Lagu kematian menemani tangis di momen berat kehidupan. Lagu “Putih” dari Efek Rumah Kaca (ERK) adalah salah satu yang terbaik dalam menggambarkan ajal. Nyanyian ini saya putar saat bapak meninggal di Banjarnegara dan momen berat di Jogja.
***
Sejak lama saya menunggu momen menonton penampilan Efek Rumah Kaca di Jogja. Terakhir saya menyaksikan konser mereka pada 2019 lalu. Pada 2023, kesempatan itu datang di Cherrypop Festival. Kesempatan yang tak ingin saya lewatkan setelah gagal menonton beberapa lawatan mereka ke Jogja sebelumnya.
Pada hari kedua penyelenggaraan, Minggu (20/8/2023) pukul setengah sembilan malam, Cholil Mahmud, Poppie Airil, dkk sudah naik ke atas panggung. Saya menikmati hampir semua lagi dari band yang berdiri sejak 2001 silam ini. Namun, ada satu yang spesifik ingin saya dengarkan malam itu yakni “Putih”, sebuah lagu tentang kematian.
Lagu berdurasi sembilan menit dari album Sinestesia yang rilis pada 2015 silam. Lagu ini selalu membuat saya merenung panjang tiap kali liriknya terdengar.
Setelah persiapan usai, tanpa basa-basi, Cholil dkk langsung memainkan musik mereka. Petikan bas lembut Poppie dan pukulan drum pelan dari Akbar Bagus langsung menyita perhatian. Penonton bertepuk tangan lalu beberapa detik berganti menjadi tenang. Malam itu di luar dugaan saya, “Putih” jadi pembuka penampilan.
Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulans
Dua baris pembuka lagu tentang kematian ini membawa penonton ke dalam suasana tenang. Suara penonton yang ikut bernyanyi lantang tetap terdengar, tapi dengan khidmat layaknya menyanyikan sebuah lagu yang sakral.
Dengan lirih saya ikut melantunkan liriknya. Mata saya mulai memerah, selain karena area konser di Asram Edu Park, Sleman yang berdebu, pikiran saya terbayang prosesi kematian. Lirik lagu ini menggunakan sudut pandang orang pertama. Merekam momen kematian dengan seakan orang yang mati menyaksikan adegan dari mobil ambulans sampai ke rumah duka.
Lagu kematian saat bapak mengembuskan napas terakhir di Banjarnegara
Awalnya, saya merasa agak lebai karena merasa begitu terbawa suasana kesedihan dari lagu kematian ini. Namun, di samping tiba-tiba seorang lelaki seusia saya sudah berulang kali mengusap mata. Tatapannya mengarah ke panggung, mulutnya merapalkan lirik lagu ini pelan-pelan.
Entah apa yang sedang ia pikirkan saat itu. Bayang-bayang kematian di masa depan atau memori berat yang ia lewatkan di masa lalu. Satu hal yang jelas, di momen itu pikiran saya seketika kembali ke Oktober 2022 lalu.
Bapak, sosok yang dulu begitu dekat dengan saya tutup usia. Umurnya masih 53, tapi penyakit yang cukup kompleks menggerogoti tubuhnya. Hubungan kami cukup unik, sejak 2014 kami berdua tidak pernah bertatap muka bahkan sekadar untuk berbalas kabar.
Pertemuan kami baru terjadi saat ia terbaring lemah di sebuah rumah sakit swasta di Banjarnegara. Saya baru mendapat kabar tentang kondisinya setelah ia tiga hari dirawat di ruang gawat darurat. Kabar yang membuat saya langsung meninggalkan semua urusan di Jogja dan langsung memacu motor ke kampung halaman.
Saat tiba di pintu kamar, saya menengok seorang lelaki yang jauh berbeda dengan yang dulu saya kenali. Ia ringkih. Napasnya tersengal dengan bantuan selang oksigen. Saat saya melangkah mendekat. Air mata menetes, melewati pipinya.
“Bapak masih sadar kamu datang,” kata seorang saudara yang saat itu sedang membantu berjaga. Saat itu, bapak sudah tidak bisa mengucap kata-kata dari mulutnya.
Setelah saya datang di rumah sakit, kondisinya perlahan memburuk. Pertemuan pertama kami setelah sewindu tak berjumpa terjadi sehari sebelum ia meninggal. Momen itu menjadi 24 jam terberat yang pernah saya lewati.
Hujan turun saat ia mengembuskan napas terakhir. Perawat menepuk pundak saya. Sedangkan saya hanya terdiam menyaksikan adik saya yang sudah sesenggukan di samping dipan rumah sakit. Saat itu seperti ada sesuatu yang tertahan dalam diri.
Lagu kematian yang membawa tangis ke Jogja
Saya memutuskan untuk keluar ke parkiran rumah sakit. Di antara gerimis saya sulut sebatang rokok dan memasang earphone nirkabel ke telinga. Lagu “Putih”, sebuah lagu kematian saya putar.
Dan kematian, keniscayaan
(Laa ilaaha illallah)
Di persimpangan, atau kerongkongan
(Laa ilaaha illallah)
Tiba-tiba datang, atau dinantikan
(Laa ilaaha illallah)
Dan kematian, kesempurnaan
(Laa ilaaha illallah)
Dan kematian hanya perpindahan
(Laa ilaaha illallah)
Setelah itu, tangis pecah tak tertahankan. Saya duduk bersandar ke dinding bangunan, tanpa memedulikan gerimis dan orang yang lalu lalang.
Ingatan tentang momen itu kembali membuat mata saya basah di antara kerumunan penonton panggung utama Cherrypop Festival. “Putih” adalah lagu kematian paling dalam yang pernah saya dengar.
Lagi kematian yang memberi kelegaan
Pendengar ERK lainnya juga menuturkan kesan mendalam tentang lagu ini. Di kolom komentar YouTube yang menayangkan lagu “Putih”, banyak cerita tentang bagaimana lagu ini mengingatkan mereka pada memori kematian orang terdekat.
“Setahun lalu, saya sering dengerin lagu ini bareng almarhum bapak. Sekarang, saya dengerin ini di ruangan sendiri. Pecah air mata saya. Malu sama ibu, belum kuat jadi pengganti bapak sebagai kepala keluarga,” tulis @ibrahimdk.
Namun, pada bagian kedua lagu itu, penggalan lirik menggambarkan bahwa selalu ada kehidupan yang datang di antara kematian-kematian. ERK terkenal liriknya yang tidak cengeng dan mendayu-dayu. Pada lagu ini, ia mendeskripsikan adegan demi adegan yang membuat orang merefleksikan bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan.
Lirik lagu kematian ini pada akhirnya memberikan suatu kelegaan di dada. Itu pula yang saya rasakan saat memutuskan mendengarnya, beberapa menit selang kematian bapak.
Lagu yang memberikan harapan
Pada bagian awal, lirik lagu ini mendeskripsikan ketiadaan. Terinspirasi dari sosok Adi Amir Zainun, sosok kerabat awak ERK yang meninggal sebelum lagu ini tercipta. Sementara bagian kedua, tentang “ada” yang menggambarkan harapan untuk anak-anak mereka.
“Ide tentang ‘ada’ bermula dari kebahagiaan akan lahirnya anak-anak kami, penerus penerus kami, harapan-harapan kami. Lagu ini kami dedikasikan untuk mereka,” tulis Cholil pada siaran pers resmi saat mengeluarkan album Sinestesia 2015 silam.
Putih berjajar dengan lima lagu lainnya di album Sinestesia. Album yang cukup berani buat ERK lantaran menghadirkan komposisi musik yang kaya dengan daftar lagu yang semuanya berdurasi panjang.
Usai mementaskan lagu “Putih”, ERK membawa langsung menaikan temponya dengan tembang-tembang lain seperti “Seperti Rahim Ibu”, “Di Udara”, “Mosi Tidak Percaya”, dan beberapa lagu dari album Rimpang yang mereka rilis tahun ini.
Di sebelah, lelaki yang tadi berulang kali mengusap mata mendengar lagu kematian, kini sudah berjingkrak bahagia. Ikut menyanyi lantang bahkan mengepal tangan pada lagu-lagu ERK yang memang sarat akan pesan politik dan perlawanan.
Debu-debu dari tanah yang kering di musim kemarau berterbangan. Animo kembali hidup. Saya pun kembali sadar bahwa kematian adalah keniscayaan. Harapan dalam hidup harus terus dijaga meski kematian nyata menunggu di depan.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Hasrat Asmara Raja Mataram Islam yang Berakhir di Istana Kematian Jogja
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News