Lucerne adalah kota yang indah. Panorama bangunan kuno dibelah Sungai Reuss yang mengalirkan air dari Vierwaldstättersee atau Danau Lucerne membuatnya menjadi incaran pelancong manca, termasuk dari Indonesia. Siang ini, Sabtu, 24 Juni 2017, kota ini ditaburi stan-stan kecil menjajakan makanan dan minuman. Bukan untuk menyambut buka puasa, melainkan memang ada festival musik rakyat; festival tahunan yang digelar secara terpencar di sekujur kota.
Aku berjalan mengelilingi kota ini, terutama di depan toko-toko suvenir dan jam tangan Rolex. Siapa tahu bertemu pelancong Indonesia sebagaimana sekitar tiga bulan lalu. Saat itu aku bertemu tiga puluh turis Indonesia yang dipandu sebuah agen perjalanan di Jakarta. menurut Meita, sang pemandu, para pelancong harus membayar sekitar Rp30 juta untuk dua minggu perjalanan ke lima negara: Italia, Belanda, Prancis, Jerman, dan Swiss.
Hasil kelilingku kali ini nol. Tak ada pelancong Indonesia. Di beberapa ruas jalan aku bertemu beberapa perempuan berkerudung, mungkin dari Timur Tengah atau Balkan. Agak sungkan aku menyapa mereka. Aku pernah menyapa buruh migran Indonesia di Mesir dulu, dan berujung diumpat majikan Arabnya. Lelaki asing seperti aku nyelonong bicara dengan perempuan Arab dianggap melanggar etika. Jangankan bicara, teman kerjaku di pabrik dulu, Kamel asal Tunisia, sempat aku titipi salam untuk istrinya layaknya basa-basi ala Indonesia raya. Temanku itu melotot: kapan kamu kenal istriku, kok titip salam? Duuuh, Gusti!
Pelancong berjilbab beserta keluarganya itu kutebak hendak merayakan Lebaran di Negeri Swiss. Lucerne memang agak sibuk, baik di tengah kota maupun di stasiun, tapi sama sekali tak ada kaitannya dengan kesibukan menjelang Lebaran. Tak ada petasan yang meledak, pun tak ada suara azan.
Aku menelisik Facebook KBRI di Ibu Kota Bern. Tertera tulisan, “KBRI Bern mengundang seluruh Keluarga Besar Masyarakat Indonesia hadir pada perayaan hari raya Idul Fitri 1438 H pada: Minggu, 25 Juni 2017. Pukul 09.00—09.30: sholat Idul Fitri. Pukul 09.30—12.00: silaturahmi/halal bihalal. Di Wisma Duta RI, Hühnliwaldweg 9, 3073 Gümlingen, Bern.”
Aku tak bertandang ke acara halal bihalal itu karena dulu sudah pernah hadir. Kurang lebih suasananya akan serupa. Ada berderet makanan khas Nusantara, ada hiburan dan sambutan duta besar Indonesia. Ada lalu-lalang anak belasteran bule-Indo. Memasuki acara hiburan, biasanya orang mengumbar tawa dan gembira, salam-salaman di sana sini. Baik mereka yang sudah kenal dan saling punya dosa, maupun salaman dulu dosa menyusul belakangan.
Aku menghubungi beberapa kenalanku orang Indonesia di Swiss untuk tahu cerita Lebaran mereka. Yang pertama tersambung adalah Rosmoyo, warga Indonesia yang berdomisili di Lucerne pula. Ia bilang baru saja menelepon orang tuanya di Indramayu. Satu per satu anggota keluarga diajak bicara. Ada rasa sedih menyusup karena tak bisa berkumpul di kampung. Mau tak mau, dengan telepon genggamnya ia bersalaman dengan ayah dan ibu serta semua anggota keluarga.
Aku tanya kepadanya, masak apa untuk Lebaran kali ini? Katanya ia tak mempersiapkan apa-apa. Sudah sepuluh tahun Lebaran di rantau membuatnya jadi terbiasa berlebaran tanpa aksesori.
Lain kisah Nunung Sumiyati asal Jakarta. Ia bercerita kepadaku, 25 Juni besok, pukul 07.00 ia sudah harus berada di masjid di Kota Dottikon. Ia akan salat Idulfitri bersama teman-temannya, kemudian menghadiri open house di rumah salah seorang kawan. Istilah yang kerap dipakai pejabat pemerintah itu ternyata di sini bisa bermakna lain. Bukan pejabat sama sekali yang melakukan open house, tetapi warga biasa. Jumlah tamunya pun tidak banyak, maksimal lima puluh teman saja. Katanya lagi, open house ini tidak hanya dihadiri muslim Indonesia, bisa juga muslim bangsa lain.
Dalam catatan Nunung, ada tiga masjid besar yang dipakai salat Idulfitri di Swiss, yakni di Zürich, Bern, dan Dottikon. Yang di Zürich paling besar pengikut muslim dari Indonesia-nya, sampai dua ratus umat.
Franz Dahler, teolog Katolik almarhum, pernah bercerita bahwa masjid pertama di Zürich adalah masjid Ahmadiyah. Oleh karena Swiss negara liberal, tak ada pertentangan antara umat Ahmadiyah dan muslim di sini. Tak ada bakar-bakaran segala. Perseteruan antara Katolik dan Protestan juga sudah purna cukup lama. Mertuaku sendiri lelaki Katolik, sedang mertua perempuan seorang Protestan. Saat mereka kawin katanya sempat tak harmonis, terutama dari pihak mertua lelaki. Namun, sekarang batas perbedaan itu tak tampak sama sekali.
Aku beralih menghubungi Ida Senn, perempuan asal Riau yang kawin dengan lelaki Jerman. Ia Lebaran bertiga dengan dua anaknya karena suaminya tengah pergi. Sebagai pelengkap Lebaran, ia siapkan opor ayam, soto, dan kue pisang.
Menjelang siang, aku tanya-tanya kepada Desrial Anwar atau akrab disapa Ustadz Aal yang mengajar pengajian di tiga kota. Nama kelompok pengajiannya yakni Percikan Iman di Zürich, Nurul Iman di Jenewa, dan An-Nur di Bern.
Kata Ustadz Aal, sepuluh tahun lalu Lebaran tak begini. Dulu, orang menganggap agama urusan pribadi sehingga yang tak salat dan puasa akan malu datang ke acara Lebaran. Belakangan tumbuh kesadaran baru dari umat untuk mempelajari agama Islam lewat pengajian.
Apa yang diajarkan di pengajiannya? Dilarang keras menjelekkan agama lain, fokus ke agama Islam saja, jawabnya
Di Swiss yang berpenduduk 8 juta jiwa dengan mayoritas pemeluk Kristen, terdapat 700 ribu umat Islam dari berbagai negara. Ada pun warga Indonesia di Swiss berjumlah lebih dari 2.000 jiwa, 700—800 orang di antaranya adalah muslim.
Bagaimana rasanya merayakan Lebaran di tengah lautan umat nonmuslim di jantung Eropa? “Suasananya di sini sepi, tak ada takbiran, tak ada iklan di TV atau media, tetapi spiritnya besar karena tantangan mereka untuk berpuasa besar,” kata Ustadz Aal.
Soal mudik, ia punya pendapat. Mungkin hanya Indonesia yang punya tradisi mudik Lebaran, bangsa lain tidak, termasuk Malaysia. Mudik menurutnya adalah cara yang hangat dari anak-anak untuk menghormati orang tua mereka. Tetapi, ia akui, zaman kini teknologi menjembatani jarak dengan memakai pesan teks, telepon audio, atau telepon video membuat kehangatan berkurang.
Aku tertarik untuk tahu pengalamannya sebagai ustadz di negara sekuler, apa ada hambatan? Ia menyebut dua hal. Pertama, politik dalam negeri Swiss cenderung menyoroti isu tentang kejelekan umat Islam, sementara kebaikannya tak pernah diangkat. Kedua, isu politik di tanah air seperti pilpres dan pilkada DKI Jakarta juga sampai dampaknya di Swiss gara-gara media sosial. Umat jadi terpecah belah.
Sebagai minoritas, ia mengingat pelajarannya di Pondok Gontor dulu: dengan penampilan, orang akan menilai sebelum kenal. Dengan karakter, orang akan menilai setelah kenal. Tiga belas tahun lalu ia tiba di Swiss dan mengalami kesulitan. Atribut Islam berupa baju koko, peci, jenggot panjang, dan jilbab kala itu masih dipandang dengan sentimen negatif sehingga orang Swiss menjaga jarak. Tetapi, ketika sudah berinteraksi dan mengetahui ia suka menolong, orang jadi lebih menghormati.
Terakhir aku menghubungi Maria, orang Rangkasbitung yang kawin dengan suami Swiss. Maria bilang, ia sudah tiga kali pindah, dan selalu saja suasana Lebaran di Swiss tanpa kemeriahan. Ia bandingkan dengan di Rangkas dulu yang mana takbiran sudah dimulai sejak siang. Dulu rasanya memang agak mengganggu, apalagi rumahnya dekat masjid. Pengeras suara bersahut-sahutan. Tapi apa mau dikata, bertahun-tahun menjalani hal sama membuatnya terbiasa. Ketika pindah ke Swiss, Lebaran mendadak terasa lengang.
Happy Lebaran dari tanah Switzerland!