Warung Kopi Mbah Ito Lamongan, Rahasia Ampas Kopi dan Air untuk Menyeduh

Ilustrasi Warung Kopi Mbah Ito Lamongan, Rahasia Ampas Kopi dan Air untuk Menyeduh. MOJOK.CO

Warung Kopi Mbah Ito, begitu khalayak Lamongan dan sekitar menyebutnya. Tak goyah selama hampir 50 tahun berdiri. Keistimewaanya ada pada ampas kopi dan air yang digunakan untuk menyeduh.

***

Tidak sedikit warga Lamongan yang mengklaim, bagi para pencinta kopi, belum lengkap rasanya kalau ke Lamongan tidak mampir ke warung legendaris Warung Kopi Mbah Ito.

Sebagai warga Lamongan, saya sendiri penasaran dengan warung kopi ini. Sudah sering saya dengar, tapi belum sempat mampir. 

Pada Sabtu (29/4/2023) saya bersama seorang kawan pun berangkat menuju kedai kopi yang melegenda itu. Meskipun sama-sama berada di Kabupaten Lamongan, saya masih perlu menempuh waktu satu jam dengan perjalanan. Warung kopi ini  berada di daerah Paciran, Lamongan, tepatnya di Jl. Raya Daendels RT 02, RW 02.

“Ini serius di sini?” saya bertanya keheranan. Bukan karena apa, warung kopi Mbah Ito ini benar-benar sederhana selayaknya warung kopi biasa yang ada di pedesaan. 

Selain pengunjungnya yang membludak memenuhi tempat duduk di depan dan di belakang warung, saya belum menemui keistimewaan apa-apa.

Ampas kopi yang mengambang

Sampai tibalah pesanan saya: kopi hitam. Cangkir kopi di sini mungkin seperti cangkir kopi di kebanyakan warung, tetapi ciri khas atau pembeda dengan kopi lain akan terlihat ketika membuka tutup cangkir. 

Tampak ampas kopi mengambang ke atas hingga menutupi seluruh muka cangkir. Merasa penasaran dan hendak kembali pada tujuan awal: menggali informasi kenapa Warung Kopi Mbah Ito menjadi warung legendaris.

Adalah Pak Aris (45), pria yang saat ini mengelola Warung Kopi Mbah Ito. Aris merupakan menantu dari Mbah Ito. 

Secangkir kopi di Warung Kopi Mbah Ito, Lamongan. MOJOK.CO
Secangkir kopi di Warung Kopi Mbah Ito, Lamongan. (Achmad Uzair Assayaakir/Mojok.co)

Mbah ito sendiri sebenarnya tidak mempunyai anak, jadi beliau mupu alias mengambil keponakannya kemudian mengangkat sebagai anak. Tahun 1999, Pak Aris menikahi Ibu Munik, anak angkat dari Mbah Ito. Hingga kemudian beliau turut mengurus warung. 

Sekitar lima tahun yang lalu, Mbah Ito meninggal dunia. Pak Aris kemudian secara resmi ditunjuk sebagai pewaris yang bertugas meneruskan tongkat estafet dari almarhum Mbah Ito.

Sejarah Mbah Ito

Fakta yang jarang diketahui para penikmat seduhan kopi warung Mbah Ito adalah bahwa ternyata pada mulanya Mbah Ito tidak menjual kopi, melainkan es campur. Suatu ketika Mbah Ito bereksperimen membikin racikan kopinya sendiri. Tak dinyana, racikan kopi tersebut berhasil menggaet hati para pelanggan. 

Dari sana kemudian kopi Mbah Ito ini melegenda hingga sekarang. Kopi Mbah Ito berdiri sejak tahun 1975. 

“Kopi Mbah Ito itu banyak yang nanya, kenapa kok laris, kok beda kopinya padahal sama-sama kopi. Ya memang, tapi kalau di sini ini kan jenis kopi pilihan, terus cara raciknya juga beda,” kata Pak Aris.

Misal, di sini kopi diracik menjadi satu cangkir, kemungkinan warung luar atau orang lain meraciknya menjadi dua atau tiga cangkir kopi. Kepekatan kopi di Mbah Ito sejak awal berdiri memang seperti itu, tetap dipertahankan. 

“Jadi saya ikut meneruskan saja, tanpa ada perubahan. Seandainya itu saya ubah, mungkin ini (warung kopi) endak se-ramai ini juga,” katanya. 

Pak Aris beranggapan jika mengurangi kepekatan kopi, takutnya langganan warungnya bakal mempertanyakan cita rasanya. Ia tidak ingin pelanggan warung kopi bertanya, setelah Mbah Ito meninggal kok rasanya beda

Maka Pak Aris, benar-benar mempertahankan racikan Mbah Ito. Bahkan ketika harga kopi bertahap membubung tinggi, warung Mbah Ito tetap mempertahankan harga sekaligus kualitasnya.

Kentalnya kopi Warung Mbah Ito

Tak ingin kepulan asap panas kopi hilang dimakan angin laut, pelan-pelan saya menyesap kopi legendaris itu. Saya akui kepekatan beserta kuatnya aroma kopi ini lain daripada yang lain. Tak ingin terjebak dalam kotak bias subjektif, saya teringin mendengar suara penikmat kopi lain yang ada di seberang meja saya.

Achmad Ibrahim Mashudi (23) mengaku jarang mampir ke warung Mbah Ito. Hanya ketika tengah berkunjung ke rumah kekasihnya, ia melipir untuk rehat sejenak sambil minum kopi. 

Awal mencicip kopi Mbah Ito, sontak muncul tiga kata dalam kepalanya, “full ampas kopi”. Namun, ketika ia menyingkirkan ampas yang timbul lalu perlahan mereguk kopi tersebut, ia mendapati rasa yang benar-benar kuat. “Kekentalan kopinya benar-benar beda dari kopi-kopi biasanya,” ujarnya.

Sementara Imam Tobroni (21) yang mengaku sebagai pelanggan setia warung ini punya sudut pandang lain. Pria yang bertempat tinggal cukup dekat dengan warung Mbah Ito ini telah menjadi saksi mata sekaligus saksi lidah betapa konsistennya cita rasa kopi di sini. 

“Sudah sejak saya masih SMP, Mas, sampai sekarang saya sudah semester 8 kuliah. Dari dulu ke warung Mbah Ito ini ya sama teman-teman, sampai sekarang ya masih sama. Saya kurang percaya kalau dengar desas-desus pake ‘penglaris’ gitu-gitu. Lha wong entah diseduh di sini atau dinikmati di rumah rasanya tetap enak dan gak berubah og,” jelas pria itu sembari mengisap rokoknya.

Rahasia ada di biji kopi dan air untuk menyeduh

Pak Aris angkat bicara kenapa ampas kopinya begitu banyak hingga nyaris tumpah. Yang pertama ialah karena kopinya sendiri. Sejak dari biji kopi hingga siap seduh, pembuatannya secara manual. Misalkan, penyangraian biji kopinya menggunakan kuali tanah. Hal tersebut amat berpengaruh terhadap kesedapan dan cita rasa kopi.

Kemudian yang kedua karena airnya. “Air yang dipakai bukan air yang baru mendidih, melainkan harus air yang masaknya selama hampir satu hari,” seketika saya melongo.

Warung Kopi Mbah Ito, warung sederhana legendaris. (Achmad Uzair Assayaakir)

Prosesnya, setelah subuh, air dimasak sampai malam sekitar jam satu. Api harus tetap menyala tanpa pernah padam. Istilah untuk pemasakan air yang beda daripada yang lain ini adalah ‘dimasak sampai tua’. 

Jika ada yang bertanya tentang rahasia kopi Mbah Ito, terang saja Pak Aris menjawab proses pemasakan airnya-lah yang memiliki peran penting. Ia juga menegaskan tidak ada yang istimewa dari cara mengaduk kopi di Warung Kopi Mbah Ito. Semua orang bisa mengaduk kopi sebagaimana cara Pak Aris atau Mbah Ito. 

Yang menarik perhatian saya berikutnya ialah setiap meja di warung tersebut disediakan semacam wadah mangkuk kecil yang terbuat dari stainless steel. Setelah saya tanya, wadah tersebut memang disediakan sebagai tempat membuang ampas kopi. “Jika tidak disediakan, bisa-bisa sampah ampas kopi bercecer di mana-mana, Mas,” jelas Pak Aris. 

Pelanggan dari berbagai kota dan kalangan

Ampas kopi yang telah memenuhi wadah biasanya akan dibuang agar wadahnya bisa dipakai Kembali. “Tapi kadang ada orang yang minta untuk dibuat pupuk, juga minuman hewan entah sapi atau apa, gitu,” imbuh Pak Aris.

Pak Aris menjelaskan, pelanggannya dari berbagai kalangan. Mulai dari pejabat di Lamongan hingga rakyat biasa. Tidak sedikit pula, pelanggan yang berlangganan sejak masih sekolah, hingga sudah berkeluarga. 

Ada pelanggan yang menikmati kopi di warung, tapi ada juga yang memilih membeli kopi bubuk untuk kemudian menyeduhnya di rumah. Tidak sedikit pelanggan dari luar kota yang membeli secara online melalui pesan WhatsApp seperti dari Banjarmasin, Papua, dan Jakarta. 

Ia belum merambah penjualan kopi bubuk ke e-commerce karena khawatir bakal kewalahan menerima pesanan yang membludak.

Menjawab penasaran tentang pakai penglaris

Sebagaimana warung yang ramai pada umumnya, warung kopi Mbah Ito ini juga tak terlepas dari dugaan penggunaan pelaris atau penglaris. Menanggapi asumsi tak berdasar tersebut, Pak Aris menantang dengan terbuka.

“Bagi siapa saja yang beranggapan seperti itu, silakan datang ke rumah saya, wong rumah saya itu lampunya seperti kapal. Mana ada tuyul yang betah sama lampu terang. Nggak ada yang saya sembunyikan di sini. Saya terbuka.”

Mbah Ito juga tidak mempermasalhkan jika ada orang yang membuka warung kopi dengan bubuk kopi dari warungnya. “Saya nggak masalah, kita itu sama-sama cari rezeki. Tuhan yang menentukan. Ketentuan rezeki itu wes ada yang ngatur. Meskipun semisal di sebelah sini (samping warungnya) mau jualan, kalau rezeki kan beda-beda. Nggak ada rezeki tertukar itu, nggak ada,” ujar Pak Aris sambil terkekeh.

Menu dan keseharian warung

Menyandang gelar ‘kopi yang melegenda’ agaknya tidak membikin pengelola Warung Mbah Ito asal memberi harga. Sebagaimana harga di warung-warung biasanya, Pak Aris bersama beberapa karyawannya membanderol harga kopinya seperti biasa yakni Rp4 ribu rupiah. 

Pengunjung di Warung Kopi Mbah Ito. (Achmad Uzair Assayaakir/Mojok.Co)

Adapun menu khas lainnya di sini adalah kopi susu (5 ribu rupiah), ada juga sutik (susu sitik) yaitu kopi plus susu sedikit (4 ribu lima ratus rupiah), ada pula neskop (nescafe + kopi + gula) (4 ribu rupiah). 

“Satu lagi yang agak nyeleneh, mereka yang mengaku pencinta kopi itu tidak mau dikasih gula alias maunya ya kopinya saja. Ampasnya bahkan sampai dimakan,” tambah Pak Aris. 

Ibu Munik yang berada di sebelah Pak Aris menambahkan dalam sehari, warungnya bisa menghabiskan bubuk kopi hingga 20 kilogram. Saya tidak terkejut mengingat warung ini yang selalu ramai sedari buka pukul setengah enam pagi hingga tutup saat tengah malam.

Warung Kopi Mbah Ito yang tak pernah sepi pengunjung, karenanya ia mempekerjakan enam karyawan dan membanginya menjadi dua shift, siang dan malam. 

Warung Kopi Mbah Ito buka cabang

Mbah Ito 2 kemudian lahir pada tahun 2020. Tidak ujug-ujug berdiri, cabang kedua ini membutuhkan kerja keras yang terbilang berat. Tempat bakal cabang kedua ini penuh pohon pisang hingga semak belukar. Juga jika mau menjadi tempat nongkrong yang layak, maka mau tidak mau perlu pengurukan karena area tersebut lebih rendah. Takutnya bakal terdampak banjir jika sedang musim hujan. 

Namun, usaha tidak mengkhianati hasil, cabang kedua kini telah berdiri dengan suasana asri nan begitu teduh di Jl. Sunan Drajat No.97, Banjaranyar, Banjarwati, Paciran, Lamongan.

“Kalau di Mbah Ito 1, pelanggannya kebanyakan penduduk sekitar daerah ini. Tua-muda, pelajar-pekerja. Kalau mahasiswa-mahasiswa lebih sering nongkrong di Mbah Ito 2 karena tempatnya lebih teduh. Nah kalau di sana (Mbah Ito 2) karyawan saya ada dua, Mas,” tambah Pak Aris.

Penulis: Achmad Uzair Assayaakir
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mereka yang Hatinya Tertambat di Surabaya, Kota Tanpa Perasaan

Cek berita dan artikel lainnya di Google News.

Exit mobile version