Jogja dan Solo punya kuliner khas dengan nama sama, yakni sate kere. Meski sama, keduanya punya perbedaan yang signifikan.
Dari namanya, sate kere memang tidak semewah sate daging. Potongannya terbuat dari bahan yang harganya relatif terjangkau.
Di Jogja, salah satu warung sate kere yang terkenal adalah Sate Kere Mbah Mardi. Letaknya di Jalan Godean. Saya sempat berjumpa dengan pengelola warung tersebut yang bernama Samijo. Ia mengaku sering mendapati pelanggan yang salah kira.
“Banyak Mas yang datang ke sini, ngertinya sama kaya yang di Solo. Padahal beda,” kata Samijo saat itu.
Sate kere Jogja
Saat berkunjung ke warung tersebut, semerbak aroma amis yang sedap langsung menusuk indera penciuman saat tatkala saya memarkirkan motor. Sate kere ini bahan dasarnya adalah gajih atau lemak sapi. Meski bukan daging, namun komponennya masih berasal dari hewan. Beda dengan versi Solo.
Berdiri sejak 1980-an, warung ini hampir selalu ramai. Begitu buka di sore hari, pelanggan langsung menyerbu. Biasanya, sebelum jam 10 malam, stok sate sudah ludes dilahap pembeli.
Sajian sate ini memang agak unik. Isinya lima tusuk sate kere, kupat, dan sayur dengan kuah bersantan. Harganya Rp12 ribu rupiah per porsi.
Setiap tusuk sate terdiri dari dua bagian. Satu potong daging dan satu potong gajih. Kuah santannya terasa gurih dan agak pedas.
Sementara itu, tekstur kuah santannya tipis, sehingga tak begitu terasa mengganjal saat numpang lewat di tenggorokan. Saat disantap, perpaduan sate dengan kupat sayur ternyata tak aneh seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Samijo menuturkan bahwa orang tuanya, Mbah Mardi yang sudah meninggal, dahulu tidak menamakan sajian ini sebagai “sate kere”. Nama itu justru datang dari pelanggan.
Mulanya, Mbah Mardi berjualan keliling dengan pikulan. Ternyata saat itu sudah ada beberapa penjual sate serupa di daerah Godean, Sleman.
Selain itu, julukan ‘kere’ justru datang dari para pelanggan yang sering datang ke Warung Sate Mbah Mardi. Terutama dari kalangan mahasiswa.
“Mpun dangu (sudah lama) itu mahasiswa yang namain. Katanya murah meriah, jadinya cocok buat orang kere,” jelasnya, tertawa.
Selain di Godean, kalian bisa menemukan sate serupa di Pasar Beringharjo. Tepatnya di Warung Bu Sum. Warung ini jadi salah satu spot kuliner paling ramai di pasar tersebut. Menu andalannya adalah sate kere.
Sate kere Solo
Agak berbeda, sate kere di Solo terkenal dengan bahannya yang berasal dari gembus atau ampas tahu. Sebenarnya, ada juga sate dengan nama yang sama di sana dan berbahan dasar kikil, limpa, hati, dan bagian organ dalam sapi lainnya. Namun, yang paling dikenal di Solo tetap sate kere versi gembus.
Salah satu penjual yang legendaris di Solo adalah Mbah Yem. Warungnya terletak di Jalan Sukoreno, Kemlayan, Serengan, Kota Surakarta. Mbah Yem juga terbilang legendaris. Ia mengaku sudah berjualan sejak zaman penjajahan Jepang saat usianya masih 15 tahun. Artinya jauh lebih lama ketimbang versi di Jogja. Mbah Yem dulunya berkeliling, sebelum mangkal di salah satu tempat karena faktor usia.
Sajian sate gembus ini dipadukan dengan sambal kacang dan kupat. Hal ini semakin membedakan dengan yang berkembang di Jogja.
Benu Buloe, pengulas kuliner di YouTube Cerita Rasa mengungkapkan cita rasa gembusnya itu gurih bercampur pedas karena bumbu kacangnya yang berpadu dengan cabai. Sebelum dibakar, tusukan satenya juga dicelupkan ke bumbu yang berisi gajih sapi.
“Bumbu kacangnya enak banget. Karena dicampurkan ke lemak sapi jadi gurih dan teksturnya semakin berminyak,” kata Benu.
Begitulah, dua sajian sate kere versi Jogja dan Solo. Enak mana? Itu tergantung. Jika kalian penyuka lemak sapi, versi Jogja bisa jadi pilihan. Namun, bagi yang ingin mencicipi uniknya cita rasa ampas tahu yang berpadu dengan bumbu kacang pedas nikmat, Solo jadi pilihan yang tepat.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Empal Bu Warno, Resep Warisan Dapur Luweng Jagalan
Cek berita dan artikel lainnya di Google News