Warteg Pertama di Jogja Pamit Tutup Selamanya, Ucapkan Terima Kasih untuk Mahasiswa Jogja yang 25 Tahun Menemani Usaha Keluarga

Ilustrasi Warteg Glagahsari (Ega/Mojok.co)

Warteg Glagahsari, pionir warteg di Jogja yang sudah buka sejak 1999 silam umumkan berhenti beroperasi. Perjalanannya, telah menemani banyak mahasiswa selama kuliah di Jogja.

Kabar mangagetkan itu datang lewat sebuah pesan WhatsApp yang masuk pada Sabtu (1/6/2024) malam. Muhammad Cholid (42), pemilik Warteg Glagahsari mengirim sebuah poster bergambar kolase foto warungnya dengan tulisan “Kami Pamit”.

Sekitar dua tahun lalu, saya pernah berkunjung dan berbincang panjang dengan Cholid seputar perjalanan usaha milik keluarganya. Sambil menyicipi menu-menu masakan warteg yang terasa otentik.

Ada sekitar 15 jenis lauk mulai dari telur dadar, ayam dan lele goreng, hingga aneka gorengan. Sayurnya juga sampai 20 macam, ada sayur sop, aneka sayur berkuah santan, hingga oseng-osengan.

Menu khas di warteg ini adalah nasi lengko. Makanan khas daerah Tegal dan sekitarnya yang terdiri dari nasi, tahu goreng, dan beberapa jenis sayuran yang dipadukan dengan sambal.

Namun, pesan lewat WhatsApp itu membuat saya sadar tak bisa merasakan lagi masakan-masakan nikmat resep keluarga Cholid. Saat kami berbincang lewat telepon, ia berujar bahwa banyak faktor yang membuat keluarganya memutuskan menutup usaha tersebut.

“Banyak faktor. Mungkin masanya memang cuma sampai di sini. Semoga ini yang terbaik,” ungkapnya.

Tergoncang sejak pandemi, tak kunjung bangkit

Lelaki kelahiran Tegal ini berujar bahwa warungnya sudah mengalami goncangan sejak masa pandemi. Sempat ada harapan setelah pandemi usai, warungnya bisa kembali berkembang.

“Tapi ternyata masih cukup berat, akhirnya kami putuskan tutup,” tuturnya.

warteg glagahsari.MOJOK.CO
Warteg Glagahsari saat masih buka (Hammam/Mojok.co)

Usaha warteg sudah menemani keluarganya sejak merantau ke sekitar ibu kota. Sebelum buka di Jogja, orang tua Cholid berjualan di Bekasi sejak awal 1990-an. Tepatnya, di dekat sebuah pabrik sepatu sehingga roda perekonomian keluarganya ditopang oleh buruh-buruh pabrik.

“Jumlah karyawan pabrik itu dari yang sekitar empat ribu, dipangkas jadi tersisa ratusan saja,” kenangnya.

Berkat rekomendasi dari seorang tetangga dan riset kecil-kecilan, mereka melihat potensi di Jogja. Sebab, belum ada warung Tegal di Kota Pelajar ini.

Di Jogja memang mereka harus menekan harga jual menu makanan agar lebih terjangkau ketimbang saat berjualan di Bekasi dan Jakarta. Namun, sang ibu punya prinsip bahwa margin keuntungan tipis tidak masalah asal perputarannya cepat.

Baca halaman selanjutnya…

Ucapkan terima kasih, sering pangling saat dikunjungi mahasiswa yang dulunya kurus kini sudah sukses dan gemuk

Warteg yang menemani hidup mahasiswa di Jogja

Hingga akhirnya pada 1999 sebuah warteg dibuka di Glagahsari. Letaknya strategis di dekat beberapa kampus seperti Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), Univesitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST).

Saat mengunjungi warung itu di siang hari, tampak mahasiswa berbondong-bondong meramaikan tempat yang tak terlalu luas itu. Mengerumuni etalase kaca yang berisi lauk, sambil menunjuk-nunjuk menu yang mereka inginkan.

Setelah lebih dari dua puluh tahun berdiri, sudah banyak generasi mahasiswa yang pernah dilayani kebutuhan makannya di warung makan sederhana ini. Banyak di antara mereka yang sudah lulus lalu datang kembali. Kangen dengan masakan khas yang ditawarkan warteg.

“Ya sering ada yang sudah selesai kuliah lalu datang ke sini. Menyapa saya tapi saya lupa sama dia. Pasti saya tanya angkatan berapa karena sudah banyak sekali kan angkatan yang saya lewati,” kenangnya.

Berterima kasih kepada para mahasiswa

Saat ditanya apa hal yang paling berat dari menutup usaha warteg ini, selain urusan ekonomi, kenangan dengan mahasiswa adalah yang paling berkesan. Meski ia mengakui kalau sering lupa wajah-wajah pelanggan lama.

“Paling senang kalau ada pelanggan lama mampir lagi. Saya memang sering lupa, lha dulu kesini pas masih kurus zaman mahasiswa. Balik lagi sudah gemuk-gemuk,” kelakarnya.

Warung ini dikenal dengan nama Warteg Glagahsari. Nama itu tidak pernah diniatkan oleh sang pemilik. Bahkan sejak awal tidak pernah ada nama khusus yang diberikan untuk usaha ini. Di depan bangunannya hanya ada tulisan sederhana “Warung Tegal” dengan cat berwarna biru yang sudah kusam.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Beratnya Bisnis Kuliner di Jogja, 5x Buka Usaha Selalu Gagal, Bahkan Warteg Legendaris hingga Bisnis Gibran pun “Berdarah-darah”

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version