Misteri Opor Bebek Bu Suyud yang Hanya Buka Saat Paing dan Kliwon Saja

Nggak ada nasinya.

Ilustrasi misteri opor Bebek Bu Suyud, Hanya buka Paing dan Kliwon saja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Warung Opor Bebek Suyud ini sudah berusia 60 tahun lebih. Hanya buka di hari pasaran Paing dan Kliwon saja. Itu artinya setiap lima hari warung ini hanya buka dua kali. Selain itu di warung ini, tidak menyediakan nasi untuk menikmati  opor bebek. Sungguh misteri.

Tidak hanya itu, menikmati kuliner ini juga berarti harus melewati perjuangan untuk bisa bangun di pagi buta. Opor Bebek Bu Suyud buka mulai pukul 05.00 dan biasanya ludes jelang pukul 09.00. 

***

Warung opor penuh misteri

Pagi masih buta ketika saya melajukan mobil saya dari Godean ke Desa Donokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Tujuannya jelas, ke Warung Opor Bebek Bu Suyud. Bagi saya, opor bebek ini sungguh misteri. Salah satunya karena, buka hanya di hari pasaran Jawa yaitu Paing dan Kliwon. 

Sistem penanggalan Jawa itu memiliki 2 siklus hari yaitu mingguan yang terdiri 7 hari, dari Ahad hingga Sabtu atau disebut saptawara. Ada juga siklus pekan yang terdiri 5 hari pasaran yaitu Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon. Artinya Opor Bebek Bu Suyud buka dua kali setiap 5 hari, yaitu di hari pasaran Paing dan Kliwon. 

Selain penasaran dengan misterinya, tentu saya penasaran dengan cita rasanya. Ada banyak pertanyaan dalam pikiran yang hanya bisa dijawab bila bertemu dengan penerus kuliner legendaris yang ada sejak tahun 1960 ini.

Perjalanan saya pada Rabu Paing (15/02/2023) menuju Opor Bebek Bu Suyud ditemani hujan yang belum berhenti sejak semalam. Hawa dingin khas pegunungan semakin menusuk tulang. Lampu mobil saya tampak terang di jalan yang minim penerangan. Jarak dari rumah saya di Godean ke lokasi yang saya tuju sekitar 20-an kilometer. Sama jaraknya dari Titik Nol Kilometer di pusat Kota Jogja ke lokasi opor legendaris ini.

Tepat pukul 05.00 WIB saya sampai di Opor Bebek Bu Suyud, di Desa Donokerto, Turi. Dari luar, tak tampak seperti warung makan kebanyakan. Bahkan tidak ada tempat khusus parkir. Ada sebuah halaman kecil yang hanya cukup untuk dua mobil saja. Itu pun sudah memakan sedikit bahu jalan. Saya memarkirkan mobil di halaman kecil yang berada di depan rumah bagian samping.

Awal mula Opor Bebek Bu Suyud

Di depan rumah, tampak tumpukan kayu bakar. Hanya ada pintu kayu kecil yang mengarah langsung ke dapur. Warung Opor Bebek Bu Suyud memang bukan berada di tempat khusus layaknya warung. Ini adalah rumah tinggal keluarga Bu Suyud, tepatnya Rusdiah (47) generasi kedua yang meneruskan kuliner ini.

Menurut Rusdiah, rumahnya memang sulit untuk parkir. Selain kontur tanahnya yang menanjak, jalan di depan rumahnya juga merupakan jalan utama yang akan ramai di jam-jam sibuk. “Kalau hanya satu mobil masih bisa, tapi nanti kalau dua sudah susah untuk mengeluarkan kendaraan pribadi kami, karena itu di depan garasi,” ungkapnya.

Bagi Rusdiah, Opor Bebek Bu Suyud ini bukan sekadar warisan, tapi penuh akan kenangan tentang Sang Ibu. Dari cerita Rusdiah, saya tahu bahwa Opor Bebek Bu Suyud ini dirintis oleh mendiang Ibunya sejak sebelum menikah. Saat itu, Ibunya masih tinggal di Desa Karanggeneng. “Dulu, Ibu saya petani salak, bukan penjual opor bebek,” ungkapnya. Menjadi penjual opor bebek adalah tuntutan keadaan yang ibunya alami.

Tangkapan layar depan rumah Opor Bebek Bu Suyud
Tangkapan layar depan rumah Bu Suyud. (Tangkapan layar Google Maps)

Dahulu, di Desa Karanggeneng, Turi, Sleman terdapat 4 penjual opor bebek. Salah satunya adalah bude dari Rusdiah. Seiring berjalannya waktu, 4 pedagang opor bebek itu berhenti berjualan. Seingat Rusdiah menurut cerita dari mendiang Ibunya, dua orang pedagang opor bebek meninggal dunia dan tidak ada yang melanjutkan. Satu orang pedagang opor bebek pindah ke Pasar Pakem, sementara bude dari Rusdiah atau kakak Bu Suyud memilih ikut suaminya setelah menikah.

Bu Suyud kemudian mendapatkan resep opor bebek dari kakaknya yang setelah menikah tidak lagi berjualan. “Saat itu tetangga menyarankan agar ibu saya jualan opor bebek untuk memudahkan mereka cari lauk,” ungkap Rusdiah. Akhirnya, ibunya pun jualan opor bebek di salah satu los di Pasar Srowolan dan dikenal dengan Opor Bebek Bu Suyud.

Berawal dari Pasar Srowolan

Awalnya Bu Suyud hanya berjualan setiap pasaran Wage mengikuti hari pasaran Pasar Srowolan. Namun peminat Opor Bebek Bu Suyud semakin banyak. Tidak hanya dari Desa Karanggeneng, tapi juga dari desa-desa lain di Kecamatan Turi. Karena itu, untuk memenuhi permintaan para pelanggannya, Bu Suyud jualan di Pasar Turi setiap pasaran Paing dan Kliwon.

Pada tahun 1965, Bu Suyud menikah dan pindah ke Desa Donokerto untuk ikut dengan suaminya. Akses yang dekat, membuat Bu Suyud masih bisa berjualan di Pasar Srowolan dan di Pasar Turi. 

“Bedanya, dahulu sebelum menikah, ibu ke pasar masih jalan kaki. Setelah menikah diantar bapak naik sepeda,” ungkap Rusdiah. 

Waktu itu, dalam sehari, ibunya mampu menghabiskan 3 panci yang setara dengan 30 ekor bebek. Peminatnya yang banyak, membuat ibunya tak mampu melakukan semuanya sendiri. Akhirnya ia merekrut 3 orang pekerja. Satu orang pekerja bertugas untuk mencabut bulu dan memotong bebek, satu orang pekerja lainnya bertugas memarut kelapa untuk membuat santan. Satu orang pekerja lainnya bertugas untuk menghaluskan bumbu-bumbu opor bebek. 

Setelah listrik masuk desa, Bu Suyud mulai menghaluskan bumbu dengan mesin penggiling. “Zamannya sudah berubah, bapak saya mengantar ibu ke pasar pakai motor bahkan mobil,” ungkap Rusdiah. Kebetulan, ia juga yang sering ikut mengantar dan menemani ibunya untuk berjualan di Pasar Turi dan Pasar Srowolan jika libur sekolah.

Warisan resep turun temurun

Rusdiah meraih gelar sarjana Akuntansi pada tahun 1999. Ia sempat memilih merantau ke Bekasi selama 2 tahun untuk bekerja dengan pamannya. Namun, ketika Ibunya mulai sakit-sakitan dan kesulitan berjualan opor bebek, ia memilih pulang.

“Saya ingat betul, tahun 2005, Opor Bebek Bu Suyud pernah laku sampai 70 ekor bebek dalam sehari,” ungkap Rusdiah. Empat tahun berlalu, pada tahun 2009, Ibunya tidak sengaja terpeleset hingga menyebabkan kakinya patah. Rusdiah yang awalnya hanya membantu berjualan, kini harus mulai belajar memasak di dapur.

Seporsi Opor Bebek Bu Suyud, kuliner yang buka hanya Paing dan Kliwon. MOJOK.CO

Padahal saya paling tidak bisa memasak,” ungkapnya. Ibunya mulai dengan menyiapkan bumbu-bumbu untuk membuat opor dan memberikan arahan langkah demi langkah untuk meracik dan memasak kepada Rusdiah. Tuntutan keadaan, membuatnya hafal di luar kepala resep dari ibunya.

Mempunyai hobi baru yaitu memasak, membuat Rusdiah dengan senang hati melanjutkan Opor Bebek Bu Suyud. Tahun 2012, bapaknya meninggal, sementara ibunya meninggal di tahun 2018. Sekarang, Rusdiah mengelola Opor Bebek Bu Suyud dibantu oleh suami dan anak-anaknya sebagai bukti cinta kepada orang tuanya.

Alasan Opor Bebek Bu Suyud jualan di rumah

Tinggal di lereng Gunung Merapi menjadi tantangan bagi Rusdiah untuk mempertahankan Opor Bebek Bu Suyud. “Tahun 2010, Gunung Merapi erupsi hebat,” ungkap Rusdiah. Pemulihannya membutuhkan waktu yang lama. Apalagi baik rumah Rusdiah, maupun tempat berjualannya di Pasar Turi dan Pasar Srowolan termasuk zona merah atau zona berbahaya.

Rusdiah terpaksa mengungsi hampir 3 minggu lamanya. Ia bahkan sudah memikirkan kemungkinan buruk tidak akan memiliki rumah lagi. Meskipun lega karena rumahnya masih berdiri tegak, tapi bagian dalam dan luarnya penuh dengan lumpur dan abu vulkanik panas.

Butuh satu bulan untuk Rusdiah kembali menata rumahnya dan mulai berjualan Opor Bebek Bu Suyud. Awalnya, penjualan Rusdiah berjalan lancar. Tetangga sekitarnya masih mempunyai uang untuk membeli opor bebek buatannya. Namun, lambat laun, ia semakin sepi pembeli akibat tetangganya mengalami gagal panen. Penjualan Opor Bebek Bu Suyud pun menurun drastis.

Selain letusan Gunung Merapi, penjualan Opor Bebek Bu Suyud kembali menurun setelah Pandemi Covid-19 melanda. Sejak Desember 2021 hingga saat ini, Rusdiah memutuskan untuk tidak berjualan opor bebek lagi di Pasar Turi dan Pasar Srowolan. Ia saat ini memilih untuk berjualan di rumah.

Nggak ada nasi di Opor Bebek Bu Suyud

Menurut Rusdiah, pasar semakin hari semakin sepi. Jika dahulu pedagang pasar kerap berbelanja opor bebek untuk lauk sarapan, sekarang hanya segelintir orang yang berjualan. Pembeli pun jumlahnya semakin menurun akibat kemudahan teknologi jual-beli online. “Lebih baik buka di rumah, pembeli bisa sekalian melihat proses memasak opor bebek,” ungkapnya.

Rusdiah memasak opor di 3 wajan. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Nah, satu misteri lagi adalah Opor Bebek Bu Suyud tidak menyediakan nasi! Jadi kalau mau makan di tempat ini, sebaiknya pembeli membawa nasi sendiri. “Kan, dulu pas jualan di pasar juga nggak pakai nasi. Konsepmya kami cuma jual lauk oper bebek,” kata Rusdiah.

Menurut Rusdiah, selama ini memang banyak orang-orang yang hanya membeli opor buatannya untuk dimakan di rumah, kalaupun ada yang makan di dapurnya, biasanya bawa nasi sendiri. Alasan lainnya, ia tidak memiliki lahan parkir, sehingga tidak memungkinkan pelanggannya datang dan makan di rumahnya.

Meskipun begitu, Rusdiah menyayangkan lahan rumahnya yang terbilang sempit sehingga tidak ada lahan parkir bagi pembeli. Padahal ia ingin membuat warung makan untuk melayani makan opor bebek di tempat. “Kemarin ada yang menawarkan kerjasama untuk buka di kota,” ungkapnya. Menurut Rusdiah, penduduk di kota lebih konsumtif dan para pekerja cenderung malas memasak dan memilih membeli lauk.

Alasan jualan di hari pasaran Paing dan Kliwon

Meskipun tidak berjualan di pasar, Rusdiah tetap berjualan opor bebek hanya di pasaran Paing dan Kliwon. Mengikuti kebiasaan saat masih jualan di pasar. Alasannya, jika waktu bukanya tidak konsisten hanya akan membuat pembeli kecelik. Selain itu, Rusdiah juga tidak yakin. “Saya takut jika Opor Bebek Bu Suyud buka tiap hari malah tidak ada yang beli atau sedikit pembeli,” ungkapnya.

Rusdiah juga sudah punya jadwal tetap untuk memasak opor. Setiap pasaran Pon, Rusdiah belanja bumbu ke Pasar Beringharjo. Kemudian pasaran Wage dan Legi akan memotong bebek. Sementara pasaran Paing dan Kliwon berjualan Opor Bebek Bu Suyud.

Sampai saat ini, Rusdiah masih melakukan proses memasak sendiri. Seperti menggiling kemiri, membuat santan dari parutan kelapa, dan menggoreng brambang untuk menjaga kualitas rasa.

Bahan baku Opor Bebek Bu Suyud

Bahan baku Opor Bebek Bu Suyud berasal dari Muntilan dan Magelang. “Bebek di sana itu badannya lebih tinggi daripada dengan bebek Jogja,” ungkap Rusdiah. Selama ini, Rusdiah memang selalu menggunakan bebek jenis kalung. Ia memilih bebek yang usianya sudah tua agar ketika proses memasak, daging bebek menghasilkan tekstur yang empuk dan gempi. 

Selain mencari bebek, rutinitas Bu Suyud lainnya adalah membeli bumbu di Pasar Beringharjo. Dulu ia memang sempat mengikuti jejak ibunya untuk belanja bumbu di Muntilan dan Magelang. Namun, perbedaan harga membuat ia memilih berbelanja di Pasar Beringharjo. Rusdiah takut dengan harga bumbu yang terlalu mahal akan berdampak pada harga jual Opor Bebek Bu Suyud dan menurunkan jumlah pelanggannya.

Proses memasak Opor Bebek Bu Suyud menggunakan kayu bakar. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Sedangkan, kayu bakar untuk memasak, ia menggunakan kayu dari Muntilan dan Magelang. “Kayu harus yang keras dan kering,” ungkap Rusdiah. Musim hujan memang menjadi kendala yang kerap ia alami. Pasalnya, kayu yang basah memperlama proses memasak opor bebek.

Memasak opor bebek membutuhkan waktu 3 jam di atas bara kayu. Hal itu agar daging bebek menjadi empuk. Pernah Rusdiah mencoba menggantikannya dengan cara presto. Namun, hasilnya kurang enak, daging bebek menjadi tidak terasa gurih.

Harga terjangkau, belum layani pesanan luar kota

Selain itu, waktu merebus bebek juga berpengaruh pada daya tahan opor bebek. Jika merebusnya dalam waktu yang lama, opor bebek menjadi tidak mudah basi. Kadang pula, jika terdesak keadaan kayu dan tidak kunjung matang, Rusdiah akan memasukkan kuah kental yang telah dibekukan di freezer untuk mempercepat proses pengolahan opor bebek.

Kayu yang basah memang menjadi masalah yang belum terpecahkan bagi Rusdiah. “Hujan sekarang itu tidak tentu,” ungkapnya. Kadang ia semalaman berada di dapur, untuk memastikan api kayu bakarnya nyala,” ungkap Rusdiah. 

Harga Opor Bebek Bu Suyud nggak mahal. Harga untuk bagian leher dan kepala Rp8 ribu dan Rp10 ribu untuk bagian dada dan paha atas. “Sekarang harganya memang sudah jauh meningkat dibanding saat ibu yang berjualan,” ungkapnya. Ia ingat, dahulu harganya hanya Rp150 per potong.

Opor Bebek Bu Suyud belum melayani pengiriman ke luar kota. Meskipun akhir-akhir ini Rusdiah sudah survei jasa pengiriman dan jasa kemasan, termasuk membeli mesin vakum. Sebenarnya ada permintaan opor bebek dari Jakarta. Namun, ia masih berpikir perihal ongkos kirim yang mahal. Ia takut harga jual kembali opor bebeknya semakin tinggi hingga membuat tidak laku.

Ajang silahturahmi dengan pelanggan

Sekarang ini, berkembangnya sosial media membuat pelanggan Opor Bebek Bu Suyud tidak hanya dari Turi dan Sleman saja. Banyak pelanggan yang berasal dari Bantul, Muntilan, Magelang, Jakarta, dan Bali. Bahkan mulai merambah ke mancanegara seperti turis Jepang yang kebetulan sedang staycation di Jogja.

Rusdiah di dapur dan salah satu pelanggan yang sudah 40 tahun. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Meskipun kadang merasa kesal karena kerap menemukan pelanggan yang suka menyerobot antrean dengan mengatasnamakan teman, tapi Rusdiah bersyukur dengan adanya Opor Bebek Bu Suyud bisa menjadi jalan rezeki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjalin silaturahmi baik dengan pelanggan lama ataupun bertemu dengan pelanggan baru.

Maryanto (54), namanya. Pelanggan Opor Bebek Bu Suyud yang kebetulan hari ini datang dan membeli opor bebek sebanyak Rp30 ribu. Menurutnya, Opor Bebek yang telah menemaninya selama 40 tahun ini tidak pernah berubah rasanya. 

“Dulu waktu saya SD, Ibu saya yang membelikan opor bebek di sini, apalagi jika sedang sakit atau pusing,” ungkapnya. Bagi Maryanto, Opor Bebek Bu Suyud tetap menjadi langganan jika di rumah sedang tidak ada lauk.

Hal-hal seperti ini yang selalu disyukuri oleh Rusdiah saat berjualan Opor Bebek Bu Suyud.

Reporter: Brigitta Adelia Dewandari
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menelusuri Bebek Purnama yang Pertama di Surabaya, Ternyata Tidak Buka Cabang  dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.

 

Exit mobile version