Minat Baca Warga Moyudan Sleman Jauh Lebih Tinggi dari Depok yang Jadi Pusat Perguruan Tinggi

Minat baca warga Moyudan Sleman jauh lebih tinggi dari Depok yang jadi pusat perguruan tinggi MOJOK.CO

Ilustrasi - Minat baca warga Moyudan Sleman jauh lebih tinggi dari Depok yang jadi pusat perguruan tinggi. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kapanewon Moyudan menjadi daerah dengan minat baca paling tinggi di Kabupaten Sleman. Jauh mengungguli Kapanewon Depok yang merupakan basis perguruan tinggi.

***

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sleman baru saja merilis hasil pengukuran terbaru Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) Kabupaten Sleman tahun 2024.

Rilis tersebut berlangsung di Aula Lantai 3, Sekretariat Daerah Kabupaten Sleman, Rabu (4/12/2024) lalu.

Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sleman, Abu Bakar, menjelaskan bahwa pengukuran TGM alias minat baca di Sleman turut menggandeng pihak akademisi, yakni tim survei UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Survei minat baca di Sleman berlangsung sejak Agustus 2024, menyasar 17 kapanewon dan 2.951 responden dari berbagai latar belakang, baik usia, jenis kelamin, pendidikan, dan tingkat penghasilan.

“Ini kami menggandeng tim dari pihak akademisi untuk menjamin objektivitas hasil survei agar lebih baik, lebih valid, oleh mereka yang memang lebih kompeten di bidangnya,” jelas Abu dalam keterangan tertulisnya.

“Survei ini telah dilaksanakan di seluruh kapanewon di Kabupaten Sleman, sehingga insyaallah telah mewakili secara riil Kabupaten Sleman,” imbunya.

Minat baca di Sleman tergolong tinggi

Hasil survei menunjukkan, tingkat kegemaran membaca alias minat baca masyarakat Sleman tergolong tinggi, dengan nilai rata-rata 2,57 poin. Hanya memang jumlah buku yang dibaca masyarakat masih tergolong rendah, yaitu 2,4 poin.

Sementara frekuensi membaca masyarakat Sleman sudah tergolong baik, dengan perolehan poin sebesar 2,7. Hal ini menunjukkan bahwa sudah ada kebiasaan membaca dan dorongan untuk mencari tahu informasi lebih lanjut dalam diri masyarakat Sleman.

Minat baca di Moyudan Sleman jadi yang tertinggi

Hasil survei tersebut memang terbilang unik. Minat baca di Moyudan tercatat sebagai yang tertinggi di Sleman. Total nilainya adalah 2,65 poin.

Sementara Depok yang menjadi basis perguruan tinggi di Sleman justru menjadi yang paling rendah, yakni dengan total nilai 2,44.

Adapun rincian nilai pengukuran TGM masing-masing kapanewon yakni sebagai berikut:
1. Turi 2,6
2. Tempel 2,48
3. Sleman 2,52
4. Seyegan 2,63
5. Prambanan 2,48
6. Pakem 2,48
7. Ngemplak 2,54
8. Ngaglik 2,54
9. Moyudan 2,65
10. Mlati 2,55
11. Minggir 2,63
12. Kalasan 2,51
13. Godean 2,63
14. Gamping 2,53
15. Depok 2,44
16. Cangkringan 2,54
17. Berbah 2,6.

Kok bisa Depok kalah dari Moyudan Sleman?

Menarik untuk didiskusikan, kok bisa Depok sebagai basis perguruan tinggi di Sleman justru tercatat sebagai daerah dengan minat baca paling rendah (kalah dari Moyudan)?

Untuk diketahui, merujuk data Kemendikbud Ristek per 2023, Kapanewon Depok menjadi basis dari 25 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Depok juga menjadi basis dari kampus-kampus top seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) hingga Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta.

Menariknya lagi, Depok juga menjadi daerah dengan jumlah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) terbanyak di Sleman selain Ngemplak. Merujuk data Forum TBM Sleman pada 2019, Depok tercatat memiliki lima TBM. Sementara Moyudan hanya memiliki satu TBM.

Lantas, kenapa minat baca di Depok justru jadi yang paling rendah?

Indikator dan faktor

Sebelum ke sana, perlu diketahui perihal indikator yang dinilai dalam survei TGM. Indikator yang dimaksud meliputi, frekuensi membaca, durasi membaca, jumlah yang dibaca, frekuensi akses internet, dan durasi akses internet.

Salah satu anggota Tim Survei UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Marwiyah, mengatakan bahwa hasil survei TGM di Sleman dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.

Salah satunya adalah rasa ingin tahu masyarakat terhadap informasi. Namun, masyarakat kini lebih banyak mencari informasi melalui internet dan media elektronik.

Keberadaan TBM dan perguruan tinggi pun tidak lantas menjamin masyarakat suatu daerah secara umum dan otomatis memiliki minat baca tinggi.

Sebab, fakta yang perlu dicatat, perguruan-perguruan tinggi di Yogyakarta, termasuk di Depok, Sleman, mayoritas diisi oleh pendatang. Sementara masyarakat asli masih sedikit yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Alhasil, menjadi masuk akal jika hasil survei menunjukkan minat baca di Depok kalah jauh dari Moyudan, Sleman. Tentu jika responden diambil dari masyarakat asli, bukan termasuk pendatang.

Warga asli yang terpinggirkan

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, pernah menyinggung hal ini dalam kolomnya berjudul “Sembilan Persen” yang tayang di Kolom Analisis Kedaulatan Rakyat pada 23 Feburari 2024 dan ditayangkan ulang di laman resmi UII.

“Sembilan Persen” diambil Fathul dari data Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY): bahwa dari 100% lulusan SMA di Yogyakarta, hanya 9% saja yang berkesempatan lanjut ke perguruan tinggi.

Fathul tak menemukan data spesifik mengenai faktor apa yang menyebabkan banyak lulusan SMA/SMK/sederajat di Yogyakarta—yang merupakan warga asli—tidak lanjut ke perguruan tinggi. Hanya saja, dia menduga, ekonomi jadi kendalanya.

Sebab, mereka yang tidak lanjut kuliah itu pada akhirnya memilih bekerja hingga berwirausaha.

“Kita bisa bayangkan dampak jangka panjang jika masalah ini tidak diatasi. Termasuk di antaranya adalah kemungkinan warga asli terpinggirkan dalam kompetisi untuk mendapatkan beragama akses, termasuk dalam bidang ekonomi dan politik,” papar Fathul.

“Salah satu dampaknya lanjutannya adalah ketimpangan sosial antara warga asli dan warga pendatang. Ini menakutkan,” sambungnya.

Oleh karena itu, Fathul menekankan pentingnya mencari jalan keluar permanen secara kolektif antara Pemda dan perguruan tinggi. Contohnya seperti yang dilakukan Pemda DIY dan UII sendiri.

Pemda DIY, melalui Dikpora DIY, telah meluncurkan beasiswa berkelanjutan untuk pemuda DIY usia 18-24 tahun. Pada 2024 ini, ada 150 paket beasiswa yang bisa diakses dengan besaran Rp10 juta per tahun.

Sementara UII (pada 2024), mengenalkan skema beasiswa afirmasi pembebasan uang kuliah untuk warga asli yang tidak mampu.

Acuan untuk membuat kebijakan

Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum Setda Sleman, Anton Sujarwo, mewakili Bupati Sleman menyatakan bahwa survei tersebut merupakan bentuk komitmen Pemkab Sleman dalam memperoleh data dan informasi yang relevan.

Data-data hasil survei nantinya akan dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam program peningkatan literasi masyarakat.

“Dengan demikian, kegiatan ini akan memperkuat komitmen kita bersama untuk meningkatkan kolaborasi dan sinergi mewujudkan perkembangan kegemaran membaca di Kabupaten Sleman,” ucapnya mengutip titipan sambutan Bupati Sleman untuk acara rilis hasil pengukuran TGM.

Sebab, lanjut Anton, kegemaran membaca dapat menjadi faktor pendukung dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas, kritis, dan berdaya saing. Oleh karena itu, survei ini untuk mengetahui sejauh mana masyarakat memanfaatkan waktu untuk membaca sekaligus mengidentifikasi tantangan yang dihadapi.

“Survei ini juga menjadi acuan penting dalam merumuskan kebijakan strategis untuk meningkatkan literasi,” tutup Anton.

Kebijakan strategis yang Anton maksud, semoga juga berkenaan dengan bagaimana mengatasi persoalan yang Fathul Wahid paparkan: banyak pemuda asli DIY yang tidak lanjut kuliah.

Karena begitu juga lah yang terjadi di Sleman. Data 2022 menunjukkan, dari 20.000 lulusan SMA/SMK/sederajat di Sleman, tidak lebih dari 10.000 yang lanjut ke perguruan tinggi.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Ironi dan Fakta Kota Pelajar: Ketika Remaja Asli Jogja Justru Tidak Bisa Menikmati Bangku Kuliah

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.

 

Exit mobile version