Indonesia akhir-akhir ini tercatat sebagai salah satu negara dengan kekerasan hewan tertinggi di dunia. Data dari Asia for Animals Coalition pada 2021 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki konten kekerasan terhadap hewan dengan jumlah tertinggi sedunia.
Artikel yang ditulis oleh goodstats.id menunjukkan data bahwa pada lima tahun terakhir terdapat lebih 70.000 iklan mengenai perdagangan satwa liar. Utamanya di Facebook. Tidak hanya kekerasan terhadap hewan, kesejahteraan hewan pun kerap diabaikan oleh manusia.
Sebelum mengetahui data-data tersebut, nurani saya sebenarnya sudah sangat terusik. Pasalnya, teramat sering saya menyaksikan sendiri bagaimana perlakuan orang-orang terhadap hewan.
Misalnya, saya pernah melihat seekor anjing husky di dekat kosan yang diikat seharian tanpa diajak jalan-jalan, lalu burung hantu yang diikat, hingga kucing jalanan yang kerap menerima perlakuan kasar dari orang-orang di sekitarnya.
Bagi saya, pemandangan tersebut menunjukkan bahwa hewan hanya dipandang sebagai hiasan dan bahkan hama, tidak dipandang sebagai makhluk hidup yang juga memiliki hak kesejahteraannya sendiri.
Pada Rabu (6/8/2025), saya mendapat kesempatan wawancara dengan Asta Ebrahim, seorang penulis yang berkecimpung dalam aktivisme kesejahteraan hewan. Terakhir ia menulis buku Arcana Oceanis yang menggambarkan pertumbuhan laut: dari awal terbentuk, makhluk pertama yang mendiaminya, hingga kondisi laut di era modern. Inilah tanggapan Asta mengenai fenomena kekerasan hewan yang terjadi di Indonesia:
Hukum yang lemah
Kekerasan hewan di Indonesia pastinya tidak muncul begitu saja. Menurut Asta Ebrahim, salah satu penyebab utamanya adalah hukum yang lemah terhadap perlindungan hewan.
Ambil contoh kasus pembunuhan 26 Badak Jawa satu tahun silam. Para pemburu tersangka pembunuh 26 Badak Jawa tersebut divonis 11-12 tahun penjara.
Namun, menurut Asta, hukuman tersebut tidak cukup untuk mengganti nyawa 26 badak yang terenggut. Mengingat hewan tersebut merupakan hewan terancam punah.
Budaya hiburan dari penyiksaan langgengkan kekerasan pada hewan
Alasan lain mengapa kekerasan hewan kerap terjadi di Indonesia adalah kurangnya edukasi publik terkait kesejahteraan hewan.
“Biasanya konten memelihara satwa liar seperti monyet atau harimau lebih menarik minat ketimbang edukasi mengenai larangan memelihara hewan-hewan tersebut,” kata Asta.
Contoh kasus lainnya adalah munculnya kafe-kafe satwa liar asing seperti cafe capybara atau cafe yang bisa minum kopi bersama rubah. Padahal jika teredukasi, satwa asing dapat membawa penyakit hewan dari luar negeri dan itu dapat menjadi masalah suatu hari nanti jika dilepasliarkan.
Terakhir yang menjadi masalah adalah kultur hiburan. Hiburan di Indonesia cenderung mengeksploitasi sisi penderitaan seperti penyiksaan hewan. Sialnya, hal semacam itu lebih diminati ketimbang hiburan-hiburan lainnya.
“Jika memang tidak suka dengan konten tersebut, seharusnya tidak ditonton,” tutur Asta. Menurutnya, beberapa konten kreator pun tidak peduli dengan kesejahteraan hewan jika angka viewsnya tinggi.
Memahami kesejahteraan hewan
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud kesejahteraan hewan?
Asta menjelaskan, kesejahteraan hewan adalah kondisi ketika hewan bebas dari penderitaan fisik dan mental, serta hidup sesuai dengan kebutuhan alaminya. Lebih jauh dari itu, kesejahteraan hewan adalah situasi ketika hewan lepas dari kontrol manusia atas kebutuhan mereka.
“Kalau misalnya kita pelihara kan mereka makan sesuai jam-jam kita nggak sibuk, atau kita atur. Nah itu kan nggak sejahtera artinya,” jelas Asta.
Kesejahteraan hewan juga memiliki batas antara hewan domestik dan non-domestik. Asta menjelaskan, hewan domestik adalah hewan-hewan yang sudah lama kita ‘buat jinak’, seperti anjing dan kucing setelah melewati proses berjenjang ribuan tahun. Selain itu, ada hewan domestik ternak, yang menghasilkan hal-hal seperti daging atau susu untuk kebutuhan sehari-hari.
Sementara hewan non-domestik adalah hewan yang sampai sekarang tidak bisa dipelihara atau diternak.
“Misalnya zebra. Mereka kan keluarga dekat dari kuda. Namun, sampai sekarang Zebra tidak bisa didomestikasikan” tutur Asta.
Tentunya, kesejahteraan antara hewan domestik dan non-domestik berbeda. Hewan domestik idealnya mendapatkan kebebasan makan sesuai kebutuhan mereka dan tidak tergantung oleh ‘pemiliknya’. “Harusnya begitu semua mahluk,” tegas Asta.
Untuk hewan non-domestik atau satwa liat, intinya adalah tidak terganggunya proses satwa liar mencari makan ataupun tempat tinggal mereka. Dengan kata lain, bebas dari intervensi manusia.
Susahnya menyadarkan manusia agar tidak melakukan kekerasan pada hewan
Sebagai masyarakat dengan kesadaran, ada yang jelas dapat manusia lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan hewan. Salah satunya dengan menyebarkan kesadaran itu sendiri. Entah itu terhadap teman, saudara, ataupun rekan kerja supaya pemahaman kesejahteraan hewan dapat mengakar di masyarakat.
Untuk para pelaku kekerasan hewan, Asta mengakui memang agak sulit untuk mengedukasi mereka. Pasalnya, biasanya mereka sudah memiliki pre-konsepsi tersendiri mengenai apa yang mereka lakukan.
“Biasanya mereka beranggapan bahwa jiwa hewan itu milik mereka, bukan alam atau Tuhan,” kata Asta.
Maka, selemah-lemahnya upaya untuk mengatasi kekerasan pada hewan adalah: ketika menyaksikan kekerasan terhadap hewan, langsung laporkan saja kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Penulis: Mohamedus Mikail
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Tangis Macaca di Yogyakarta (Bagian 1): Ditangkap Paksa dari Hutan untuk Ekspor atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
