Warung padang autentik yang menyajikan masakan khas Minang menjadi primadona para penikmat kuliner. Terutama orang yang ingin menikmati masakan padang seperti di tempat asalnya. Sajian yang autentik biasanya bisa tampak dari kuah gulai dan santannya yang medok alias kental.
Tapi ternyata masih ada beberapa hal lain yang bisa jadi penanda autentiknya masakan warung padang. Mojok berusaha memetakan beberapa cirinya dengan berbincang dengan sejumlah penikmat masakan Minang dan beberapa pengusaha.
***
Saat usia beranjak dewasa dan punya penghasilan sendiri, saya punya keinginan untuk mengeksplorasi lebih banyak cita rasa masakan. Salah satunya adalah masakan padang dengan rasa dengan bumbu yang autentik. Sebab, dulu saya hampir selalu makan di warung padang dengan label murah yang harganya relatif lebih terjangkau.
“Ada harga ada rasa,” kata seorang teman beberapa waktu lalu. Ia mengajak saya ke sebuah warung padang yang cukup terkenal dan punya banyak cabang di Jogja.
Saat mencicipi masakan di sana, salah satu ciri yang tampak jelas adalah kuah santannya. Ketika tertuang ke nasi tidak langsung tembus ke dasar menyentuh permukaan piring, melainkan melekat dan menempel pada nasi saking kentalnya santan tersebut. Orang menyebut kuah semacam itu dengan istilah medok.
Melihatnya saja, membuat nafsu makan rasanya meningkat. Saat mulut ini mulai melahapnya, terasa kompleksitas bumbu rempah berbalut gurih santan yang memanjakan lidah. Tak salah jika kocek yang perlu keluar sedikit lebih banyak ketimbang standar mahasiswa pas-pasan seperti saya. Seporsi nasi ayam harganya sekitar Rp25 ribu.
Warung padang autentik
Rasa penasaran terhadap masakan padang membuat saya mengenal sosok Bayu Rahmadani (33). Lelaki kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat ini sudah tinggal di Jogja sejak 2006 silam. Pindah jauh dari tanah Minang, membuatnya mencoba mengeksplorasi warung-warung padang di daerah ini.
“Sebenarnya nggak susah, banyak jumlahnya karena komunitas orang Sumatera Barat di sini juga banyak,” ujarnya.
Bayu adalah putra Jawa kelahiran Sumatra. Meski darahnya Jawa, namun belasan tahun di tanah Minang membuat lidahnya terbiasa dengan ragam makanan bersantan.
Saat di Jogja, ia memindai setidaknya ada tiga jenis warung padang. Pertama warung padang yang pengelolanya memang orang Minang dan menyajikan kuliner dengan bumbu sesuai selera kampung halaman.
Kedua, warung padang milik orang Minang, tapi menyesuaikan dengan cita rasa daerah setempat. Biasanya menyediakan lauk-lauk yang digemari warga sekitar. Lalu cita rasanya juga menyesuaikan, jika di Jogja, penjual akan menguatkan rasa manisnya.
Ketiga, yakni warung padang yang pengelolanya benar-benar orang Jawa. Biasanya, pengelolanya adalah mantan pegawai di warung milik orang Minang yang akhirnya mencoba mandiri. Beberapa di antara warung jenis ini menyediakan masakan layaknya warung asli Minang. Namun, sebagian memodifikasinya jadi padang murah untuk menyesuaikan segmen menengah ke bawah.
“Nah orang biasanya pada menyebut Padang Jawa atau Padang Inyong,” tutur Bayu tertawa.
Bumbu medok jadi nomor satu
Selain urusan pengelola, bagi Bayu penanda autentik yang utama adalah urusan bumbu. Masakan Minang memang mengandalkan bumbu rempah yang kuat dan santan yang kental.
“Kalau yang padang banget itu jelas terasa dari rempahnya yang banyak dan santan yang kental,” jelasnya.
Pengusaha kuliner asal Sumatera Barat lain yang saya jumpai, Maesal Fasri juga berpendapat sama. Menurutnya orang Minang tak main-main urusan bumbu.
Ia juga menambahkan kalau kemampuan masak juga menentukan. Meski meniru resep itu persoalan mudah, tapi detail-detail saat memasak terkadang tak bisa sama. Ada faktor kebiasaan yang banyak berpengaruh.
“Rasa itu nggak bisa ditiru seratus persen. Meniru takaran mungkin mudah, tapi feeling untuk mengaduk, kapan mengangkat, itu sulit. Itu naluri, istri saya, sudah terbiasa sejak kecil, akhirnya tetap mengawasi pegawai ketika mulai buka usaha di Jogja,” terang pemilik Nasi Kapau Uda Jack. Meskin bukan warung padang, menurutnya nasi kapau punya kemiripan bumbu.
Keberadaan menu autentik di warung padang
Faesal juga bercerita kalau ada beberapa menu yang mungkin sulit ditemukan selain di warung padang yang pengelolanya bukan asli orang Minang. Alasannya bisa karena menu tersebut cukup ribet proses memasaknya hingga bahan bakunya yang jarang.
Sosok pensiunan pegawai ini mencotohkan menu olahan ikan bilis yang jarang ada di warung padang, bahkan yang pemiliknya asli Minang. Ikan bilis merupakan satwa endemik dari Danau Singkarak.
“Biasanya pengiriman dari sana. Jadi untuk orang asli Minang yang punya koneksi ke sana lebih mudah. Enak kalau gorengnya pakai balado,” terangnya.
Selain itu ada beberapa menu lain seperti dendeng batotok, gulai tambusu, hingga gulai ikan emas bertelur. Untuk gulai ikan bertelur, menurut Faesal, di Sumatera Barat banyak pembudidaya yang khusus menjual untuk stok warung padang.
Tapi saat di Jogja, cukup sulit untuk menemukan penyuplai ikan mas dengan telur tersimpan di perutnya. Sehingga Faesal pun belum mampu menyediakan menu tersebut. Terkadang ada juga warung padang yang mengganti telur di dalam badan ikan emas dengan telur ikan lain.
Baca halaman selanjutnya…
Tata letak
Tata letak
Selain urusan rasa, tata letak warung padang sebenarnya punya ciri khas tersendiri. Etalase menunya cenderung terletak di bagian depan dekat pintu masuk warung. Berbeda dengan warung kapau hingga warung tegal yang umumnya berada di tengah kemudian dikelilingi tempat duduk.
“Untuk masalah penyajian memang agak beragam. Jenis resto itu modelnya dihidang di meja. Tapi kalau yang agak terjangkau itu langsung diramas mau makan pakai apa nanti penjual mengambilkan,” terangnya.
“Kalau konsep dihidang harganya lumayan. Sayur sampai sambalnya ada hitungan tersendiri. Tapi umumnya memang diramas,” lanjutnya.
Selanjutnya, setelah penjelasan Masri, Bayu masih punya sejumlah pendapat tentang tata letak warung yang jadi penanda cita rasa enak. Sebelumnya, sempat ada unggahan dari akun Instagram @Bapak2id yang menjelaskan sejumlah penanda warung padang enak, termasuk perkara fasilitas dan penataan. Beberapa poin di antaranya yakni keberadaan wastafel, lampu penerangan yang baik, sampai pembungkus makanan yang menyematkan logo warung.
“Sebenarnya menurut saya itu tidak bisa menandakan cita rasa. Itu lebih jadi ciri warung yang konsepnya resto lumayan bagus. Sebab tidak semua warung autentik dan enak itu warungnya bagus. Cukup bersih saja kalau menurut saya,” ujarnya tertawa.
Di Jogja misalnya, ia berlangganan di sebuah warung bernama Ampera Padang yang terletak di sekitar Gowongan. Warungnya kecil dan sederhana, sedikit remang, tapi penjualnya bapak-bapak asli Sumatera Barat dan cita rasa makanannya cukup autentik.
Teh bendera dan rendang hitam pekat
Ada pula anggapan bahwa warung padang enak biasanya menggunakan es batu kristal berbentuk tabung dengan bolongan di tengah sebagai pendingin minuman. Tapi Bayu justru beranggapan bahwa es batu bukan penandanya, melainkan teh yang warung itu gunakan.
“Orang Sumbar itu terbiasa pakai Teh Bendera. Mau buat teh biasa atau teh talua itu cocoknya pakai merek Bendera. Jadi umumnya di warung autentik pakai merek ini,” jelasnya.
Selain teh, salah satu ciri yang banyak muncul adalah keberadaan rendang yang agak gelap. Memang, teksturnya jadi sedikit lebih alot. Bayu bercerita kalau sebagian pedagang memang ragu untuk membuat rendang yang terlalu gelap. Mereka ragu barangkali pelanggan jadi enggan memilihnya karena terlihat kurang empuk.
“Tapi memang untuk orang Sumatera Barat, rendang itu semacam untuk bekal. Jadi biasanya dibuat awet,” jelasnya.
Sejatinya menyesuaikan pasar
Di balik semua penanda dan ciri khas tadi, menurut Bayu setiap warung punya ciri khas dan menu enaknya masing-masing. Ia misalnya, akan pergi ke warung Duta Minang tak jauh dari Tugu Jogja saat ingin menyantap gulai cancang dan sop padang. Sedangkan jika ingin menyantap dendeng batoko dan dendeng kering ia akan berkunjung ke Duta Andalas.
Ia juga tak menampik kalau banyak warung padang murah yang punya menu nikmat. Sepengalamannya, ia pernah menemukan sebuah warung yang menjual nasi ayam bakar seharga Rp10 ribu dan cita rasanya memuaskan.
“Tapi di harga segitu memang untuk bumbu gulainya masih kurang medok,”curhatnya.
Saya juga sempat berbincang dengan Rahmad Fikri (26), lelaki keturunan Minang ini kini mengelola beberapa warung padang rintisan orang tuanya di Sleman. Ia menuturkan kalau di Jogja, berjualan makanan memang perlu menyesuaikan harga agar terjangkau. Kendati begitu, ia tak berani begitu mengorbankan bumbu sehingga tak bermain di segmen padang murah.
“Kalau mengikuti resep dan bumbu dari orang tua ya memang tidak bisa jual semurah itu,” katanya.
“Tapi kalau menyasar segmen pelajar dan pekerja biasa, kita tahu UMR-nya seberapa, jadi ya main standar saja,” sambungnya.
Di Jogja menurut Rahmad standar kebanyakan orang tentang warung padang cukup sederhana. Asal ada daun singkong, sambal ijo, kuah gulai, rendang, dan ayam maka sudah cukup. “Padahal detailnya lebih banyak dan kompleks lagi,” pungkasnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Gulai Tambusu dan Hal-hal lain yang Membedakan Nasi Kapau dengan Nasi Padang dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.