Pertama Kali Makan di Warung Nasi Padang: Jadi Katrok, Kenyang dalam Penyesalan, Hingga Obati Nasib Malang Masa Kecil

Pertama kali makan masakan di warung nasi padang. Kenyang meski menyesal MOJOK.CO

Ilustrasi - Pertama kali makan masakan di warung nasi padang. Kenyang meski menyesal. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Khzanah kuliner Gandika (24) benar-benar makin bertambah semenjak merantau ke Surabaya, Jawa Timur. Dari awalnya hanya tahu nasi pecel, lalu kenal ada warung makan “layar sentuh” bernama warteg. Hingga akhirnya lidah pelosoknya mencicipi masakan di warung nasi padang.

Tentu saja pengalaman pertama Gandika makan di warung nasi padang menyisakan kekonyolan. Sebab, nama warung tersebut saja selama ini tak pernah terlintas di kepalanya.

Penasaran rasa rendang di warung nasi padang, karena cuma tahu di tv

Di Rembang, tempat asal Gandika, bukannya tidak ada warung nasi padang. Ada kok. Terutama di pusat kota.

Hanya saja, rumah Gandika terlampau pelosok. Kalau toh sesekali main ke pusat kota Rembang, bakso tetap menjadi makanan termewah yang dia santap. Alhasil, sebelum akhirnya merantau ke Surabaya, dia tidak pernah tahu rasanya masakan di warung nasi padang.

Sama seperti kesan pertamanya pada warteg, kala merantau di Surabaya, dia juga bertanya-tanya perihal apa istimewanya warung naspad? (Begitu orang-orang menyingkatnya). Pasalnya, keberadaannya tersebar di banyak sekali titik. Dari pinggiran jalan protokol hingga di jalanan kampung Surabaya yang sempit.

“Belajar dari warteg, aku menebak saja kalau warung naspad itu berarti asal padang. Dan ternyata benar. Nah, dari teman kerjaku juga aku akhirnya tahu, kalau warung naspad itu terkenal karena rendang,” ucap Gandika, Senin (5/7/2025).

Gandika tentu saja penasaran. Selama ini, dia hanya tahu masakan rendang melalui televisi dan tayangan YouTube. Belum pernah tahu wujud aslinya apalagi mencicipi rasanya. Lebih-lebih, kata teman Gandika, rendang memang menjadi the best-nya warung nasi padang.

Pertama kali makan di warung nasi padang, dikira kayak warteg ternyata lebih membingungkan (1)

Lama memendam penasaran, suatu kali Gandika mengajak teman kerjanya untuk makan di warung nasi padang. Bagaimanapun, dia tidak mau terlihat goblok sebagaimana dia ceritakan dalam tulisan, “Pertama Kali Makan di Warteg: Mendadak Goblok saat Ditanya “Mau Makan Apa?” Kenyang tapi Menyesal, hingga Tebus Nasib Miris Masa Kecil”.

Kalau makan bareng temannya yang sudah lebih berpengalaman kan paling tidak bisa tanya-tanya. Sayangnya, saat itu sang teman sedang hendak pergi. Sementara rasa penasaran Gandika sudah membuncah.

“Tapi aku sudah tanya dulu, cara pesannya bagaimana? Katanya kok mirip warteg, layar sentuh. Misalnya kalau mau rendang ya tunjuk saja rendang. Kalau nggak yang bilang aja rendang ke pelayannya,” tutur Gandika.

Yang jelas, kata teman Gandika, makan masakan di warung nasi padang tidak akan mengecewakan. Karena pasti kenyang. Terutama jika dibungkus: biasanya porsi nasinya lebih melimpah.

Baca halaman selanjutnya…

Salah paham bikin kenyang dalam penyesalan

Dikira kayak warteg ternyata lebih membingungkan (2)

Tapi saat dia masuk ke sebuah warung nasi padang tidak jauh dari kosnya di Surabaya, apa yang dibilang temannya “mirip kayak warteg” ternyata tidak sepenuhnya benar.

Memang, beragam lauk pauk tersaji di etalase. Masalahnya, untuk orang yang lebih familiar dengan pecel atau soto, Gandika tidak tahu harus menyebut nama menu apa untuk dipesan.

Untuk mengatasi malu, Gandika akhirnya berpura-pura sok menengok piring-piring berisi lauk saat ditanya, “Mau bungkus apa?”, sambil terus berpikir keras, kira-kira apa yang mau dia bungkus?

“Sebenarnya kan ada beberapa lauk yang aku familiar, ada ayam goreng, ada telur dadar. Tapi entah kenapa aku refleks nyebut rendang. Mungkin karena alam bawah sadarku sudah sangat penasaran dengan itu,” kata Gandika disertai tawa.

Salah paham hingga “mak deg” saat totalan

Gandika agak kaget kala melihat hanya sepotong kecil rendang yang dimasukkan dalam bungkusan pesanannya. Untuk nasi semenggunung itu, tapi lauknya cuma satu, duh itu namanya makan rendang lauk nasi. Batinnya.

Gandika lantas meminta tambahan satu potong daging rendang lagi. Merasa lauknya tersebut tidak akan cukup, Gandika akhirnya menunjuk telur dadar.

Untuk nasi, dua potong rendang, dan telur dadar itu, kasir menyebut angka Rp20 ribu sekian yang harus Gandika bayar. “Mak deg”. Mahal juga, pikir Gandika.

“Kukira, karena potongan rendangnya kecil, jadi harganya murah. Ternyata sepotong kecil itu justru yang bikin mahal. Lah aku kan malah beli dua potong,” tutur Gandika.

Terlalu biasa makan di harga Rp10 ribuan untuk sekali makan, tentu saja Gandika agak menyesal kalau harus keluar hingga Rp20 ribu lebih. Tapi sudah terlanjur. Kebodohan seperti saat pertama kali makan di warteg terulang.

Obati ketidakberuntungan masa kecil

Sesampai di kos, tentu saja Gandika jadi tertawaan temannya (lagi). Sebab, pengalaman pertama di warung-warung yang selama ini tidak pernah Gandika coba selalu berakhir sesal karena habis di atas Rp20 ribu.

Tapi saat melihat porsi yang tersaji dalam bungkusan kertas minyak, Gandika menelan ludah. Nasinya menggunung. Bumbu-bumbunya juga tampak sangat menggoda. Terutama tentu saja rendangnya.

Sejak dari gigitan pertama, Gandika begitu meresapi potongan daging rendang tersebut. Membiarkan lidahnya mencecap agak lama sensasi masakan daging yang selama ini hanya bisa dia lihat di televisi dan YouTube. Ya meskipun rendangnya terasa agak alot.

“Bumbu kuning yang bercampur dengan bumbu rendang dan sambal di nasi, itu juga sensasi rasa yang belum pernah lidahku cecap. Nikmat sekali,” ulas Gandika.

Setelah satu bungkus masakan nasi padang itu tandas, perut Gandika terasa sangat penuh. Ternyata sekenyang itu. Ya meski masih ada sedikit sesalnya. Sebab, kalau kata temannya, makan di warung makan nasi padang bisa loh cuma Rp10 ribu-Rp12 ribu. Tergantung lauk yang dipilih.

“Tapi aku lebih sering di warteg sih. Karena harga segitu bisa dapat dua jenis lauk, atau satu sayur dan satu lauk. Karena lidah desaku lebih familiar sayuran yang berkuah-kuah,” kata Gandika.

Teramat jarang dia makan di warung nasi padang, kecuali kalau nemu yang jauh lebih murah. Walaupun rasanya tak seenak yang berharga mahal, yang penting bisa makan nasi kenyang sekaligus rendang. Jenis masakan yang tak pernah dia rasakan sejak kecil.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Penanda Warung Padang Enak dan Autentik di Tengah Tren Padang Murah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version