Mahasiswa yang Pilih Jualan di Masa Sulit

Pandemi Covid-19 membuat banyak usaha tumbang bergelimpangan. Di sisi lain, banyak pula mahasiswa dan anak muda yang memilih untuk buka usaha dan jualan di situasi sulit seperti sekarang ini.

****

Bangkit usai orang tua meninggal

Saya berjumpa dengan Chaim Kardia Sanly Putra (25). Selama beberapa tahun ini, hidupnya seperti roller coaster. Tujuh tahun silam, ia merantau ke Yogyakarta. Meskipun berasal dari Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur, namun darah Jawa mengalir di tubuhnya. “Mama dari Yogyakarta, kalau Papa memang asli Nusa Tenggara Timur,” ungkap Mas Karda. 

Tahun 2019, seluruh anggota keluarganya ikut pindah ke Yogyakarta dan menjual semua aset di Nusa Tenggara Timur. Sejak itulah, di samping rasa bahagia, beberapa masalah mulai mewarnai hidup Mas Karda. “Salah satu yang paling aku ingat, baru beberapa bulan pindah, Papa memilih pindah lagi ke tempat yang jauh tidak tersentuh,” ungkap Mas Karda berkaca-kaca.  Papa Mas Karda meninggal karena sakit.

Di situasi yang sulit itu juga, kuliahnya harus terputus di tengah jalan. Putus asa sempat dirasakan Mas Karda. Namun, ia mencoba bangkit dan tidak larut dalam kesedihan. “Aku mulai berpikir cara mendapatkan uang,” ungkap Mas Karda. Ia tidak berpikir untuk mencari kerja karena latar belakang pendidikannya yang spesifik dan ia juga tak merampungkannya. 

Uang tabungan yang ia sisihkan saat masih mendapat kiriman dari orang tua ia gunakan sebagai modal awal untuk jualan. Jumlahnya nggak banyak, tiga ratus ribu rupiah. 

Uang itu ia belanjakan tas rajut di Pasar Beringharjo. Barang-barang itu ia pasarkan secara online melalui Lazada dengan nama lapak Karsa Shop. Satu hari, dua hari, berjalan sampai satu minggu, masih belum ada yang membeli. “Karena belum laku, Mama menambahkan uang lagi sebanyak lima ratus ribu sebagai modal jualan, supaya aku membeli barang lain di Pasar Beringharjo untuk dijual,” cerita Mas Karda. Ia membeli tas dari batok kelapa dan tas rajut.  

Satu bulan kemudian, akhirnya jualan yang ditawarkannya ada yang membeli. “Saat itu, barang pertama yang laku adalah tas dari batok kelapa,” cerita Mas Karda. Ketika sedang senang-senangnya karena mulai ada pembeli, giliran Indonesia yang harus lockdown karena mulai ada kasus Covid-19.

Beberapa bulan setelah ada kelonggaran kebijakan, ia menambah barang jualannya seperti kantong telepon genggam dari kulit kayu, baju dan gaun batik, serta sepatu bermerek. Ia memilih fashion sebagai spesifikasi bisnisnya. Menurutnya, barang fashion lebih mudah disimpan dan dapat bertahan lama. “Aku tidak mau mengambil risiko dengan barang yang mudah habis masa berlaku atau masa konsumsinya,” jelas Mas Karda.

Pembelinya bukan hanya di Jogja, tapi juga berbagai daerah bahkan merambah luar Jawa, seperti Aceh, Papua, Kalimantan, dan masih banyak lagi. Ia juga menyuplai produk fashion ini pada teman-temannya yang jualan di Nusa Tenggara Timur.

Saat berada di masa kejayaan, ia dan keluarganya dinyatakan positif Covid-19. “Keadaan tubuhku sesak nafas, harus menggunakan oksigen. Tapi waktu itu, kami masih isolasi di rumah saja,” ungkap Mas Karda mulai tampak berat untuk bercerita.

Pandemi Covid-19 memang tidak hanya membawa berkah bagi Mas Karda, namun juga membawa duka. Keadaan Mama Mas Karda saat itu semakin parah, sehingga harus dipindahkan ke shelter. Keadaan mamamnya tidak membaik, saat baru dibawa ke rumah sakit, mama tercintanya menghembuskan nafas terakhir. “Sedih, sampai Mama dikebumikan, aku tidak lihat Mama lagi,” ungkap Mas Karda bergetar menahan tangis. 

Setelah dinyatakan negatif Covid-19, Mas Karda mulai membangun bisnisnya lagi. Meskipun masih belum bisa ke luar rumah, biasanya Mas Karda akan mengemas paket dan meletakkan di kursi depan rumah agar dijemput oleh kurir. “Awal bulan Agustus 2021 baru mulai aktif lagi, ya namanya sudah ditinggal lama, ibaratnya merintis untuk ketiga kali,” jelas Mas Karda. 

Saat ini, pembeli ada sekitar satu sampai lima orang per hari. Meskipun menurun, namun Mas Karda percaya bahwa bisnisnya akan berproses dengan cepat. Mas Karda juga sudah mulai menghubungi beberapa teman yang dahulu sering mendapatkan pasokan barang fashion darinya. 

Mas Karda dengan barang dagangannya. Foto Brigitta:Mojok.co
Mas Karda dengan barang dagangannya. Foto Brigitta/Mojok.co

Hanya tinggal berdua dengan adiknya justru membuat Mas Karda semakin giat menjalankan bisnis di Lazada. “Ada kebutuhan sehari-hari, termasuk beras untuk makan, dan kebutuhan sekolah adik yang harus dicukupi,” ungkap Mas Karda. Adik Mas Karda memang barus saja masuk kelas satu SMA. Karena itu, Mas Karda sebisa mungkin mengatur keuangan dan menekan keinginan dirinya. Meski usahanya masih kecil, Mas Karda percaya usahanya akan berkembang hingga bisa mengekspor produknya. 

Jualan roti dan jasa transkrip seorang mahasiswa yang juga papah muda

Abilawa Ihsan (23) namanya, seorang papah muda sekaligus mahasiswa semester akhir di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Meski kuliah di Yogya, saat ini Mas Abi tinggal di Bandung bersama keluarga kecilnya. 

Usaha pertamanya adalah roti srikaya yang ia pasarkan melalui Shopee dengan merek Dael Shop. Usaha itu ia jalankan di sela-sela kerja di sebuah perusahaan serta merampungkan kuliahnya. 

Usaha roti srikaya ia bangun di saat pandemi, setahun yang lalu. Ia yang hobi memasak kemudian mencoba resep yang ia temukan di YouTube. 

Meskipun demikian, Mas Abilawa mengaku mendapatkan resep roti srikaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Harus mencari tepung yang tepat, harus belajar membuat selai yang ketika dipadukan dengan roti itu bisa pas rasanya, semua itu harus dicoba berkali-kali,” cerita Mas Abilawa. Ia mencoba hingga puluhan kali untuk menemukan resep yang pas. 

Nggak langsung sukses, awal-awal ia dikomplain pembeli karena terlalu manis, juga karena rotinya sudah dingin. Pernah juga ia lupa mengantar pesanan dari pembeli. Saat ini pasarnya adalah konsumen dari Bandung dan Jakarta. Ia akhirnya melepas pekerjaan kantoran untuk fokus jualan roti. Ke depan ia ingin membangun toko fisik di Bandung. 

Bulan Juli 2021, Mas Abilawa mulai membuka bisnis keduanya, yaitu bisnis jasa transkrip rekaman yang dipasarkan melalui Instagram dan Twitter. Dahulu, Mas Abilawa merupakan anggota pers mahasiswa. “Kurang lebih tiga tahun di pers mahasiswa,” ungkap Mas Abilawa. Karena itu, bisnis jasa transkrip ini dilakoni Mas Abilawa dengan mudah dan sedikit tantangan saja.

Bicara soal tantangan, menurut Mas Abilawa yang terbesar adalah rasa jenuh. Meskipun demikian, Mas Abilawa mengatakan rasa jenuh ketika mendengarkan dan menulis masih bisa diatasi dengan selalu menyediakan waktu untuk bersantai. “Satu hari dibuat dua sampai tiga jam saja untuk mengerjakan bisnis transkrip,” ungkap Mas Abilawa terkekeh.

Awalnya klien pertamanya adalah mahasiswa yang tengah melakukan skripsi dan tesis. Namun, ia berpikir, kalau pasarnya hanya mahasiswa maka usahanya tidak berkembang, karena mereka cuma satu kali order. Cita-citanya, ingin dapat klien dari perusahaan nasional atau yang multinasional. Untuk satu menit transkrip, ia mematok harga Rp3.000

Mahasiswi yang buka toko fisik di situasi sulit

Selain jualan di toko online, rupanya masih banyak anak muda yang memanfaatkan waktu untuk membangun toko fisik. Salah satunya yang dilakukan Dinda Ayu Larasati (22), mahasiswi yang baru menyelesaikan sidang skripsi. Sejak beberapa bulan yang lalu, ia mengembangkan usahanya jualan mentai

Mentai adalah makanan khas Jepang yang terdiri dari telur ikan dibumbui dengan lada dan dicampurkan mayonaise. “Aku juga hanya coba-coba resep dari internet, tapi menurutku, resep mentai ini lebih mudah dibuat,” ungkap Mbak Dinda yang kuliah di Jurusan Kehutanan.

Jualan saat pandemi bermula dan ia harus kembali ke kota asalnya di Malang karena perkuliahan dilakukan secara daring. Di rumah, ia menyibukan diri untuk membuat dessert box. Namun, belum sempat dipasarkan, resep buatannya dinilai keluarga nggak layak untuk dijual. 

Setelah berkali-kali mencoba, pilihannya ia jatuhkan pada makanan mentai. Cita rasa makanan itu ia sesuaikan dengan lidah orang Jawa. Saat pesanan mulai datang, tantangan justru datang dari keluarga. Namun, akhirnya dukungan diberikan oleh keluarga setelah melihat kesungguhan Dinda. 

Dinda di depan outlet mentainya. Foto oleh Briggita Adelia/Mojok.co

Saat pasar mulai terbentuk, Mbak Dinda harus kembali ke Yogya karena perkuliahannya membutuhkan banyak kegiatan lapangan untuk penelitian dan praktikum. Bersama sang pacar, ia kemudian meneruskan usaha mentai dengan mencari outlet untuk disewa. Setelah mencari berbagai lokasi, ia tertarik untuk membuka outlet di Pogung, dekat Selokan Mataram.

Banyak hal yang harus dikorbankan Mbak Dinda untuk membangun outlet mentai ini. “Modal awal yang harus dikeluarkan nilainya sekitar tiga puluh juta rupiah, mulai untuk beli alat, sewa ruko, dan masih banyak lagi,” ungkap Mbak Dinda tersenyum tipis. Angka yang cukup fantastis itu dapat terpenuhi dengan mengorbankan beberapa barang berharga, seperti Mbak Dinda yang rela menjual perhiasan dan pacarnya yang rela menjual laptop.

Mbak Dinda pun mengatakan, outlet mentai ini merupakan mimpinya bersama pacar dengan kepemilikan berdua. “Mungkin selain harta, kita juga berkorban waktu dan tenaga untuk akhirnya outlet mentai ini bisa ada,” ungkap Mbak Dinda. 

Outlet mentai ini diberi nama Momentai. Nama Momentai diambil dari kata Mau yang dalam bahasa Jepang berarti enjoy dan senang. Harapannya, ketika pelanggan memakan mentai, maka merasakan enjoy dan senang. Sedangkan untuk dominasi warna outlet mentai ini, Mbak Dinda memadukan warna oranye dan biru untuk menarik perhatian.

Awal outlet mentai ini berdiri, Mbak Dinda mempunyai kesulitan mengatur jam buka. Pasalnya, kesibukan kuliah dan pergi ke lapangan membuat Mbak Dinda kadang-kadang harus libur berjualan. Mbak Dinda memang memasak mentai sendiri. Biasanya, sebelum membuka outlet, ia sudah menyiapkan nasi, sehingga saat ada pembeli tinggal memasak saus mentai dan beberapa komponen lain sesuai menu yang dipesan. “Kalau masak nasinya saat ada pembeli, kelamaan, bisa dikomplain,” ungkap Mbak Dinda.

Jika ada sisa nasi atau komponen-komponen yang sudah dimasak, Mbak Dinda akan membagikan pada orang-orang tidak mampu yang banyak ditemukan di sekitar Pogung. “Memberikan orang lain rezeki, maka rezeki kita juga akan dilancarkan,” jelas Mbak Dinda.

Dalam sehari, Mbak Dinda dapat menjual sekitar delapan puluh sampai seratus mentai. Penjualan itu didapatkan dari pelanggan yang makan di tempat ataupun beberapa wadah penyedia jasa pembelian makanan, seperti Grabfood, Gofood, dan Shopee Food. Selain mentai, beberapa menu lain yang dijual Mbak Dinda adalah sate taichan, rice bowl, dan dimsum.

Sejauh ini, Dinda merasa sudah mencapai hampir seluruh targetnya, bahkan hasil penjualannya sudah lebih banyak dari modal yang dikeluarkan. “Masih ada satu atau dua yang belum tercapai, tapi tetap akan berusaha semaksimal mungkin,” ungkap Mbak Dinda yang akhirnya bisa membuktikan tidak meninggalkan kuliah karena baru saja menjalankan sidang akhir skripsi dan dinyatakan lulus sebagai sarjana kehutanan satu minggu yang lalu.

Mbak Dinda, belum punya bayangan untuk mencari kerja. Ia akan fokus mengejar target penjualan seribu mentai setiap harinya dan membuka cabang di sekitar Gejayan.

Mahasiswi yang mempertahankan 4 usahanya

Namanya Lutfi Ayu Paramitha (22), mahasiswa asal Pacitan Jawa Timur, yang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Panggil saja Mbak Lutfi, ia adalah sosok mahasiswi aktif, yang bahkan sudah merintis berbagai usaha sebelum pandemi datang. 

Awalnya Mbak Lutfi memiliki lima lini bisnis, yaitu henna, buket bunga, seserahan dan mahar, dekorasi, dan oleh-oleh khas Pacitan. Usaha yang ia sebut terakhir, gulung tikar saat pandemi menerjang. Sedang, usaha sewa alat seserahan dan mahar, justru lahir di tengah-tengah masa pandemi. Maka mencari kerja, nggak ada di kamusnya.

Awalnya, Mbak Lutfi ingin menjadi mahasiswa bidang seni. Namun, keinginannya itu ditentang keluarganya sehingga ia kemudian ke Yogyakarta karena diterima di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi negeri tahun 2017. Saat masih SMA, ia sudah punya usaha yaitu jasa henna.

Di tahun itu pula ia mulai merintis lini bisnis kedua yaitu buket bunga. Meskipun kuliah di Yogyakarta, Mbak Lutfi rela wira-wiri Jogja-Pacitan demi menjalankan bisnisnya. “Menurutku, bisnis di Pacitan memiliki peluang lebih tinggi dibanding di Jogja,” ungkap Mbak Lutfi.

Awal mula Mbak Lutfi belajar membuat buket bunga adalah ketika temannya yang mahasiswa meminta tolong untuk dibuatkan dalam memberi hadiah wisuda. Lambat-laun, Mbak Lutfi ketagihan dan mulai memasarkan dengan nama Gong Graduation. “Setelah itu, mulai tidak hanya buket bunga namun segala hal yang berhubungan dengan wisuda, mulai dari make up sampai hadiah wisuda,” jelas Mbak Lutfi.

Lutfi dengan salah satu contoh pesanan buketnya. Dok Lutfi.

Jika buket bunga sudah terdengar sering ditemukan di banyak tempat, Mbak Lutfi juga menyediakan jasa membuat buket uang, buket alat masak, dan masih banyak lagi lainnya. Pada suatu kesempatan, ada pengalaman menarik yang didapatkan Mbak Lutfi, yaitu membuat buket kondom, di mana Mbak Lutfi harus belanja banyak kondom itu di minimarket dengan sedikit malu dan mendapatkan tatapan aneh dari pelayan minimarket.

Masih di tahun 2017, Mbak Lutfi kemudian mendirikan lini bisnis ketiga yaitu oleh-oleh Khas Pacitan. Oleh-oleh yang dimaksud merupakan kerajinan yang dibuat oleh Mbak Lutfi dan teman-temannya. Berjalan selama tiga tahun, lini bisnis ketiga ini akhirnya gulung tikar terhantam pandemi Covid-19.

Rasa sedih sempat memenuhi hati Mbak Lutfi. “Sejujurnya, bisnis oleh-oleh Khas Pacitan ini belum menutup modal yang sudah aku keluarkan,” ucap Mbak Lutfi dengan nada kecewa. 

Mbak Lutfi tidak tinggal diam, ketika lini bisnis ketiga yaitu oleh-oleh khas Pacitan gulung tikar, mahasiswa ini sudah memutar otak untuk menciptakan lini bisnis pengganti. Saat itu, Mbak Lutfi terpikir untuk membuka bisnis dekorasi di Pacitan, seperti jasa dekorasi ulang tahun dan jasa dekorasi pernikahan. “Akhirnya juga tidak fokus, karena aku mahasiswa kuliah di Jogja, meskipun sering pulang ke Pacitan, tetap saja ada yang tidak bisa aku tinggalkan di Jogja,” ungkap Mbak Lutfi.

Beranjak di tahun 2021, di masa pandemi, Mbak Lutfi berani untuk mendirikan lini bisnis ke empatnya, yaitu seserahan dan mahar. Konsep bisnis ini adalah menyediakan jasa peminjaman kotak tempat seserahan dan mahar. Mbak Lutfi membuat kotak-kotak tersebut bekerja sama dengan guru seni di sekolah menengah pertamanya dulu.

Kata Mbak Lutfi, bahan baku pembuatan kotak itu dibeli dari Yogyakarta. “Kalau pakai plastik akan cepat rusak, kalau kaca risiko pecah, akhirnya memutuskan untuk menggunakan akrilik,” ungkap Mbak Lutfi. Karena di Pacitan belum ada penjual akrilik, maka Mbak Lutfi membeli di Yogyakarta berupa gulungan besar dan memaketkan ke Pacitan melalui jasa angkut.

Berjuang sendiri, Mbak Lutfi rela untuk membawa gulungan akrilik itu menggunakan sepeda motor sampai ke tempat jasa angkut. “Sebenarnya malu juga, saat di lampu merah dilihat banyak orang, tapi itu juga yang membuat berkesan,” ungkap Mbak Lutfi terkekeh.

Menurut Mbak Lutfi, jasa seserahan dan maharnya ini laku keras. Bahkan di Bulan Juli 2021, Mbak Lutfi sempat kewalahan. “Aku dan tim sampai harus menolak banyak rezeki yang masuk untuk menyewa jasa seserahan dan mahar ini,” ungkap Mbak Lutfi bercerita kepanikannya.

Bicara tentang toko online, Mbak Lutfi mengaku belum ada satu pun bisnisnya yang ia masukkan di toko online. “Tahap sekarang ini, aku masih membenahi sistem dan cara kerja bisnisku,” ungkap Mbak Lutfi malu-malu. Meskipun demikian, di Pacitan, Mbak Lutfi sudah mempunyai outlet. Sedangkan di Jogja, Mbak Lutfi berencana mencari dalam waktu dekat, khususnya di sekitar kampus tempatnya kuliah.

Belum masuk toko online, Mbak Lutfi mengaku sudah banyak menerima pesanan dari luar Pacitan. “Pernah ada yang pesan buket makanan dari Solo,” ungkap Mbak Lutfi. Ingin membuka salon merupakan target Mbak Lutfi dari bisnis untuk lini bisnis yang selanjutnya. Saat ini, Mbak Lutfi sedang mengumpulkan tabungannya agar salon itu dapat segera direalisasikan. 

Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Muhammad Ikhsan seperti dilansir lokadata, mengatakan ada sekitar 30 juta UMKM di Indonesia yang tumbang terimbas pandemi. Ini artinya, setengah dari anggotanya yang mencapai 63 UMKM. 

Namun, di sisi lain, pandemi juga memberikan dorongan kepada pelaku usaha UMKM untuk memanfaatkan platform digital. Selama pandemi menurut Ikhsan, penggunaan platform digital di kalangan pelaku UMKM tumbuh hingga 15 persen atau hampir 10 juta pengguna. 

BACA JUGA Anak yang Bercita-cita Membuat Wangi Bau Sampah TPST Piyungan   liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version