Lina berangkat haji saat masih menjadi mahasiswa UGM berusia 24 tahun. Pengalaman langka itu membuatya bisa umrah 5 kali hingga membantu seorang nenek tua yang sakit untuk menjalani ibadah yang sudah lama dinanti.
***
Kenangan berangkat haji bersama dua kakaknya masih tersimpan rapi di memori Lina Zahra Arifa (29). Ia menunaikan salah satu rukun Islam itu tak lama setelah resmi menjadi mahasiswa UGM S2.
Lina terbang ke Tanah Suci setelah melewati masa tunggu tujuh tahun sejak 2011. Ia mendaftar program haji reguler yang saat itu masa tunggunya belum sampai puluhan tahun seperti sekarang.
Berangkat haji di usia muda dengan kondisi fisik prima membuatnya merasakan banyak sekali manfaat. Bukan hanya bagi dirinya melainkan bagi jemaah lain yang membutuhkan pertolongan.
“Nggak bisa dimungkiri bahwa haji ini ibadah fisik. Sedangkan kebanyakan jemaah dari Indonesia itu usianya sudah tua. Itu jadi tantangan,” katanya saat kami berbincang pada Kamis (9/11/2023).
Terkadang ada jemaah yang harus berangkat seorang diri padahal kondisi fisiknya sudah tidak baik lagi. Lina dan dua kakaknya menjadi saksi sekaligus memutuskan membantu seorang nenek satu kloter dari Blora dengan kursi roda yang berangkat tanpa pendampingan keluarga lainnya.
Lina yang saat itu menyandang status mahasiswa UGM masih ingat, beberapa waktu jelang keberangkatan ke Arab Saudi, ada keluarga jemaah haji yang menghubungi. Melihat Lina dan kedua kakaknya menjadi jemaah paling muda dan prima secara fisik, keluarga itu memohon bantuan.
“Jadi ada nenek usia 80-an yang mau berangkat tapi kondisinya berkursi roda. Kebetulan tidak ada keluarga yang bisa ikut. Keluarganya minta bantuan kami untuk mendampingi selama haji,” paparnya.
Membantu seorang nenek yang sakit
Mendengar permohonan tersebut, orang tua Lina awalnya tidak serta merta mengonfirmasi untuk memberi bantuan. Haji merupakan momen yang sudah lama ditunggu. Ia ingin anaknya bisa menjalani dengan khusyuk.
“Ibu mikirnya kami masih muda dan belum terbiasa merawat orang sakit,” terangnya.
Namun, setelah memikirkannya secara matang dan ketiga anak muda ini menyanggupi, akhirnya mereka memutuskan untuk memberi bantuan. Bagi Lina, haji bukan sekadar urusan ibadah antara manusia dengan Tuhan namun melibatkan relasi antarmanusia juga.
Terlebih, ia mengaku beruntung bisa berangkat ke Tanah Suci di usia muda dengan fisik yang masih kuat. Keberuntungan inilah yang ingin ia jadikan manfaat ke orang lain.
Secara umum, nenek itu masih bisa mengurus diri saat berada di hotel. Namun, saat menjalani rukun-rukun haji seperti tawaf di Masjidil Haram hingga wuquf di Padang Arafah, peran Lina dan kedua kakaknya menjadi penting.
“Kebayang nggak sih di padang pasir kami tuh bawa kursi roda. Rodanya selip gitu jadi berat banget,” paparnya.
Beruntungnya, saat sedang dalam antrean panjang menuju bus untuk keluar dari padang pasir, mereka mendapat kemudahan. Membawa nenek berkebutuhan khusus membuatnya didahulukan untuk segera naik ke dalam kendaraan.
“Kami bertiga, dua kakak saya ngangkat kursi roda di kiri dan kanan karena kondisi berpasir roda nggak bisa jalan. Saat itu, saya bawa koper kecilnya neneknya,” kenangnya.
Sosok nenek bernama Tin itu terus terkenang di benak Lina. Sosok tersebut telah tutup usia pada 2019 silam. Setahun setelah pulang dari Tanah Suci. Lina dan keluarganya sempat beberapa kali mengunjungi keluarga nenek tersebut. Ikatan persaudaraan yang terbangun saat haji terus berlanjut.
Kondisi fisik prima membuat ibadah lebih maksimal
Selain membantu sesama jemaah, ada satu pengalaman menarik buat Lina. Haji di usia muda saat masih jadi mahasiswa UGM membuatnya bisa memaksimalkan kesempatan umrah selama masih berada di Mekkah. Jika biasanya jemaah haji melakukan 1-3 kali umrah, ia bisa melakukannya sampai lima kali.
“Kenikmatan ibadah karena fisik yang kuat itu berpengaruh banget,” ungkapnya.
Sebagai informasi, rukun umrah ada lima yakni niat ihram, tawaf, sa’i, memotong rambut, dan tertib. Secara umum pelaksanaannya tentu lebih ringan daripada haji. Namun, tetap membutuhkan fisik yang prima karena saat musim haji Masjidil Haram penuh dengan jemaah sehingga berdesak-desakan.
“Supaya nggak berdesakan, bisa tawaf di lantai atas tapi lingkarannya lebih jauh. Sedangkan saat tawaf, keinginan semua orang kan menyentuh Ka’bah,” paparnya.
Saat rangkaian haji, Lina dan saudaranya juga menemani nenek tersebut untuk mengelilingi Ka’bah. Selepas itu, mereka mengulangi lagi ritual itu secara lebih optimal demi mendapatkan kepuasan beribadah.
Lina mengaku beruntung berkesempatan haji di usia muda. Selain urusan fisik, semakin lama menunda haji membuat masa tunggu berangkat ke Tanah Suci bertambah panjang. Lama masa tunggu antrean haji lama tergantung dengan wilayah masing-masing. Pada 2023, masa tunggu jemaah Indonesia bervariasi antara 11 sampai 43 tahun. Durasi yang cukup panjang ini berlaku untuk haji reguler.
“Berangkat haji di usia muda, selain senang karena bisa beribadah, juga bisa bermanfaat untuk sesama,” ungkapnya.
Lina merupakan perempuan asli Blora, Jawa Tengah. Di kampung halamannya, masih ada tradisi menggelar syukuran bagi keluarga yang baru saja pulang dari haji. Pengalaman pulang mendapat sambutan itu menjadi satu hal yang unik buat perempuan yang saat itu masih jadi mahasiswa UGM ini.
“Ada kepercayaan kan kalau baru pulang dari Mekkah itu doanya mudah terijabah. Maka tetangga itu pada minta didoakan,” kenangnya tersenyum.
Rasanya haji saat masih menjadi mahasiswa UGM
Sebagai informasi, terdapat tiga jenis program haji di Indonesia. Ketiganya yakni haji reguler, haji khusus dengan durasi tunggu keberangkatan lebih cepat, dan haji mujamalah atau furoda yakni undangan langsung dari Kerajaan Arab Saudi.
Lina, dua kakak, dan ibu bapaknya mendaftar haji pada 2011 lewat program reguler. Kedua orang tuanya mendapatkan giliran berangkat pada 2017. Sementara ketiga anaknya menyusul setahun kemudian.
“Saat itu untuk mendapat kursi antrean biaya awalnya sekitar Rp25 juta dari total sekitar Rp75 juta. Sisa kemudian diangsur. Namun, karena pengelolaan dana dari BPKH, ada potongan subsidi sehingga kami hanya membayar sekitar Rp35 juta sebelum berangkat,” kenang Lina.
Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) mengelola dana dari jemaah dengan prinsip syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel. Keberadaannya membuat para jemaah bisa mendapat keuntungan lewat keringanan dari dana yang sudah terkelola selama masa tunggu jelang keberangkatan.
Bagi mereka yang melaksanakan ibadah ini di usia muda, tantangannya adalah pengelolaan waktu. Jemaah muda usia 18-25 umumnya masih dalam proses studi maupun masa awal kerja. Sementara haji memakan waktu sampai 30 hari. Saat itu, Lina yang masih jadi mahasiswa UGM pun harus jeda sementara dari proses belajar.
Namun, bagi Lina, ibadah ini adalah soal prioritas. Haji merupakan ibadah wajib bagi umat muslim yang mampu secara materi dan fisik. Beruntung, pada masa awal pendaftaran, selain dari tabungan orang tua, Lina mengaku salah satu kakaknya sedang mendapat rezeki lebih yang langsung dialokasikan untuk haji keluarga.
“Intinya kembali ke prioritas masing-masing. Bagi keluarga kami, ini prioritas dan kami merasa beruntung bisa menjalaninya dalam waktu berdekatan dan bersama-sama,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pengelolaan Dana Haji Dulu dan Sekarang, Apa sih Bedanya?
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News