kuda sembrani berwarna putih. Kuda itu dulu sering lalu lalang di jalan Seturan ini. Kedua ada seseorang berpakaian khas pangeran. Nah yang terakhir raksasa mas. Istilahnya satpam dari makam Mbah Setur. Kalau yang ketemu raksasa tadi, berarti ada niat buruk,” jelas Mas Noe.
Apakah saya harus menjalani ritual saran Mas Noe ini untuk mengetahui sejarah lebih lengkap? Sejauh yang saya rasakan, memang kawasan Seturan itu selalu misterius. Sama misteriusnya dengan makam di antara kos-kosan dan hiruk pikuk warganya.
BACA JUGA Stigma Irasional Difabel: Orang Suci yang Bisa Nebak Nomor Togel dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.