Larangan Membuka Jati Diri Mbah Bungkul dan Harta Karun yang Dikubur Keluarga

Dikenal pembuat pusaka dari Majapahit

harta karun di makam mbah bungkul

Makam Ki Ageng Bungkul dulunya merupakan salah satu tempat wisata religi di Surabaya yang tak pernah luput jadi jujukan para peziarah. Tentu setelah makam Sunan Ampel. Makam Ki Ageng Bungkul—atau yang lebih dikenal dengan Mbah Bungkul—juga sering menjadi tempat bagi beberapa orang untuk bertawasul. 

Entah untuk mencari kamukten (kesuksesan), kasekten (kesaktian) atau bahkan memohon agar diberi jodoh. Namun, kini Makam Mbah Bungkul seperti terasingkan dari hiruk-pikuk Kota Pahlawan. Mojok berkesempatan untuk mengulik informasi mengenai makam tokoh yang juga dikenal sebagai ahli pembuat pusaka tersebut.

***

Surabaya baru saja diguyur hujan deras sejak siang hari pada Selasa, (28/12/2021). Untung saja hujan yang disertai angin kencang itu tidak sampai menimbulkan banjir di jalanan kota. Maka setelah melakukan liputan di Rumah Hantu Darmo Surabaya, saya lantas bergegas menuju makam Mbah Bungkul di Jalan Taman Bungkul, Darmo, Kecamatan Wonokromo Surabaya. Jam di ponsel saya menunjukkan pukul 16.25 WIB, sementara sebelumnya saya sudah membuat janji dengan juru kunci makam Mbah Bungkul untuk bertemu paling cepat pukul 17.00 WIB.

Soebakri Siswanto (63), salah satu juru kunci makam Mbah Bungkul menyambut saya dengan sangat ramah. Pria sepuh itu mempersilakan saya duduk di warung kopi miliknya, persis di sebelah kanan pintu masuk makam.

Damelke teh anget mawon (buatkan teh hangat saja),” ucap saya ketika seorang perempuan—mungkin anak Pak Siswanto—menanyakan minuman apa yang ingin saya pesan.

Pak Sis (sapaan akrab Pak Siswanto) sendiri masih sibuk memberi makan beberapa ekor burung peliharaannya. Baru beberapa saat kemudian pria berkacamata itu mengambil duduk di hadapan saya.

“Saya itu generasi keempat keluarga juru kunci makam Mbah Bungkul. Kalau ada pertanyaan yang bisa saya jawab, tentu saya jawab. Tentu sependek pengetahuan saya saja loh, Mas,” ucap Pak Sis dengan suaranya yang renyah.

“Karena cerita soal Mbah Bungkul itu saya dapat turun-temurun. Tidak tercatat dalam buku,” sambungnya yang diiringi rintik gerimis dan kicau burung dalam sangkar.

Legenda sayembara buah delima

Jika dilacak dari aspek historis-akademik, diakui Pak Sis memang sangat sulit untuk menemukan jejak-jejak riwayat hidup dari Mbah Bungkul. Pasalnya, nyaris tidak ada sumber yang menuliskannya secara khusus. Alhasil, hingga saat ini, narasi-narasi yang mencuat ke permukaan seputar riwayat hidup Mbah Bungkul hanya bersumber dari cerita tutur yang turun-temurun di kalangan keluarga juru kunci sendiri.

Beberapa orang mengatakan bahwa Mbah Bungkul adalah salah satu tokoh penyebar Islam di Surabaya, khususnya di daerah Bungkul. Sehingga tidak sedikit orang yang menyebutnya dengan gelar Sunan Bungkul. Pak Sis sendiri tidak menampik kemungkinan tersebut. Namun, informasi yang ia peroleh dari leluhurnya, Mbah Bungkul merupakan tokoh di luar narasi arus utama mengenai Wali Sanga.

“Kalau bersinggungan dengan Sunan Ampel dan Sunan Giri mungkin iya. Tapi kalau beliau jatuhnya bukan wali. Beliau hanya sosok yang dituakan atau istilahnya sesepuh lah di daerah Bungkul pada masa itu,” jelasnya dengan gaya bercerita yang santai.

Seturut keterangan yang Pak Sis peroleh dari kakek buyutnya, Mbah Bungkul dulunya adalah seorang bangsawan Majapahit di era Prabu Brawijaya V. Ia kemudian memutuskan untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya dan memilih mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ia kemudian tiba dan menetap di daerah Bungkul.

Makam Mbah Bungkul di Surabaya (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

Karena karisma dan kewibawaan yang ia miliki, Mbah Bungkul kemudian didapuk menjadi sesepuh oleh masyarakat Bungkul. Lebih-lebih Mbah Bungkul juga memiliki keahlian dalam membuat benda-benda pusaka. Seperti keris, tombak, dan lain-lain. Mbah Bungkul kemudian disebut-sebut sebagai salah satu penyebar Islam di Surabaya setelah menjalin hubungan baik dengan Sunan Ampel yang pada saat itu telah mendirikan Pesantren Ampeldenta.

“Cerita tentang Mbah Bungkul memang lebih terdengar seperti legenda. Tapi yang paling populer ya cerita soal sayembara buah delima itu, Mas,” tutur Pak Sis.

Cerita yang sudah jamak didengar oleh masyarakat Surabaya, suatu hari Mbah Bungkul membuat sayembara. Ia menghanyutkan buah delima di sebuah aliran sungai di dekat kediamannya di Bungkul. Dalam sayembara itu ia mengatakan, barangsiapa yang menemukan buah delima tersebut akan diambil menantu jika ia laki-laki. Jika ia perempuan maka akan dijadikan saudari untuk putrinya yang bernama Dewi Wardah.

Ternyata buah delima itu ditemukan oleh Raden Paku (Sunan Giri) saat ia mengambil wudu di aliran sungai di sekitar Ampeldenta. Sunan Giri lantas menghadap Sunan Ampel untuk menanyakan perihal buah delima yang memang memiliki aura agak lain dari delima pada umumnya. Sunan Ampel pun menjelaskan mengenai sayembara yang diadakan oleh Sunan Bungkul. Maka hari itu juga Sunan Giri dinikahkan dengan putri Sunan Bungkul yang bernama Dewi Wardah tadi.

“Sebenarnya hari itu Sunan Giri hendak melangsungkan akad dengan putri Sunan Ampel, namanya Dewi Murtasiah. Tapi karena menemukan delima itu, hari itu juga beliau menikahi Dewi Wardah. Alhasil sehari melangsungkan dua akad sekaligus,” papar Pak Sis.

Larangan mengungkap jati diri Mbah Bungkul

Lebih lanjut Pak Sis menjelaskan, jati diri Mbah Bungkul memang sengaja tidak diungkap secara lebih detail. Karena berdasarkan wejangan dari para leluhur juru kunci makam Mbah Bungkul, mengungkap jati diri Mbah bungkul adalah larangan dari Mbah Bungkul sendiri. Itulah kenapa cerita-cerita mengenai riwayat hidup Mbah Bungkul terkesan masih simpang-siur hingga saat ini.

Nama aslinya pun tidak ada yang tahu persisnya siapa. Termasuk dari kalangan keluarga juru kunci sendiri. Yang diketahui orang-orang, Mbah Bungkul memiliki dua nama lain. Yakni Mpu Supo (sebagai julukan karena keahliannya membuat pusaka) dan Syekh Mahmuddin (sebagai nama Islam).

Sekilas mengenai larangan mengungkap jati diri Mbah Bungkul tercatat dalam buku berjudul Oud Soerabaia (1931) yang ditulis GH Von Faber. Dalam buku tersebut ditulis, barangsiapa yang mencoba menguak jati diri Mbah Bungkul secara lebih detail maka akan menemui celaka.

“Dulu saya punya kenalan yang bisa menerjemahkan buku itu. Dan ada bagian yang memang mengatakan kalau Mbah Bungkul tidak ingin jati dirinya diungkap,” ucap Pak Sis.

“Jadi ya biarlah orang tahu bagian (cerita) yang sudah umum saja (seperti yang dipaparkan Pak Sis sebelumnya). Jangan lebih dari itu,” lanjutnya menegaskan.

Diakui Pak Sis, sebenarnya ada banyak mitos seputar makam Mbah Bungkul yang beredar di kalangan masyarakat Surabaya. Namun, setelah dikonfirmasi, Pak Sis selaku juru kunci menegaskan bahwa banyak narasi yang menurutnya kurang tepat.

Pria asli Bungkul, Surabaya itu membeberkan, tidak jarang ia menjumpai beberapa orang yang datang ke makam Mbah Bungkul untuk meminta jodoh. Tidak sedikit masyarakat yang percaya jika berdoa di makam Mbah Bungkul—dalam hal ini adalah berdoa untuk meminta jodoh—maka besar kemungkinan akan terkabul.

Keyakinan tersebut muncul merujuk pada kisah perjodohan antara Sunan Giri dan Dewi Wardah lantaran sayembara buah delima yang diadakan oleh Mbah Bungkul. Dari kisah itu, beberapa menilai bahwa di tangan Mbah Bungkul urusan jodoh bisa terkesan sangat mudah. Itulah alasan beberapa orang yang masih melajang bertawassul di makam Mbah Bungkul. Setidaknya demikianlah yang diutarakan Pak Sis kepada saya.

Selain itu, ada juga orang yang datang dengan tujuan untuk mencari kesaktian hingga gaman (pusaka).

“Memang sering ada yang tawasul buat minta jodoh. Ada juga yang niat mencari kesaktian atau gaman atau apa lah itu. Karena kan Mbah Bungkul (semasa hidup) juga dikenal sebagai ahli pembuat pusaka. Makanya banyak yang percaya kalau meditasi di makam Mbah Bungkul bisa mendatangkan gaman,” tutur Pak Sis.

Makam-makam di area pemakaman Ki Ageng Bungkul atau Mbah Bungkul. (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

Menanggapi fenomena tersebut, Pak Sis sendiri merasa keberatan. Menurutnya, tidak selayaknya makam Mbah Bungkul dijadikan sebagai media untuk melakukan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Apalagi Pak Sis mengaku tumbuh dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang cukup rasional.

Ia lebih menghendaki jika masyarakat berziarah ke makam Mbah Bungkul sebagai bentuk tawadhu kepada Mbah Bungkul. Mengingat Mbah Bungkul dulu merupakan tokoh yang dituakan di daerah Bungkul dan konon juga turut berperan membantu Sunan Ampel dalam proses Islamisasi di Surabaya.

“Jangan yang begitu-begitu lah. Kalau ziarah ya ziarah saja. Cukup kirim Al-Fatihah untuk Mbah Bungkul, tidak usah yang aneh-aneh seperti itu. Kadang orang memang suka ngawur, datang ke makam niatnya sudah bukan karena Allah Ta’ala,” tuturnya sambil menghela nafas panjang.

“Saya sendiri ikut ngurus makam ini sejak masih kecil, Mas. Dan tidak pernah dikenalkan dengan hal-hal semacam itu. Saya resmi jadi juru kunci menggantikan ayah saya juga murni karena tanggung jawab keluarga. Tanpa harus melalui proses tirakat atau hal-hal berbau supranatural seperti itu,” begitu pengakuan pria yang resmi didapuk menjadi juru kunci makam Mbah Bungkuk sejak tahun 1990-an itu.

Mitos lain, sumber air dari sumur di makam Mbah Bungkul dipercaya mengandung banyak khasiat. Mulai dari menyembuhkan penyakit, melancarkan rezeki, melancarkan jodoh, membuat otak jadi encer (cerdas), dan entah apa lagi yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat luas.

Harta karun Mbah Bungkul yang dikubur keluarga

Hermawan (40), salah satu pengurus makam Mbah Bungkul yang juga saya temui petang itu mengatakan, banyak peziarah yang mesti menciduk air dari sumur Mbah Bungkul untuk dibawa pulang.

“Ada yang bawa botol, jirigen, ada juga yang cukup meminumnya di tempat. Mereka percaya kalau air dari sini mengandung berkah. Jadi ya maklum lah kalau air dari sini dibawa pulang dan digunakan untuk tujuan yang bermacam-macam,” terang pria yang akrab disapa Kang Ateng itu.

“Air di sini kami sediakan gratis. Ini kan miliknya Mbah Bungkul. Kami cuma menjaga,” imbuhnya.

Kalau untuk kasus air berkah, Pak Sis mengaku masih bisa memaklumi. Karena air dari sumur Mbah Bungkul itu diyakini mengandung berkah lantaran terciprat doa-doa dari para peziarah. Tentu dengan catatan, sepanjang doa tersebut bukan ditujukan untuk meminta jodoh atau gaman.

“Kalau ilmiahnya itu kan ada ionisasi, ada energi positif yang masuk ke dalam air yang sudah dibacakan doa-doa, Tapi doanya ya harus lillahi ta’ala,” jelas Pak Sis.

Pak Sis menambahkan, ada satu desas-desus yang sudah sangat populer mengenai makam Mbah Bungkul. Yakni adanya harta karun yang terkubur di area makam. Desas-desus ini sempat disalahpami oleh beberapa orang, khususnya dari pencari pusaka. Menurut pengakuan Pak Sis, tidak sedikit orang yang berhasrat untuk menggali titik lokasi terkuburnya harta karun tersebut.

Tapi apakah memang ada harta karun di area makam Mbah Bungkul?

Dengan tegas Pak Sis membantah desas-desus yang sudah terlanjur menyebar luas itu. Pria sepuh berkacamata itu menjelaskan, harta karun yang dimaksud sebenarnya adalah kumpulan pusaka peninggalan Mbah Bungkul.

Pusaka itu pada awalnya disimpan di kediaman kakek buyut Pak Sis sewaktu masih hidup dan menjadi juru kunci. Hingga akhirnya para keluarga juru kunci—termasuk Pak Sis—sepakat untuk menguburkan pusaka itu di area makam Mbah Bungkul. Hanya saja lokasi persisnya sengaja disembunyikan dan tidak dibeberkan ke publik. Termasuk Pemkot Surabaya pun tidak diberi tahu.

Taman Bungkul Surabaya, tidak banyak yang tahu di tempat itu ada makam Mbah Bungkul. (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

“Yang bilang harta karun itu wartawan, Mas. Saya jelaskan apa adanya bahwa itu pusaka Mbah Bungkul yang disimpan keluarga dan dikuburkan setelah melalui berbagai pertimbangan. Malah asal tembak saja, ditulis di makam Mbah Bungkul ada harta karun. Akhirnya ramai,” gerutu Pak Sis.

Tidak heran kenapa banyak pencari pusaka yang berhasrat betul untuk mendapatkan pusaka peninggalan Mbah Bungkul. Pusaka-pusaka milik Mbah Bungkul dianggap sebagai pusaka yang sangat istimewa. Pasalnya, ada mitos yang mengatakan bahwa pusaka-pusaka itu dibuat dengan tangan telanjang Mbah Bungkul Sendiri.

Konon, saat membuat pusaka-pusaka miliknya, Mbah Bungkul hanya perlu membengkokkan besi yang panas dengan tangan kosong. Tapi untuk kebenaran cerita ini, lagi-lagi, Pak Sis menyebut kalau itu adalah cerita legenda yang tersebar dari mulut ke mulut, yang kebenarannya masih bisa dipertanyakan.

“Untuk pusakanya, kenapa tidak diserahkan ke Pemkot (Surabaya) saja, Pak? Barangkali bisa disimpan di museum,” tanya saya penasaran.

“Jadi begini, kenapa akhirnya dikuburkan? Ya itu kan haknya Mbah Bungkul to, Mas. Kami-kami nggak berhak (buat menyimpan). Maka kami kuburkan saja,” tegas Pak Sis.

Terasing dari hiruk-pikuk taman

Pak Sis mengungkapkan, keberadaan Taman Bungkul sedikit banyak berpengaruh terhadap menurunnya jumlah peziarah di makam Mbah Bungkul.

Menurut Pak Sis, dulu sebelum ada Taman Bungkul, makam Mbah Bungkul nyaris tak pernah sepi dari rombongan peziarah yang datang dari luar daerah. Biasanya selesai dari makam Sunan Ampel para peziarah akan singgah juga ke makam Mbah Bungkul.

Namun, kini keberadaan makam Mbah Bungkul seperti tersembunyi; berada di pojok bagian belakang area taman. Pintu masuknya pun tersamarkan oleh banyaknya warung-warung yang berjejer. Jika bukan warga asli Surabaya, pastinya tidak bakal mengira kalau di belakang taman ada makam tokoh besar yang menjadi bagian dari sejarah penjang Kota Surabaya itu.

Termasuk saya sendiri. Menetap di Surabaya sejak 2017, saya justru baru tahu keberadaan makam Mbah Bungkul pada pertengahan 2019. Padahal sudah tidak terhitung berapa kali saya mondar-mandir dan nongkrong-nongkrong santai di area Taman Bungkul.

“Jumlah peziarah kalau dibandingkan antara dulu dengan sekarang otomatis beda lah, Mas. Jelas banyakan dulu,” ujar Pak Sis ditingkahi kicau burung peliharaannya.

“Dulu kan cuma ada makam ini saja, belum ada taman, jadi aksesnya mudah. Kalau sekarang kan sudah ramai dan padat. Orang ziarah kalau rombongan jadinya bingung, ini mau parkir di mana? Kalau jalan kaki masuknya lewat mana?” lanjutnya.

Taman Bungkul sendiri pertama kali diresmikan Pemkot Surabaya pada 21 Maret 2007, tidak lain sebagai fasilitas umum bagi masyarakat Surabaya. Hanya saja di masa-masa itu masih tidak terlalu ramai. Baru ketika meraih penghargaan The 2013 Asian Townscape Award dari PBB sebagai Taman Terbaik se-Asia pada tahun 2013, Taman Bungkul menjadi semakin riuh dan gemerlap. Taman Bungkul selalu padat pengunjung, banyak warung-warung mulai dibangun, dan secara bersamaan membuat keberadaan makam Mbah Bungkul semakin samar dan terasingkan.

“Diketahui atau tidak, kami dari keluarga juru kunci akan tetap merawat makam Mbah Bungkul,” ujar Pak Sis.

“Dulu makam ini juga hampir dibongkar sama Belanda, pas zaman kakek buyut saya masih hidup. Tapi beliau pertahankan dan akhirnya masih ada sampai anak-cucunya sekarang ini,” sambungnya.

Reporter : Muchamad Aly Reza

Editor     : Agung Purwandono

BACA JUGA Seporsi Sego Godog Pak Pethel untuk Mengusir Masuk Angin dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version