Tata letak
Selain urusan rasa, tata letak warung padang sebenarnya punya ciri khas tersendiri. Etalase menunya cenderung terletak di bagian depan dekat pintu masuk warung. Berbeda dengan warung kapau hingga warung tegal yang umumnya berada di tengah kemudian dikelilingi tempat duduk.
“Untuk masalah penyajian memang agak beragam. Jenis resto itu modelnya dihidang di meja. Tapi kalau yang agak terjangkau itu langsung diramas mau makan pakai apa nanti penjual mengambilkan,” terangnya.
“Kalau konsep dihidang harganya lumayan. Sayur sampai sambalnya ada hitungan tersendiri. Tapi umumnya memang diramas,” lanjutnya.
Selanjutnya, setelah penjelasan Masri, Bayu masih punya sejumlah pendapat tentang tata letak warung yang jadi penanda cita rasa enak. Sebelumnya, sempat ada unggahan dari akun Instagram @Bapak2id yang menjelaskan sejumlah penanda warung padang enak, termasuk perkara fasilitas dan penataan. Beberapa poin di antaranya yakni keberadaan wastafel, lampu penerangan yang baik, sampai pembungkus makanan yang menyematkan logo warung.
“Sebenarnya menurut saya itu tidak bisa menandakan cita rasa. Itu lebih jadi ciri warung yang konsepnya resto lumayan bagus. Sebab tidak semua warung autentik dan enak itu warungnya bagus. Cukup bersih saja kalau menurut saya,” ujarnya tertawa.
Di Jogja misalnya, ia berlangganan di sebuah warung bernama Ampera Padang yang terletak di sekitar Gowongan. Warungnya kecil dan sederhana, sedikit remang, tapi penjualnya bapak-bapak asli Sumatera Barat dan cita rasa makanannya cukup autentik.
Teh bendera dan rendang hitam pekat
Ada pula anggapan bahwa warung padang enak biasanya menggunakan es batu kristal berbentuk tabung dengan bolongan di tengah sebagai pendingin minuman. Tapi Bayu justru beranggapan bahwa es batu bukan penandanya, melainkan teh yang warung itu gunakan.
“Orang Sumbar itu terbiasa pakai Teh Bendera. Mau buat teh biasa atau teh talua itu cocoknya pakai merek Bendera. Jadi umumnya di warung autentik pakai merek ini,” jelasnya.
Selain teh, salah satu ciri yang banyak muncul adalah keberadaan rendang yang agak gelap. Memang, teksturnya jadi sedikit lebih alot. Bayu bercerita kalau sebagian pedagang memang ragu untuk membuat rendang yang terlalu gelap. Mereka ragu barangkali pelanggan jadi enggan memilihnya karena terlihat kurang empuk.
“Tapi memang untuk orang Sumatera Barat, rendang itu semacam untuk bekal. Jadi biasanya dibuat awet,” jelasnya.
Sejatinya menyesuaikan pasar
Di balik semua penanda dan ciri khas tadi, menurut Bayu setiap warung punya ciri khas dan menu enaknya masing-masing. Ia misalnya, akan pergi ke warung Duta Minang tak jauh dari Tugu Jogja saat ingin menyantap gulai cancang dan sop padang. Sedangkan jika ingin menyantap dendeng batoko dan dendeng kering ia akan berkunjung ke Duta Andalas.
Ia juga tak menampik kalau banyak warung padang murah yang punya menu nikmat. Sepengalamannya, ia pernah menemukan sebuah warung yang menjual nasi ayam bakar seharga Rp10 ribu dan cita rasanya memuaskan.
“Tapi di harga segitu memang untuk bumbu gulainya masih kurang medok,”curhatnya.
Saya juga sempat berbincang dengan Rahmad Fikri (26), lelaki keturunan Minang ini kini mengelola beberapa warung padang rintisan orang tuanya di Sleman. Ia menuturkan kalau di Jogja, berjualan makanan memang perlu menyesuaikan harga agar terjangkau. Kendati begitu, ia tak berani begitu mengorbankan bumbu sehingga tak bermain di segmen padang murah.
“Kalau mengikuti resep dan bumbu dari orang tua ya memang tidak bisa jual semurah itu,” katanya.
“Tapi kalau menyasar segmen pelajar dan pekerja biasa, kita tahu UMR-nya seberapa, jadi ya main standar saja,” sambungnya.
Di Jogja menurut Rahmad standar kebanyakan orang tentang warung padang cukup sederhana. Asal ada daun singkong, sambal ijo, kuah gulai, rendang, dan ayam maka sudah cukup. “Padahal detailnya lebih banyak dan kompleks lagi,” pungkasnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Gulai Tambusu dan Hal-hal lain yang Membedakan Nasi Kapau dengan Nasi Padang dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.